Kemanusiaan yang Tebang Pilih: Analisis Komprehensif terhadap Standar Ganda dalam Tata Kelola Kemanusiaan Global
Krisis kemanusiaan global yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir telah menyingkap tabir retorika universalisme hak asasi manusia yang selama ini diagungkan oleh tatanan internasional pasca-Perang Dunia II. Meskipun instrumen hukum internasional seperti Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menegaskan bahwa setiap individu berhak atas perlindungan tanpa memandang ras, agama, atau asal negara, realitas lapangan menunjukkan adanya pola respons yang sangat diskriminatif. Fenomena “kemanusiaan yang tebang pilih” ini bukan sekadar anomali kebijakan, melainkan manifestasi dari struktur kekuasaan global yang masih terbelenggu oleh sisa-sisa kolonialisme, rasisme sistemik, dan kepentingan geopolitik yang sempit. Analisis ini akan mengeksplorasi secara mendalam bagaimana standar ganda tersebut beroperasi melalui mekanisme kebijakan pengungsi, narasi media, psikologi antarkelompok, dan kelumpuhan institusional di tingkat global.
Paradoks Perlindungan Pengungsi: Antara Solidaritas dan Pengabaian
Respons internasional terhadap invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 memberikan studi kasus yang sangat kontras jika dibandingkan dengan krisis pengungsi dari wilayah Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Perbedaan ini tidak hanya terlihat dari volume bantuan, tetapi juga dari kecepatan dan kemudahan akses hukum yang diberikan kepada mereka yang mencari perlindungan.
Mekanisme Hukum dan Kecepatan Respons
Dalam waktu tiga hari setelah invasi Rusia dimulai, Uni Eropa (UE) mengaktifkan Temporary Protection Directive (TPD) tahun 2001 untuk pertama kalinya. Keputusan ini memberikan hak tinggal otomatis, akses ke pasar kerja, layanan kesehatan, dan pendidikan bagi jutaan warga Ukraina tanpa melalui prosedur asuransi yang panjang dan membebani. Sebaliknya, selama krisis pengungsi 2015-2016 yang melibatkan warga Suriah, Afghanistan, dan Irak, UE tetap bersikeras menerapkan Konvensi Dublin. Aturan ini mengharuskan pengungsi untuk mengajukan asil di negara pertama tempat mereka mendarat, yang sering kali menyebabkan penumpukan di perbatasan Yunani dan Italia serta memicu krisis kemanusiaan di perbatasan tersebut.
| Parameter Kebijakan | Krisis Ukraina (2022) | Krisis Timur Tengah/Afrika (2015-2016) |
| Instrumen Hukum Utama | Temporary Protection Directive (TPD) | Konvensi Dublin & Prosedur Asil Standar |
| Hak Akses Kerja | Segera diberikan sejak kedatangan | Ditangguhkan hingga aplikasi asil disetujui |
| Kebebasan Bergerak | Perjalanan bebas visa di dalam wilayah UE | Terbatas pada negara pendaftaran pertama |
| Kecepatan Aktivasi | 3 hari setelah pecahnya konflik | Tidak diaktifkan selama 11 tahun konflik Suriah |
| Narasi Pemerintah | Perlindungan sebagai imperatif kemanusiaan | Fokus pada risiko keamanan dan kontrol perbatasan |
Analisis terhadap perbedaan ini menunjukkan bahwa pengungsi Ukraina tidak hanya diuntungkan oleh kedekatan geografis, tetapi juga oleh “kedekatan budaya” yang sering kali merupakan kode untuk kesamaan ras dan agama. Warga Ukraina dibingkai sebagai bagian dari “keluarga Eropa” yang beradab, sementara pengungsi dari Global South sering kali mengalami proses “othering” atau peminggiran, di mana mereka dianggap sebagai ancaman bagi identitas dan keamanan Eropa.
Rasialisasi dalam Kebijakan Perbatasan
Praktik diskriminatif juga terlihat jelas di titik-titik perbatasan. Selama eksodus dari Ukraina, laporan menunjukkan bahwa warga negara kulit hitam dan etnis minoritas dari Afrika serta negara-negara Arab yang tinggal di Ukraina menghadapi kesulitan luar biasa untuk menyeberang ke Polandia. Mereka sering kali dipaksa menunggu berjam-jam di belakang warga asli Ukraina dan dalam beberapa kasus ditolak masuk tanpa alasan yang jelas. Hal ini memicu pernyataan keras dari Uni Afrika yang mengecam rasisme terbuka dalam penanganan krisis tersebut.
Di sisi lain samudra, Amerika Serikat menunjukkan pola yang serupa. Sembari membuka pintu bagi puluhan ribu pengungsi Ukraina, pemerintah AS di bawah berbagai kebijakan tetap mendeportasi lebih dari 25.000 warga Haiti antara akhir 2021 dan pertengahan 2022. Pengusiran massal ini sering kali disertai dengan perlakuan buruk yang berakar pada rasisme anti-kulit hitam, yang menunjukkan bahwa komitmen terhadap perlindungan pengungsi sering kali bersifat selektif berdasarkan ras korban.
Media Massa dan Konstruksi Narasi Orientalisme Modern
Media memegang peranan vital dalam memvalidasi penderitaan satu kelompok sembari menormalisasi penderitaan kelompok lain. Melalui pilihan kata, dramatisasi visual, dan sudut pandang berita, media Barat sering kali memperkuat dikotomi antara wilayah yang “layak” dibantu dan wilayah yang dianggap “secara alami” penuh konflik.
Terminologi “Beradab” vs “Tidak Beradab”
Penggunaan bahasa oleh koresponden berita internasional selama tahap awal perang Ukraina mengungkapkan bias yang mendalam. Pernyataan koresponden CBS yang menyebut Kyiv sebagai tempat yang “relatif beradab” dibandingkan Irak atau Afghanistan adalah contoh klasik dari orientalisme modern. Narasi ini menyiratkan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar dan diharapkan terjadi di Timur Tengah, namun merupakan tragedi yang “tidak terpikirkan” jika terjadi di tanah Eropa.
Media sering kali menggunakan atribut fisik dan budaya untuk memicu empati penonton. Penekanan pada pengungsi yang memiliki “mata biru dan rambut pirang” atau mereka yang mengenakan pakaian “seperti kita” (Barat) menciptakan hambatan psikologis bagi pemirsa untuk berempati dengan pengungsi dari wilayah lain yang sering kali disajikan melalui lensa “poverty porn”—sebagai sosok yang tidak berdaya, tidak memiliki agensi, dan secara fisik berbeda.
Efek Pengalihan Perhatian dan Pendanaan
Dominasi liputan media terhadap satu krisis sering kali menyebabkan “kelelahan berita” (news fatigue) terhadap krisis lain yang sedang berlangsung. Seiring dengan berlanjutnya perang di Ukraina, perhatian dunia dan dana bantuan kemanusiaan dialihkan secara signifikan dari krisis di Yaman, Suriah, dan Sudan. Hal ini menciptakan persaingan sumber daya yang merugikan bagi para pengungsi di wilayah Global South. Sebagai contoh, kamp-kamp pengungsi di Suriah dan Irak menghadapi tekanan tambahan karena pengurangan bantuan pangan dan bahan bakar musim dingin akibat alokasi ulang dana ke Ukraina.
| Dampak Liputan Media | Konflik di Eropa (Ukraina) | Konflik di Global South (Gaza, Sudan, Suriah) |
| Fokus Narasi | Kedaulatan, pahlawan rakyat, tragedi keluarga | Ketidakstabilan kronis, statistik korban, terorisme |
| Mobilisasi Publik | Penggalangan dana massal, kampanye media sosial global | Penurunan bantuan sukarela seiring waktu |
| Sudut Pandang Politik | Pelanggaran hukum internasional oleh agresor | Sering dibingkai sebagai konflik internal yang rumit |
Psikologi Kesenjangan Empati dan Bias Antarkelompok
Ketidakmampuan masyarakat internasional untuk bertindak secara konsisten juga memiliki dasar dalam mekanisme psikologis manusia. Penelitian dalam psikologi sosial menunjukkan adanya “kesenjangan empati” (empathy gap) yang signifikan ketika berhadapan dengan anggota kelompok luar (outgroup).
Mekanisme Neurologis dan Dehumanisasi
Manusia secara alami mengalami rasa sakit empatik ketika melihat orang lain menderita, namun perasaan ini berkurang drastis jika korban dianggap sebagai bagian dari kelompok lawan atau kelompok yang berbeda secara rasial. Pada tingkat neural, aktivitas otak yang terkait dengan empati melemah bagi anggota kelompok luar. Lebih jauh lagi, dehumanisasi—proses merampas fitur-fitur kemanusiaan dasar seperti identitas, agensi, dan kapasitas untuk menderita—membuat kekerasan terhadap kelompok tertentu menjadi lebih dapat diterima secara sosial.
Penelitian di Universitas Stanford menemukan bahwa tingkat asosiasi implisit antara individu kulit hitam dengan fitur-fitur tertentu dapat memprediksi kesediaan seseorang untuk menjatuhkan hukuman mati, yang menunjukkan betapa berbahayanya bias ini bagi cita-cita perlakuan adil di bawah hukum. Dalam konteks kemanusiaan, hal ini menjelaskan mengapa penderitaan warga sipil di Gaza atau Sudan sering kali ditanggapi dengan apati atau skeptisisme dibandingkan dengan penderitaan warga Ukraina.
Empati Kelompok dan Dukungan Kebijakan
Sebuah eksperimen web terhadap sampel warga Amerika Serikat menunjukkan bahwa dukungan terhadap pengungsi dipengaruhi oleh empati kelompok. Warga kulit putih dengan tingkat empati rendah cenderung kurang mendukung pengungsi kulit hitam dibandingkan pengungsi kulit putih. Menariknya, bagi individu dengan empati tinggi dan bagi responden kulit hitam secara umum, ras pengungsi tidak secara signifikan mengubah dukungan mereka terhadap kebijakan bantuan. Hal ini menunjukkan bahwa rasisme dan nasionalisme sering kali membatasi jangkauan moral kemanusiaan seseorang.
Kelumpuhan Institusional: Kegagalan Dewan Keamanan PBB dan Impunitas
Sistem internasional yang seharusnya menjadi pelindung terakhir hak asasi manusia sering kali menjadi tempat di mana standar ganda tersebut dilembagakan melalui mekanisme politik kekuasaan. Dewan Keamanan PBB (DK PBB) adalah pusat dari disfungsi ini.
Penyalahgunaan Hak Veto oleh Anggota Tetap (P5)
Penggunaan hak veto oleh anggota tetap DK PBB (Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Perancis) sering kali bertujuan untuk melindungi kepentingan geopolitik mereka sendiri atau sekutu mereka, mengabaikan konsekuensi kemanusiaan yang menghancurkan.
- Veto Rusia di Ukraina dan Suriah:Â Rusia telah berulang kali menggunakan vetonya untuk memblokir resolusi yang mengutuk invasinya ke Ukraina serta membatasi bantuan lintas batas di Suriah, yang menyebabkan jutaan orang kehilangan akses ke pangan dan obat-obatan.
- Veto Amerika Serikat di Palestina:Â Amerika Serikat secara konsisten memveto resolusi gencatan senjata di Gaza dan pengakuan keanggotaan penuh Palestina di PBB, yang menurut para kritikus memberikan “kartu bebas hukuman” bagi pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh Israel.
| Statistik Veto (2014-2024) | Jumlah Veto yang Dikeluarkan | Isu Utama yang Diblokir |
| Rusia | 14 | Penarikan pasukan Ukraina, bantuan lintas batas Suriah |
| Amerika Serikat | 10 | Gencatan senjata Gaza, keanggotaan PBB Palestina |
| Tiongkok | 6 | Investigasi pelanggaran HAM di Suriah dan Myanmar |
Oxfam melaporkan bahwa selama dekade terakhir, anggota P5 telah mengeksploitasi kekuatan pemungutan suara mereka untuk kepentingan jangka pendek, sementara lebih dari satu juta orang tewas dalam konflik-konflik tersebut dan kebutuhan bantuan kemanusiaan meningkat hingga 150 persen. Ketidakkonsistenan ini menciptakan budaya impunitas di mana hukum internasional hanya diterapkan pada musuh-musuh politik Barat, sementara pelanggaran oleh sekutu dibiarkan tanpa tindakan berarti.
Krisis Legitimasi Hukum Internasional
Ketimpangan penegakan norma global merusak kepercayaan terhadap institusi internasional. Ketika Rusia memveto resolusi di Ukraina sembari menjadi agresor, hal itu dianggap melanggar Pasal 27(3) Piagam PBB yang mewajibkan pihak dalam sengketa untuk abstain. Demikian pula, kegagalan International Criminal Court (ICC) atau Dewan HAM PBB untuk menindak kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah tertentu karena tekanan politik dari negara-negara besar membuat hukum internasional terlihat seperti alat hegemoni dan bukan prinsip keadilan universal.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres memperingatkan bahwa kita sedang berada dalam “api penyucian polaritas”, di mana banyak pemerintah merasa berhak mengabaikan Piagam PBB dan keputusan pengadilan internasional tanpa takut akan konsekuensi. Munculnya “diplomasi transaksional” yang mengutamakan keuntungan perdagangan jangka pendek di atas prinsip HAM semakin memperparah erosi norma-norma global.
Akar Kolonial dan Struktur Rasial dalam Sektor Kemanusiaan
Sektor kemanusiaan modern sering kali tidak mampu melepaskan diri dari warisan kolonialnya. Bantuan internasional sering kali masih didorong oleh logika supremasi kulit putih yang mengasumsikan kepemilikan dan penguasaan atas bangsa lain.
Kemanusiaan sebagai “Assemblage Rasial”
Humanitarianisme sering kali berfungsi sebagai “assemblage rasial” yang memproduksi kategori “manusia” secara universal namun secara praktis tetap mempertahankan hierarki rasial. Secara historis, bantuan kepada budak atau populasi pribumi sering kali dilakukan bukan semata-mata untuk kesejahteraan mereka, melainkan untuk menjaga stabilitas dan keuntungan ekonomi bagi warga kulit putih. Dalam konteks modern, hal ini terlihat dalam dominasi organisasi utara (Global North) yang mendikte bagaimana bantuan harus didistribusikan, sering kali mengabaikan keahlian dan kepemimpinan lokal.
Rasisme Institusional di Organisasi Internasional
Laporan dari para pekerja bantuan mengungkapkan bahwa rasisme sistemik masih merajalela di dalam organisasi-organisasi besar seperti Médecins Sans Frontières (MSF). Kebijakan perekrutan, perbedaan gaji, dan perlakuan terhadap staf lokal sering kali mencerminkan hierarki rasial di mana “keputihan” (whiteness) dianggap sebagai standar kompetensi universal. Fenomena “White Saviour Complex” tetap menjadi masalah besar, di mana bantuan diberikan dengan cara yang merendahkan penerimanya dan memperkuat ketergantungan daripada memberdayakan mereka.
Geopolitik Bantuan: Kemanusiaan sebagai Instrumen Kompetisi
Dalam tatanan dunia yang semakin multipolar, bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana (HADR) telah berubah menjadi arena persaingan pengaruh, terutama antara Amerika Serikat dan Tiongkok di wilayah Indo-Pasifik.
Persaingan AS vs Tiongkok di Indo-Pasifik
Bagi negara-negara besar, kecepatan intervensi kemanusiaan bukan hanya soal efektivitas teknis, tetapi juga soal kekuatan geopolitik. AS secara tradisional menjadi penyedia HADR utama di wilayah ini, namun Tiongkok telah meningkatkan kontribusinya secara signifikan dalam dua dekade terakhir, terutama di negara-negara yang menjadi sasaran rivalitas diplomatik seperti Pakistan, Nepal, dan Maladewa. Strategi ini sering kali digabungkan dengan upaya promosi media untuk menonjolkan peran positif sang pemberi bantuan, menjadikan penderitaan manusia sebagai panggung untuk memenangkan “hati dan pikiran” di tingkat global.
Pergeseran Menuju Bantuan Bilateral
Ada kecenderungan yang berkembang di mana negara-negara donor lebih memilih menyalurkan bantuan melalui mekanisme bilateral daripada multilateral. Hal ini memungkinkan donor untuk memiliki kontrol lebih besar atas bagaimana bantuan digunakan dan untuk memastikan bahwa bantuan tersebut selaras dengan kepentingan luar negeri mereka. Akibatnya, bantuan kemanusiaan sering kali menjadi terfragmentasi dan kurang terkoordinasi, meninggalkan krisis-krisis yang tidak memiliki nilai strategis dalam kondisi yang semakin memprihatinkan.
Menuju Dekolonisasi dan Transformasi Sistem Kemanusiaan
Kritik terhadap standar ganda internasional telah mendorong gerakan kuat untuk mendekolonisasi sistem bantuan kemanusiaan. Agenda dekolonisasi ini bertujuan untuk membongkar struktur kekuasaan Eurosentris dan mengembalikan agensi kepada komunitas yang dilayani.
Lokalisasi Bantuan dan “Grand Bargain”
Salah satu solusi utama yang diusulkan adalah lokalisasi bantuan—proses menggeser kekuasaan dan sumber daya kepada aktor lokal di lapangan. Komitmen “Grand Bargain” yang dibuat pada KTT Kemanusiaan Dunia 2016 menargetkan agar setidaknya 25% dari pendanaan kemanusiaan disalurkan langsung ke responden lokal. Namun, kemajuan menuju target ini masih sangat lambat karena adanya hambatan struktural dalam aturan donor dan keengganan organisasi internasional untuk berbagi kendali.
| Rekomendasi Dekolonisasi | Tindakan yang Diperlukan | Tujuan Utama |
| Reframing Lokalisasi | Memandang lokalisasi sebagai bagian dari proses dekolonisasi kekuasaan | Pergeseran permanen dalam dinamika kekuasaan global |
| Kepemimpinan Lokal | Mengutamakan organisasi lokal dalam pengambilan keputusan dan desain program | Efektivitas dan keberlanjutan respons kemanusiaan |
| Pendanaan Fleksibel | Mengurangi hambatan administratif dan memberikan dana langsung ke aktor lokal | Mengurangi ketergantungan pada NGO utara |
| Pendekatan Anti-Rasisme | Pelatihan kesadaran bias dan reformasi kebijakan internal organisasi bantuan | Menciptakan budaya kerja yang adil dan inklusif |
Reintegrasi Prinsip Kemanusiaan Universal
Penting bagi masyarakat internasional untuk kembali pada prinsip dasar kemanusiaan: kemanusiaan, ketidakberpihakan, netralitas, dan kemandirian. Untuk mengatasi standar ganda, penegakan hukum internasional harus dilakukan secara konsisten di semua wilayah tanpa pengecualian. Hal ini termasuk membatasi penggunaan hak veto di DK PBB dalam situasi kekejaman massal dan memperkuat peran Majelis Umum PBB dalam menjaga perdamaian dunia.
Dekolonisasi juga berarti mengakui bahwa penderitaan manusia memiliki bobot moral yang sama, terlepas dari warna kulit, kewarganegaraan, atau kemiripan budaya dengan Barat. Perubahan ini memerlukan transformasi mental—dekolonisasi pikiran—baik di kalangan pembuat kebijakan, pekerja bantuan, maupun masyarakat umum melalui literasi media yang lebih kritis terhadap narasi bias.
Kesimpulan: Tantangan Masa Depan bagi Moralitas Global
Fenomena kemanusiaan yang tebang pilih adalah gejala dari krisis moral yang lebih dalam di jantung tatanan global. Selama kepentingan nasional dan geopolitik tetap mendominasi di atas hak asasi manusia universal, standar ganda akan terus berlanjut dan memakan korban jiwa. Kegagalan dunia dalam memberikan respons yang adil terhadap krisis di Gaza, Sudan, Haiti, dan tempat-tempat lainnya dibandingkan dengan Ukraina adalah pengingat bahwa janji “never again” setelah Perang Dunia II masih jauh dari kenyataan bagi sebagian besar penduduk dunia.
Membangun sistem kemanusiaan yang benar-benar adil memerlukan lebih dari sekadar reformasi teknis; ia memerlukan komitmen tulus untuk membongkar rasisme sistemik, warisan kolonial, dan struktur impunitas yang melindungi negara-negara kuat dari konsekuensi hukum. Hanya dengan mengakui kesetaraan mutlak dari semua nyawa manusia, masyarakat internasional dapat memulihkan legitimasi hukum internasional dan menciptakan masa depan di mana kemanusiaan tidak lagi ditentukan oleh geografi atau ras, melainkan oleh penderitaan dan kebutuhan yang tulus.
Keberhasilan gerakan lokalisasi, dekolonisasi, dan akuntabilitas di lembaga internasional akan menjadi tolok ukur apakah dunia mampu bertransformasi dari “api penyucian polaritas” menuju tatanan yang benar-benar menjunjung tinggi martabat setiap manusia. Tantangan ini mendesak, karena di tengah meningkatnya krisis iklim dan konflik bersenjata, kebutuhan akan solidaritas kemanusiaan yang jujur dan tanpa syarat belum pernah sebesar sekarang.


