Paradigma Privatisasi Segalanya: Transformasi Kebutuhan Dasar Menjadi Komoditas dalam Ekosistem Pasar Global
Erosi fungsi negara dalam menyediakan layanan dasar telah menjadi salah satu pergeseran paling signifikan dalam ekonomi politik global sejak akhir abad ke-20. Fenomena yang diidentifikasi sebagai privatisasi segalanya mencerminkan transisi sistemik di mana kontrol dan kekuasaan atas barang publik—seperti air, kesehatan, dan pendidikan—dialihkan dari mandat demokratis ke tangan kepentingan swasta. Struktur ini tidak sekadar mengubah penyedia layanan, tetapi secara fundamental mendefinisikan ulang hubungan antara individu dan masyarakat, mengubah warga negara yang memiliki hak menjadi konsumen yang harus membayar. Melalui mekanisme pasar global yang didorong oleh institusi finansial internasional, kebutuhan dasar yang dulunya dianggap sebagai hak asasi yang tidak dapat dicabut kini semakin bertransformasi menjadi barang mewah yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki daya beli memadai.
Landasan Filosofis: Kontrak Sosial dan Pergeseran Menuju Komodifikasi
Konsep barang publik berakar pada teori kontrak sosial yang dikembangkan oleh pemikir seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Teori ini menyatakan bahwa masyarakat dibentuk melalui kesepakatan implisit di mana individu menyerahkan sebagian hak mereka kepada otoritas pusat dengan imbalan perlindungan, tatanan sosial, dan penyediaan kebutuhan kolektif. Dalam kerangka ini, negara memiliki kewajiban moral dan politik untuk menjamin akses terhadap sumber daya yang memungkinkan setiap individu hidup dengan martabat.
Dekonstruksi Warga Negara Menjadi Pelanggan
Privatisasi mengubah posisi ontologis manusia dalam struktur sosial. Ketika kebutuhan dasar dikuasai oleh pasar, logika yang berlaku adalah logika utilitas marginal dan profitabilitas, bukan keadilan distributif. Dalam sistem publik, akses didasarkan pada hak (entitlement); sementara dalam sistem privat, akses didasarkan pada kemampuan membayar (ability to pay). Pergeseran ini menciptakan alienasi di mana individu tidak lagi dipandang sebagai anggota komunitas politik dengan klaim sah atas sumber daya bersama, melainkan sebagai unit ekonomi yang nilainya ditentukan oleh transaksi pasar.
Definisi Kontrol Swasta dan Hilangnya Transparansi
Privatitasi sering kali disalahpahami hanya sebagai penjualan aset negara. Namun, pakar menekankan bahwa masalah intinya adalah kontrol dan kekuasaan swasta atas barang publik. Kontrol ini dapat terjadi melalui berbagai skema, mulai dari alih daya (outsourcing) layanan hingga kontrak manajemen jangka panjang yang memindahkan otoritas pengambilan keputusan ke entitas non-pemerintah. Dampak paling merusak dari kontrol swasta ini adalah hilangnya transparansi. Begitu layanan publik berada di balik “dinding privat”, informasi mengenai pengeluaran, kualitas layanan, dan gaji pekerja sering kali diklasifikasikan sebagai rahasia dagang, yang secara efektif meniadakan akuntabilitas demokratis.
Arsitektur Global: Peran Institusi Finansial dalam Ekspansi Pasar
Penyebaran privatisasi secara masif, terutama di Global South, merupakan hasil dari desain kebijakan yang disengaja oleh institusi finansial internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Sejak dekade 1980-an, institusi-institusi ini telah mempromosikan agenda neoliberal yang menekankan pengurangan peran negara dan liberalisasi pasar sebagai syarat untuk stabilitas ekonomi.
Kondisionalitas Pinjaman dan Penyesuaian Struktural
Mekanisme utama yang digunakan untuk mendorong privatisasi adalah kondisionalitas pinjaman. Negara-negara yang menghadapi krisis utang sering kali dipaksa untuk menyetujui program penyesuaian struktural yang mencakup privatisasi perusahaan milik negara dan layanan publik sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan finansial. Data menunjukkan korelasi yang sangat kuat antara utang luar negeri dan tingkat privatisasi di negara-negara berkembang.
| Parameter Dampak | Statistik dan Temuan Utama |
| Rasio Privatisasi terhadap Utang | Setiap $1 utang kepada IMF pada awal 1980-an berkorelasi dengan privatisasi aset senilai 50 sen. |
| Penetrasi pada Sektor Air | Antara 1992-2002, 30% dari pinjaman Bank Dunia untuk proyek air mewajibkan privatisasi. |
| Skala Global | Lebih dari 10.000 perusahaan negara diprivatisasi secara global antara 1988-1998 di bawah tekanan IMF/Bank Dunia. |
| Cakupan Kebijakan | Pada tahun 2000, privatisasi menjadi elemen inti dalam 70% pinjaman penyesuaian struktural Bank Dunia. |
Institusi-institusi ini berargumen bahwa sektor swasta lebih efisien dalam mengelola sumber daya dan bahwa hasil penjualan aset dapat digunakan untuk melunasi utang negara. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering kali mengabaikan kesiapan regulasi domestik dan dampak sosial terhadap kelompok termiskin.
Mekanisme Full Cost Recovery dan Eksklusi Sosial
Salah satu doktrin yang paling sering dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia adalah “pemulihan biaya penuh” (full cost recovery). Konsep ini menuntut agar pengguna layanan publik membayar harga yang mencakup seluruh biaya operasional dan investasi penyedia layanan, tanpa subsidi negara. Bagi populasi di negara miskin, kebijakan ini memaksa mereka membuat pilihan tragis antara membeli air, makanan, atau membiayai sekolah anak-anak mereka. Logika pasar ini gagal mengakui bahwa kebutuhan dasar memiliki eksternalitas positif yang luas bagi kesehatan publik dan produktivitas ekonomi yang tidak dapat diukur hanya melalui transaksi individual.
Air: Komodifikasi Intisari Kehidupan
Air merupakan contoh paling ekstrem dari bagaimana kebutuhan biologis dasar ditransformasikan menjadi komoditas global. Dalam dua dekade terakhir, korporasi multinasional telah melihat air sebagai “emas cair” baru, yang memicu gelombang privatisasi tap water dan ledakan industri air kemasan.
Skandal Ekstraksi dan Pelanggaran Hak Masyarakat Adat
Perusahaan seperti Nestlé telah menjadi fokus kritik global karena praktik ekstraksi air tanah mereka yang masif di wilayah yang menderita kekeringan. Nestlé mengeksploitasi celah hukum dalam perizinan untuk mengambil air dalam jumlah besar dari sumber-sumber lokal, sering kali dengan biaya yang sangat rendah, untuk kemudian dikemas dan dijual dengan margin keuntungan yang sangat tinggi.
| Lokasi Dampak | Mekanisme Ekstraksi dan Konsekuensi |
| Meksiko | Membayar hanya 2.600 peso ($127) per tahun untuk izin ekstraksi, sementara pendapatan dari penjualan produk mencapai 494 kali lipat dari biaya tersebut. |
| Pakistan | Audit Mahkamah Agung (2018) menemukan ekstraksi miliaran liter air tanpa bayaran; 43% air terbuang selama proses filtrasi sementara komunitas lokal kekurangan air bersih. |
| Nigeria | Operasi pabrik menyebabkan erosi gully yang parah dan limbah yang tidak teregulasi menghancurkan lahan pertanian penduduk sekitar. |
| Amerika Serikat (Flint, Michigan) | Perusahaan mengekstraksi jutaan liter air dengan biaya minimal sementara penduduk setempat terjebak dalam krisis air beracun dan biaya air yang mahal. |
Praktik ini menunjukkan kontradiksi fundamental: sementara akses air bersih diakui sebagai hak asasi manusia, kontrol atas sumber daya tersebut sering kali berada di tangan entitas yang prioritas utamanya adalah memaksimalkan nilai pemegang saham, bukan menjamin ketersediaan sumber daya bagi komunitas lokal.
Kegagalan Privatisasi Sektor Air: Studi Kasus Guinea
Pengalaman Guinea pada akhir 1980-an memberikan pelajaran berharga mengenai risiko privatisasi air di negara berkembang. Di bawah tekanan Bank Dunia, Guinea memprivatisasi layanan airnya dengan harapan meningkatkan efisiensi. Namun, hasilnya adalah bencana sosial:
- Kenaikan Harga yang Drastis: Tanpa subsidi, harga air meningkat tujuh kali lipat dalam sepuluh tahun. Biaya koneksi sistem mencapai $90, jumlah yang setara dengan pendapatan berbulan-bulan bagi sebagian besar rumah tangga.
- Krisis Kesehatan Publik: Karena tidak mampu membayar air resmi, banyak keluarga beralih ke sumber air tidak aman. Hal ini memicu epidemi kolera besar pada tahun 1994 dengan lebih dari 31.000 kasus dan 671 kematian.
- Erosi Infrastruktur: Alih-alih investasi besar, tingkat kehilangan air (Unaccounted For Water) mencapai 47%, menunjukkan bahwa pengelola swasta gagal memelihara jaringan pipa.
Kegagalan ini akhirnya memaksa pemerintah Guinea untuk melakukan remunisipalisasi pada tahun 2003, yang secara bertahap berhasil meningkatkan akses air bersih kembali ke tangan negara.
Resolusi PBB 64/292: Air sebagai Hak Asasi Manusia
Sebagai tanggapan terhadap komodifikasi air yang agresif, pada 28 Juli 2010, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 64/292 yang secara historis mengakui hak atas air bersih dan sanitasi sebagai hak asasi manusia yang esensial. Hak ini mencakup kriteria ketat yang seharusnya mengikat secara moral bagi seluruh negara anggota.
| Kriteria Hak Atas Air | Deskripsi Standar Minimal |
| Ketersediaan | Antara 50 hingga 100 liter per orang per hari untuk kebutuhan personal dan domestik. |
| Keterjangkauan | Biaya air tidak boleh melebihi 3-5% dari pendapatan rumah tangga. |
| Aksesibilitas | Sumber air harus berada dalam jarak maksimal 1.000 meter atau 30 menit dari rumah. |
| Kualitas | Bebas dari mikroorganisme dan zat kimia yang membahayakan kesehatan. |
Resolusi ini memberikan senjata hukum dan moral bagi gerakan perlawanan di seluruh dunia untuk menolak privatisasi dan menuntut agar negara menjalankan fungsinya sebagai penjamin hak dasar.
Kesehatan: Dari Pelayanan Publik ke Pasar Medis
Privatitasi layanan kesehatan telah menciptakan sistem yang sangat tidak setara, di mana kualitas perawatan berbanding lurus dengan status ekonomi individu. Komersialisasi kesehatan mengasumsikan bahwa pasar dapat mendistribusikan layanan medis secara efisien, namun data menunjukkan kegagalan pasar yang luas di sektor ini.
Kegagalan Pasar dalam Layanan Medis
Kesehatan adalah sektor dengan “asimetri informasi” yang tinggi. Pasien sering kali tidak memiliki pengetahuan untuk mengevaluasi perawatan yang mereka terima, sehingga keputusan medis sering kali didikte oleh penyedia layanan yang mungkin memiliki insentif finansial untuk memberikan perawatan berlebih atau mengabaikan kasus yang tidak menguntungkan. Di banyak negara berpendapatan rendah (LMIC), komersialisasi telah menyebabkan dominasi pembayaran out-of-pocket, yang merupakan bentuk pembiayaan kesehatan paling memiskinan.
Dampak Sistemik pada Kesejahteraan Masyarakat
| Dimensi Dampak | Konsekuensi Privatisasi Kesehatan |
| Aksesibilitas | Komersialisasi di Afrika Sub-Sahara berkorelasi dengan rendahnya tingkat imunisasi dan pengabaian pengobatan pada anak-anak dari keluarga miskin. |
| Tenaga Kerja | Kondisi kerja yang buruk di sektor publik yang kekurangan dana memicu “brain drain”, di mana dokter dan perawat bermigrasi ke negara kaya, meninggalkan sistem domestik dalam kondisi kritis. |
| Ketahanan Nasional | Selama pandemi COVID-19, negara-negara yang bergantung pada pasar swasta untuk alat pelindung diri (APD) dan peralatan medis menderita kerugian nyawa yang lebih besar karena persaingan harga di pasar global. |
| Keadilan Sosial | Munculnya sistem kesehatan “dua tingkat” di mana rumah tangga miskin dipaksa memilih antara pengobatan atau kebutuhan pokok lainnya. |
Penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran publik yang lebih tinggi untuk kesehatan berbanding lurus dengan distribusi hasil kesehatan yang lebih adil. Negara-negara dengan sistem kesehatan universal seperti Sri Lanka mampu mencapai hasil kesehatan yang jauh lebih baik daripada negara lain dengan tingkat pendapatan serupa yang sangat bergantung pada sektor swasta.
Pendidikan: Korporatisasi Pengetahuan dan Masa Depan
Privatitasi pendidikan telah berkembang dari sekolah swasta elit tradisional menjadi model bisnis yang menyasar populasi berpendapatan rendah di negara-negara berkembang. Fenomena ini paling jelas terlihat pada kemunculan rantai sekolah swasta berbiaya rendah (LFPS).
Bridge International Academies dan Model “Academy-in-a-Box”
Bridge International Academies (BIA) mewakili bentuk paling maju dari privatisasi pendidikan dasar. Dengan dukungan dari investor besar dan institusi seperti Bank Dunia, BIA mengoperasikan ratusan sekolah di Kenya, Uganda, Nigeria, dan Liberia.
- Standarisasi Total: BIA menggunakan kurikulum yang dirancang di pusat dan dikirim ke guru melalui tablet. Guru diinstruksikan untuk membaca naskah pelajaran langkah demi langkah, sebuah metode yang dikenal sebagai “pengajaran terpandu” (scripted teaching).
- Dekualifikasi Guru: Untuk menekan biaya, BIA sering menggunakan tenaga pengajar yang tidak bersertifikat atau hanya mendapatkan pelatihan minimal selama beberapa minggu. Hal ini dikritik karena merendahkan profesi guru dan menghilangkan spontanitas dalam proses belajar-mengajar.
- Hambatan Biaya bagi Yang Termiskin: Meskipun diklaim berbiaya rendah ($5-$6 per bulan), biaya tambahan untuk seragam, ujian, dan makanan sering kali membuat total biaya menjadi beban berat bagi keluarga yang hidup dengan kurang dari $2 per hari.
Pendidikan Tinggi dan Krisis Utang Mahasiswa
Di tingkat pendidikan tinggi, privatisasi mengambil bentuk “cost-sharing” atau pembagian biaya, di mana beban pendanaan digeser dari negara ke mahasiswa melalui biaya kuliah yang tinggi. Hal ini telah menciptakan krisis utang mahasiswa yang masif di negara-negara seperti Amerika Serikat. Pasar pinjaman swasta sering kali kurang melindungi mahasiswa dibandingkan pinjaman pemerintah, dengan suku bunga yang lebih tinggi dan kurangnya perlindungan terhadap praktik peminjaman predator. Privatisasi pendidikan tinggi juga mendorong universitas untuk beroperasi seperti perusahaan, memprioritaskan riset yang menguntungkan secara komersial daripada pendidikan yang berfokus pada kewarganegaraan dan pemikiran kritis.
Digitalisasi dan Munculnya Teknofeudalisme
Transformasi ekonomi di abad ke-21 telah membawa bentuk privatisasi baru yang disebut sebagai teknofeudalisme. Istilah ini, yang dipopulerkan oleh ekonom seperti Yanis Varoufakis, menggambarkan kondisi di mana kapitalisme pasar tradisional digantikan oleh dominasi platform digital yang dikendalikan oleh segelintir raksasa teknologi (Big Tech).
Pergeseran dari Profit ke Rente Cloud
Dalam teknofeudalisme, sumber kekuatan ekonomi utama bukan lagi keuntungan dari produksi barang, melainkan rente yang dikumpulkan oleh pemilik platform (tuan tanah digital) dari siapa pun yang menggunakan infrastruktur mereka.
- Enclosure Digital: Platform seperti Amazon atau Google bertindak sebagai pasar digital tertutup. Penjual dan pembeli tidak lagi berinteraksi di pasar bebas, melainkan di dalam “fiefdom” atau tanah kekuasaan digital milik perusahaan tersebut, di mana pemilik platform menetapkan aturan dan mengambil potongan dari setiap transaksi.
- Algoritma sebagai Kontrol Sosial: Penggunaan algoritma untuk mengarahkan perilaku konsumen dan memanipulasi informasi telah menciptakan bentuk kekuasaan yang melampaui batas-batas negara tradisional.
Ancaman Terhadap Kedaulatan Nasional dan Privasi
Kontrol Big Tech atas data dan infrastruktur digital global menimbulkan tantangan serius bagi kedaulatan negara.
- Kedaulatan Data: Negara-negara yang tidak memiliki infrastruktur digital mandiri menjadi sangat bergantung pada perusahaan asing untuk menyimpan data warga negara dan mengelola layanan publik penting.
- Surveilans Kapitalisme: Privasi individu telah diprivatisasi dan dikomodifikasi. Data pribadi dikumpulkan secara masif tanpa persetujuan yang bermakna untuk kemudian dijual atau digunakan untuk modifikasi perilaku dalam skala global.
- Penghindaran Pajak Sistemik: Melalui teknik akuntansi yang kompleks dan eksploitasi yurisdiksi pajak rendah (BEPS), raksasa teknologi mampu menghindari kewajiban pajak miliaran dolar setiap tahunnya, yang seharusnya bisa digunakan untuk mendanai layanan publik dasar.
| Strategi Pajak Big Tech | Mekanisme Operasional | Dampak Ekonomi |
| Double Irish Dutch Sandwich | Menggunakan anak perusahaan di Irlandia dan Belanda untuk mengalihkan keuntungan ke surga pajak. | Google mengalihkan lebih dari $23 miliar ke Bermuda untuk menghindari pajak di AS dan Uni Eropa. |
| Transfer Pricing Abuse | Memanipulasi harga aset tidak berwujud (IP) antar anak perusahaan untuk menekan laba di negara pajak tinggi | Amazon menyusun penjualan Eropa melalui Luksemburg untuk membayar pajak minimal di negara-negara Uni Eropa lainnya. |
| Profit Shifting | Memindahkan pendaftaran paten dan algoritma ke wilayah dengan pajak korporasi mendekati nol. | Perusahaan digital membayar rata-rata tarif pajak efektif hanya 9,5%, jauh di bawah bisnis tradisional (23,2%). |
Dampak Sosio-Ekonomi: Ketimpangan dan Erosi Demokrasi
Privatitasi segalanya memiliki konsekuensi jangka panjang yang merusak struktur masyarakat dan stabilitas politik. Dengan melemahkan kontrol demokratis atas sumber daya vital, privatisasi secara aktif memperburuk ketimpangan ekonomi dan sosial.
Perangkap Ketimpangan dan Feedback Loop
Penelitian menunjukkan adanya lingkaran setan antara ketimpangan dan privatisasi. Di masyarakat dengan ketimpangan tinggi, elit ekonomi memiliki kekuatan yang lebih besar untuk mendorong agenda privatisasi yang menguntungkan mereka. Sebaliknya, berkurangnya layanan publik yang berkualitas tinggi memaksa masyarakat untuk beralih ke pasar swasta, yang semakin menguras kekayaan kelompok menengah dan bawah. Fenomena ini menciptakan “perangkap teknologi-ketimpangan” di mana inovasi lebih banyak diarahkan untuk ekstraksi rente daripada peningkatan kesejahteraan umum.
Segregasi Sosial dan Fragmentasi Komunitas
Privatitasi layanan dasar sering kali menyebabkan segregasi sosial yang lebih dalam.
- Sistem Dua Tingkat: Munculnya sekolah piagam (charter schools) atau rumah sakit swasta elit menyedot pendanaan dan bakat dari sistem publik, meninggalkan layanan publik dalam kondisi kronis yang hanya melayani kelompok termiskin.
- Hilangnya Ruang Publik: Bahkan ruang fisik seperti taman dan perpustakaan yang diprivatisasi cenderung membatasi akses bagi kelompok-kelompok tertentu, yang pada akhirnya merusak kohesi sosial dan rasa memiliki warga terhadap komunitasnya.
Jalan Keluar: Perlawanan dan Reclaiming Barang Publik
Meskipun tren privatisasi sangat kuat, terdapat gerakan global yang semakin besar untuk mengambil kembali kontrol publik atas kebutuhan dasar. Gerakan remunisipalisasi menunjukkan bahwa proses ini dapat dibalikkan dan memberikan hasil yang lebih baik bagi masyarakat.
Kisah Sukses Remunisipalisasi: Belajar dari Pengalaman Global
Berbagai kota di seluruh dunia telah berhasil mengambil alih kembali layanan mereka dari sektor swasta setelah mengalami kegagalan pasar.
| Lokasi | Sektor | Alasan Remunisipalisasi | Hasil yang Dicapai |
| Paris, Prancis | Air | Harga mahal, kurang transparansi, profit berlebih bagi korporasi. | Harga turun 8% di tahun pertama, efisiensi €35 juta diinvestasikan kembali, partisipasi warga meningkat. |
| Cochabamba, Bolivia | Air | Kenaikan tarif 300%, larangan penggunaan sumur pribadi. | Kemenangan gerakan rakyat (“Perang Air”), pengembalian kontrol ke tangan publik dan komunitas. |
| Berlin, Jerman | Air | Kurangnya investasi dan janji efisiensi yang gagal. | Pembatalan privatisasi setelah referendum rakyat; pengembalian otoritas demokratis atas tarif. |
| Arenys de Munt, Spanyol | Air | Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas dan jangkauan layanan. | Peningkatan investasi infrastruktur secara signifikan dan efisiensi operasional yang lebih tinggi. |
Pengalaman Paris menunjukkan bahwa model publik yang dikelola secara profesional dapat melampaui efisiensi sektor swasta karena menghilangkan keharusan untuk membayar dividen kepada pemegang saham, sehingga seluruh surplus dapat digunakan untuk pemeliharaan sistem dan pengurangan tarif bagi warga.
Strategi Memperkuat Kontrak Sosial Baru
Untuk menghadapi tantangan privatisasi di masa depan, para ahli dan aktivis menyarankan beberapa langkah strategis
- Transparansi Radikal dalam Kontrak Publik: Negara harus mewajibkan pengungkapan penuh atas seluruh biaya, kinerja, dan rincian operasional setiap entitas swasta yang mengelola barang publik.
- Investasi dalam Kapasitas Negara: Alih-alih mengandalkan keahlian swasta melalui alih daya, pemerintah harus berinvestasi dalam pelatihan tenaga kerja publik, insinyur, dan perencana yang berdedikasi pada kepentingan umum, bukan profit.
- Partisipasi Demokratis Langsung: Membangun mekanisme seperti observatori warga atau penganggaran partisipatif untuk memastikan bahwa komunitas memiliki suara nyata dalam bagaimana kebutuhan dasar mereka dikelola.
- Legislasi Anti-Komodifikasi: Mengadopsi kerangka hukum, bahkan hingga tingkat konstitusi, yang menyatakan bahwa sumber daya vital seperti air tidak boleh diprivatisasi, meniru langkah Austria pada tahun 2019.
- Kedaulatan Digital Nasional: Membangun infrastruktur digital publik (DPI) yang terbuka dan aman untuk mengurangi ketergantungan pada Big Tech dan melindungi data warga sebagai aset publik.
Kesimpulan: Merebut Kembali Hak Dasar dari Logika Pasar
Privatitasi segalanya bukanlah sebuah keniscayaan ekonomi, melainkan pilihan politik yang didasarkan pada ideologi yang menempatkan efisiensi pasar di atas kesejahteraan manusia. Data dari berbagai sektor—air, kesehatan, dan pendidikan—secara konsisten menunjukkan bahwa ketika kebutuhan dasar diubah menjadi komoditas, yang terjadi bukanlah peningkatan kualitas secara universal, melainkan pengucilan sistemik terhadap kelompok yang paling rentan.
Krisis global saat ini, mulai dari perubahan iklim hingga pandemi, menuntut kembalinya peran negara sebagai penjamin keamanan sosial dan penyedia barang publik yang tangguh. Keberhasilan gerakan remunisipalisasi memberikan bukti bahwa masyarakat memiliki kapasitas untuk menolak logika pasar dan membangun kembali sistem yang berbasis pada solidaritas dan hak asasi manusia. Masa depan yang adil hanya dapat dicapai jika kita berhasil merebut kembali kebutuhan dasar kita dari tangan pasar global dan menempatkannya kembali sebagai fondasi dari kontrak sosial yang demokratis dan inklusif. Hak atas kehidupan tidak boleh menjadi barang mewah; ia adalah prasyarat dasar bagi kebebasan dan martabat setiap manusia.


