Hidrogen Hijau: Analisis Kritis Bahan Bakar Masa Depan Versus Hype Strategis Global
Landasan Konseptual dan Kedudukan Hidrogen Hijau
Hidrogen Hijau (GH2) telah muncul sebagai komponen strategis dalam peta jalan dekarbonisasi global. Peran yang diembannya lebih dari sekadar pembawa energi; ia adalah feedstock kimia dan kunci untuk mencapai emisi nol bersih di sektor-sektor yang sangat sulit diatasi (hard-to-abate). Namun, valuasi strategis ini harus diimbangi dengan analisis kritis terhadap realitas teknologi dan ekonomi yang membatasi implementasi massalnya.
Definisi Operasional dan Proses Produksi
Secara teknis, Hidrogen Hijau didefinisikan secara ketat sebagai hidrogen yang diproduksi melalui elektrolisis air (H2O) menggunakan listrik yang bersumber 100% dari energi terbarukan (EBT), seperti tenaga angin atau matahari. Kriteria sumber energi ini sangat penting karena memastikan emisi karbon yang mendekati nol sepanjang siklus hidup produksinya, membedakannya secara fundamental dari bentuk hidrogen lain yang bergantung pada bahan bakar fosil.
Proses produksi melibatkan elektroliser, yang merupakan inti dari rantai nilai GH2. Terdapat berbagai metode elektrolisis, termasuk elektrolisis alkali, elektrolisis Proton Exchange Membrane (PEM), dan Solid Oxide Electrolysis Cell (SOEC). Pengembangan teknologi berfokus pada peningkatan efisiensi, umur, dan pengurangan biaya komponen elektroliser untuk mencapai skalabilitas yang diperlukan. Indonesia sendiri, yang memiliki potensi sumber daya terbarukan yang melimpah, mampu memproduksi hidrogen hingga 1,75 juta ton per tahun, yang akan menjadi bagian integral dari target net zero emission nasional.
Spektrum Warna Hidrogen dan Dinamika Transisi
Untuk memahami kedudukan GH2, penting untuk membandingkannya dengan spektrum hidrogen lainnya. Hidrogen abu-abu (diproduksi dari gas alam tanpa penangkapan karbon) saat ini mendominasi pasar global. Hidrogen biru, diproduksi dari gas alam tetapi dengan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), berfungsi sebagai alternatif rendah karbon yang layak selama periode transisi, menawarkan jembatan menuju tujuan akhir GH2.
Daya saing hidrogen rendah emisi (Biru atau Hijau) sangat bergantung pada intervensi kebijakan pasar, khususnya penetapan harga emisi karbon (CO2). Laporan analisis menunjukkan bahwa hidrogen biru dapat mencapai paritas harga dengan hidrogen abu-abu pada harga CO2 antara $35 dan $50 per ton CO2. Namun, untuk membuat hidrogen hijau secara signifikan kompetitif di berbagai aplikasi, termasuk lalu lintas jalan, kereta api, dan penggunaan material di kilang serta produksi baja, diperlukan harga CO2 yang jauh lebih tinggi, mendekati 100 Euro per ton CO2.
Ketergantungan pada harga karbon yang tinggi ini menyoroti bahwa investasi dalam GH2 saat ini bukan hanya taruhan pada penurunan biaya teknologi, tetapi merupakan taruhan strategis pada pengetatan regulasi iklim global. Jika insentif harga karbon tidak memadai, adopsi GH2 akan terhambat oleh biaya premiumnya yang signifikan. Selain harga CO2, mekanisme insentif lainnya, seperti kuota wajib untuk hidrogen hijau di sektor-sektor tertentu dan kontrak penerimaan jangka panjang, sangat penting untuk mendorong daya saing.
Rasionalitas Dekarbonisasi di Sektor Hard-to-Abate
Rasionalitas utama pengembangan GH2 adalah perannya sebagai pilar dekarbonisasi untuk industri yang secara teknis sulit dialiri listrik. Hidrogen hijau merupakan solusi paling kompetitif di 22 aplikasi akhir yang diidentifikasi, terutama di sektor industri dan transportasi.
Peran strategis GH2 mencakup:
- Industri Berat: GH2 sangat penting sebagai feedstock dalam produksi baja hijau, amonia hijau, dan bahan bakar industri. Sertifikasi produk rendah karbon yang dihasilkan dari proses ini menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing ekspor, terutama dalam menghadapi mekanisme seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa.
- Transportasi Jarak Jauh: Hidrogen dan bahan bakar berbasis hidrogen memiliki peran penting di sektor yang sulit mengurangi emisi, seperti transportasi jarak jauh, pelayaran, dan penerbangan. Untuk sektor maritim, Indonesia, melalui subholding PLN, telah menjajaki potensi penggunaan hidrogen hijau dalam sistem pendukung kapal sebagai upaya dekarbonisasi nasional.
Analisis Ekonomi Makro: Hambatan Biaya dan Proyeksi LCOH
Meskipun potensi teknisnya jelas, tantangan utama yang menghalangi adopsi massal GH2 adalah tingginya biaya produksi. Analisis ekonomi harus berpusat pada Levelized Cost of Hydrogen (LCOH).
Analisis Komponen Kunci LCOH
LCOH adalah metrik kunci yang menentukan sejauh mana hidrogen hijau dapat digunakan secara hemat biaya. Perhitungan LCOH membagi nilai sekarang bersih (Net Present Value/NPV) dari total biaya pembangunan dan pengoperasian pabrik hidrogen dengan NPV dari total produksi hidrogen yang diharapkan selama masa proyek.
LCOH sangat sensitif terhadap tiga faktor utama :
- Harga Listrik EBT Input: Biaya listrik EBT merupakan variabel operasional terbesar.
- Capital Expenditure (CAPEX) Elektroliser: Biaya awal untuk sistem elektroliser (PEM dan Alkaline).
- Capacity Factor EBT: Tingkat utilisasi pembangkit listrik terbarukan yang memasok elektroliser.
Proyeksi Penurunan Biaya dan Target Paritas Global
Pasar hidrogen hijau menunjukkan lintasan pertumbuhan yang signifikan, diproyeksikan meningkat dari $20,05 miliar pada tahun 2023 menjadi $134,87 miliar pada tahun 2030, mengindikasikan optimisme investasi jangka panjang.
Untuk mencapai kelayakan komersial, diperlukan penurunan LCOH secara drastis. Target global yang sering dikutip adalah mencapai LCOH sebesar USD $2 per kilogram ($/kg) pada tahun 2030. Target ini dianggap sebagai ambang batas kritis di mana hidrogen hijau dapat mendekati paritas biaya dengan hidrogen abu-abu di banyak geografi, terutama jika biaya energi terbarukan terus menurun dan skala elektroliser meningkat. Proyeksi menunjukkan bahwa biaya produksi dapat turun lebih lanjut menjadi sekitar US$1,80/kg pada tahun 2040.
Pemerintah di negara-negara produsen, seperti India, telah mengambil langkah kebijakan agresif, termasuk subsidi modal dan insentif manufaktur, untuk mendukung target $2/kg pada tahun 2030.
Dinamika Pasar dan Risiko Investasi Jangka Pendek
Terlepas dari optimisme jangka panjang, pasar saat ini menghadapi tantangan serius. Biaya premium untuk hidrogen hijau dan produk turunannya belum banyak berubah, menyebabkan adopsi proyek hidrogen hijau diprediksi stagnan pada tahun 2025.
Ketidakpastian ini diperkuat oleh kasus-kasus pembatalan proyek besar. Contohnya adalah keluarnya BP dari proyek Australian Renewable Energy Hub (AREH), sebuah proyek raksasa 26 GW yang menggabungkan tenaga angin, surya, dan hidrogen hijau di Australia Barat. Pimpinan BP mengakui bahwa perusahaan “terlalu cepat” dalam prosesnya. Pembatalan ini menunjukkan bahwa risiko investasi utama telah bergeser dari masalah teknis produksi ke masalah bankability proyek, terutama kurangnya kepastian permintaan (offtake) jangka panjang.
Kritik terhadap biaya datang langsung dari pengguna akhir. Konglomerasi semen Siam Cement Group (SCG) menyatakan bahwa hidrogen “masih sangat mahal,” dan belum ada pihak yang bersedia membayar biaya premium saat ini. Oleh karena itu, keberhasilan GH2 di tahap awal komersialisasi sangat bergantung pada instrumen kebijakan seperti kontrak offtake jangka panjang dan penjaminan risiko pasar dan teknologi untuk memfasilitasi investasi dan mengurangi ketidakpastian.
Selain itu, volatilitas politik di pasar-pasar utama, seperti hasil pemilihan umum di Amerika Serikat dan Jerman, dapat menciptakan ketidakpastian yang memperlambat investasi besar karena sektor ini sangat bergantung pada skema dukungan negara dan kebijakan harga karbon. Ini mendorong investor untuk mencari stabilitas di pasar dengan dukungan pemerintah yang kuat, seperti yang terlihat di Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Keterbatasan Teknis dan Efisiensi Energi (Analisis RTE)
Aspek kritis yang sering digunakan untuk mengkritisi hidrogen hijau adalah efisiensi energinya secara keseluruhan, terutama jika digunakan untuk konversi kembali menjadi listrik.
Analisis Kritis Efisiensi Round-Trip Energi
Efisiensi Round-Trip Energi (RTE) mengukur seberapa banyak energi listrik EBT input yang tersisa ketika hidrogen disimpan dan kemudian diubah kembali menjadi energi listrik. Efisiensi ini melibatkan kerugian pada setiap langkah:
- Elektrolisis: Elektrolisis modern (PEM atau Alkaline) umumnya memiliki efisiensi sekitar 70% hingga 85%.
- Penyimpanan/Transportasi: Kompresi hidrogen gas cukup efisien (90–95%), tetapi likuefaksi (pencairan) sangat intensif energi. Tantangan fisik hidrogen adalah kepadatan rendahnya dan kemampuannya untuk berdifusi melalui logam, yang mempersulit penyimpanan gas terkompresi.
- Konversi Balik: Menggunakan sel bahan bakar (fuel cells), efisiensi konversi kembali menjadi listrik berkisar 50% hingga 60%.
Dengan menggabungkan kerugian ini, efisiensi round-trip keseluruhan (dari EBT ke H2, penyimpanan, dan kembali ke listrik) untuk hidrogen gas yang dikompresi berada dalam kisaran 30% hingga 40% dalam kondisi optimal.
Kerugian Konversi Kimia dan Vektor Amonia
Untuk tujuan transportasi jarak jauh dan penyimpanan jangka panjang, hidrogen sering diubah menjadi pembawa energi kimia yang lebih padat, seperti amonia (NH3). Amonia memiliki kepadatan energi yang lebih tinggi dan lebih mudah diangkut.
Proses konversi hidrogen menjadi amonia melalui proses Haber-Bosch biasanya memiliki efisiensi sekitar 85% hingga 90%. Jika amonia harus diurai kembali menjadi hidrogen sebelum digunakan (dekomposisi), akan ada kerugian tambahan dengan efisiensi sekitar 75% hingga 85%.
Apabila semua langkah, termasuk elektrolisis dan konversi sel bahan bakar, digabungkan, RTE untuk hidrogen yang disimpan sebagai amonia turun secara signifikan menjadi sekitar 20% hingga 30%.
Trade-off: Efisiensi vs. Fungsionalitas Logistik
Efisiensi round-trip yang relatif rendah ini seringkali menjadi titik kritik terhadap GH2, terutama jika dibandingkan dengan penyimpanan baterai. Namun, rendahnya RTE untuk amonia (20–30%) harus dipahami sebagai kompromi yang diterima dalam konteks logistik global. Amonia memungkinkan penyimpanan energi jangka panjang (musiman) dan transportasi antarbenua dalam skala besar, serta berfungsi sebagai feedstock pupuk.
Dengan demikian, GH2 tidak secara langsung bersaing dengan baterai dalam hal efisiensi konversi, melainkan bersaing di pasar di mana densitas energi volumetrik yang tinggi dan kebutuhan feedstock kimia mendominasi, seperti di industri berat dan transportasi maritim. Hal ini secara implisit membatasi peran GH2 dalam transportasi ringan, di mana kendaraan listrik baterai (Battery Electric Vehicles / BEVs) unggul karena RTE yang jauh lebih tinggi.
Infrastruktur Logistik Global dan Vektor Transportasi
Tantangan teknis utama GH2 beralih dari produksi ke logistik, melibatkan pengembangan infrastruktur penyimpanan dan transportasi yang masif di tingkat internasional.
Tantangan Penyimpanan Fisik Hidrogen
Sifat fisik hidrogen, yaitu sangat ringan dan mudah terbakar, memerlukan konsep keamanan dan standar yang komprehensif. Pilihan penyimpanan mencakup gas terkompresi, hidrogen cair (likuefaksi), atau dalam bentuk terikat secara kimia (seperti Liquid Organic Hydrogen Carriers/LOHC). Setiap bentuk penyimpanan memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal biaya, kepadatan energi, dan keamanan.
Solusi Infrastruktur Jarak Jauh
- Jaringan Pipa (Hydrogen Backbone)
Untuk mengangkut volume hidrogen yang sangat besar dalam jarak jauh, jalur pipa merupakan pilihan yang paling efektif. Infrastruktur ini memerlukan pembentukan jaringan pipa hidrogen baru, namun efisiensi dapat dicapai melalui pemanfaatan ulang pipa gas alam yang sudah ada.
- Strategi Eropa: Inisiatif European Hydrogen Backbone (EHB) memainkan peran penting dalam strategi energi UE, bertujuan untuk membangun jaringan pipa hidrogen sepanjang 58.000 km pada tahun 2040. Sekitar 60% hingga dua pertiga dari jaringan ini diyakini dapat terdiri dari pipa gas alam yang telah dimodifikasi atau dimanfaatkan ulang (repurposing).
- Implikasi Repurposing: Ketergantungan EHB pada repurposing infrastruktur yang sudah ada merupakan penentu kecepatan. Wilayah atau negara dengan infrastruktur gas alam yang luas dapat mengurangi CAPEX dan waktu konstruksi secara signifikan, memberikan keunggulan kompetitif dalam membangun jaringan hidrogen. EHB dirancang untuk memenuhi volume 20,6 juta ton hidrogen pada tahun 2030, memperkuat ketahanan energi UE dan mendukung dekarbonisasi industri.
Vektor Kimia untuk Perdagangan Global (Amonia Hijau)
Konversi GH2 menjadi Amonia Hijau adalah jalur utama untuk perdagangan internasional, memungkinkan transportasi melalui kapal tanker. Amonia hijau sedang diproyeksikan untuk menjadi komoditas ekspor energi utama dari negara-negara yang kaya sumber daya EBT.
- Proyeksi Ekonomi: Biaya produksi amonia hijau di Indonesia diproyeksikan akan turun dari kisaran US$2.000 per metrik ton pada tahun 2023 menjadi US$700 per metrik ton pada tahun 2030.
- Keamanan dan Regulasi Amonia: Meskipun Amonia memiliki keunggulan logistik, sifatnya yang toksik dan memerlukan konsep keamanan baru menjadi hambatan besar, terutama saat digunakan sebagai bahan bakar maritim. Laporan dari DNV menunjukkan bahwa Amonia menunjukkan kemajuan sebagai bahan bakar kapal, tetapi hambatan regulasi dan masalah keamanan serta persepsi di komunitas maritim tetap menjadi perhatian signifikan. Keterlambatan dalam menetapkan standar keamanan dan operasional Amonia di pelabuhan dan kapal dapat menahan realisasi volume ekspor global Amonia Hijau.
Studi Kasus Strategi Implementasi Internasional dan Risiko Pasar
Implementasi hidrogen hijau menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan strategi geopolitik dan tingkat dukungan negara.
Timur Tengah: Menjadi Pemasok Super Energi
Negara-negara di Timur Tengah, didorong oleh “Visi 2030,” sedang bertransformasi dari “jantung minyak” menjadi “pemasok super energi hidrogen”.
- Proyek NEOM (Arab Saudi): Proyek NEOM Green Hydrogen Company (NGHC) adalah yang terbesar di dunia, didukung oleh ACWA Power dan Air Products, dengan investasi sekitar $8,4 miliar. Proyek di Oxagon ini memanfaatkan 4 GW tenaga surya dan angin, menargetkan produksi harian 600 ton hidrogen bebas karbon. Proyek ini telah mencapai kemajuan 80% dan dijadwalkan untuk mengirimkan amonia hijau pertamanya sebagai produk ekspor pada tahun 2027.
- Strategi UEA: Uni Emirat Arab (UEA) menargetkan kapasitas produksi hidrogen sebesar 900.000 ton per tahun (campuran biru dan hijau) pada tahun 2031.
Keberhasilan proyek-proyek ini didorong oleh pendanaan jangka panjang yang didukung negara, seperti investasi tambahan $10 miliar oleh PIF Arab Saudi. Model pendanaan yang dijamin oleh negara ini meminimalkan risiko pasar dan pelaksanaan, yang menjadi pelajaran penting dibandingkan dengan proyek yang dibatalkan di Australia.
Uni Eropa dan Strategi Impor
Jerman dan Uni Eropa menyadari bahwa mereka tidak dapat menutupi persyaratan hidrogen domestik semata-mata dengan produksi dalam negeri, sehingga strategi impor dan kerja sama internasional sangat penting.
- REPowerEU: Rencana ini bertujuan untuk mencapai total 20,6 juta ton hidrogen pada tahun 2030. UE telah mengidentifikasi lima koridor pipa impor dari wilayah dengan kondisi produksi yang menguntungkan.
- Hambatan Regulasi Internal: Meskipun ada ambisi, percepatan permintaan terhambat oleh lambatnya implementasi target Renewable Energy Directive (RED) untuk transportasi dan industri. Global Hydrogen Review 2025 dari IEA menunjukkan bahwa percepatan GH2 lebih lambat dari yang diinginkan dan membutuhkan peningkatan skema dukungan publik.
Pasar Asia (India dan Indonesia)
- India: India memimpin dalam mempromosikan insentif dan lokalisasi manufaktur elektroliser untuk mencapai target biaya produksi hidrogen hijau $2/kg pada tahun 2030.
- Indonesia: Pemerintah menargetkan Indonesia dapat mengekspor hidrogen hijau mulai tahun 2030. Dengan dukungan inisiatif seperti H2Uppp (GIZ), yang mendorong transfer teknologi dan pengembangan proyek, Indonesia sedang membangun peta jalan Net Zero Emission. Proyek percontohan hidrogen hijau nasional telah dilaksanakan di Ulubelu, Lampung , dan PLN menjalin kerja sama dengan Sembcorp Industries dari Singapura. Selain itu, kolaborasi dengan International Maritime Organization (IMO) sedang berlangsung untuk studi dekarbonisasi sektor maritim nasional.
Proyeksi menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih pragmatis akan diadopsi pada tahun 2025 di tengah biaya premium yang berkelanjutan, dengan Tiongkok dan India diharapkan melanjutkan proyek hidrogen hijau mereka meskipun pasar AS dan Jerman menghadapi ketidakpastian.
Tabel IV: Profil Proyek dan Strategi Hidrogen Hijau Internasional Utama
| Negara/Blok | Fokus Strategis Utama | Target LCOH/Kapasitas Kunci | Status Implementasi Kritis |
| Arab Saudi (NEOM) | Transformasi Geopolitik, Ekspor Amonia | 600 ton H2/hari (4 GW EBT); $8.4B Investasi | 80% siap, ekspor Amonia Hijau ditargetkan 2027 |
| Uni Eropa (EHB) | Ketahanan Energi, Dekarbonisasi Industri | 20.6 Juta Ton H2 Impor/Domestik pada 2030 | Membangun jaringan pipa 58.000 km (60% repurposed). Penerapan regulasi RED lambat. |
| India | Skalabilitas Biaya, Lokalisasi | Target LCOH $2/kg pada 2030 | Kebijakan insentif yang kuat untuk manufaktur dan penurunan biaya. |
| Indonesia | Dekarbonisasi Maritim dan Ekspor | Potensi produksi 1.75 Juta Ton/tahun | Pilot project (Ulubelu), kerja sama IMO dan transfer teknologi (H2Uppp). |
Aplikasi Spesifik: Menembus Batas Dekarbonisasi
Hidrogen hijau menawarkan solusi paling mendesak di sektor-sektor yang paling sulit untuk dialiri listrik, memanfaatkan densitas energi dan sifat kimianya sebagai feedstock.
Industri Berat dan Penggantian Feedstock
Prioritas jangka pendek yang memiliki tantangan teknis relatif rendah adalah mengganti hidrogen berbasis bahan bakar fosil yang sudah digunakan (hidrogen abu-abu) dengan hidrogen rendah emisi. Aplikasi ini mencakup sektor penyulingan minyak, manufaktur semikonduktor, pemurnian kaca, dan industri farmasi.
Langkah ini menciptakan jalur komersial tercepat bagi GH2, karena berfokus pada decarbonization-by-replacement dalam aplikasi yang sudah matang. Lebih lanjut, hidrogen sangat penting sebagai feedstock baru untuk produksi baja hijau dan amonia hijau. Pembangunan ekosistem hidrogen hijau harus didorong melalui pilot project di berbagai sektor untuk membuktikan kelayakan dan manfaatnya.
Sektor Transportasi Maritim dan Penerbangan
Dalam transportasi, GH2 memainkan peran vital dalam memfasilitasi perjalanan jarak jauh yang tidak dapat diatasi oleh teknologi baterai karena keterbatasan densitas energi.
- Maritim: Hidrogen dan turunannya (Ammonia, Metanol) adalah solusi penting untuk sektor pelayaran. Metanol menawarkan densitas energi yang relatif tinggi dan dapat memanfaatkan infrastruktur LNG yang sudah ada, meskipun tantangan emisi CO2 tetap ada kecuali jika dikombinasikan dengan Direct Air Capture (DAC). Indonesia secara aktif menargetkan dekarbonisasi sektor maritimnya melalui pemanfaatan hidrogen hijau lokal.
- Penerbangan: Hidrogen diperlukan untuk penerbangan jarak jauh dan merupakan bahan baku utama untuk produksi Sustainable Aviation Fuel (SAF).
- Transportasi Darat Jarak Jauh: Di sektor ini, GH2 dapat menjadi solusi yang kompetitif, terutama untuk truk dan kereta api, asalkan mekanisme insentif, seperti harga CO2 yang tinggi, ditetapkan.
Kesimpulan
Analisis teknologi dan ekonomi Hidrogen Hijau menunjukkan dualitas yang jelas: ia adalah Bahan Bakar Masa Depan yang tak terhindarkan tetapi saat ini masih terkendala oleh Hype Strategis yang belum didukung oleh kematangan pasar dan biaya yang kompetitif.
Sintesis Realitas: Keseimbangan Kritis
- GH2 sebagai Bahan Bakar Masa Depan (Keniscayaan Strategis):GH2 merupakan satu-satunya jalur tanpa emisi yang layak untuk dekarbonisasi industri berat (hard-to-abate), memfasilitasi penyimpanan energi jangka panjang (musiman), dan memungkinkan perdagangan energi antarbenua melalui vektor kimia seperti amonia. Proyek-proyek skala super (seperti NEOM) dan strategi infrastruktur besar (seperti EHB) membuktikan bahwa GH2 adalah landasan transisi energi jangka panjang. Ini adalah solusi dekade 2030-an.
- GH2 sebagai Hype Strategis (Belum Matang Secara Ekonomi):Status “hype” muncul dari ekspektasi jangka pendek yang tidak realistis di hadapan tantangan biaya. LCOH yang masih tinggi , efisiensi round-tripenergi (RTE) yang rendah (30-40%) , dan sensitivitas tinggi terhadap ketidakpastian kebijakan (seperti yang terlihat dalam stagnasi 2025) , menunjukkan bahwa GH2 belum siap untuk adopsi pasar yang didorong oleh keuntungan murni. Kegagalan proyek besar di Australia menggarisbawahi bahwa risiko utama saat ini adalah risiko pasar (offtake), bukan sekadar risiko teknis produksi.
Untuk mentransformasi GH2 dari janji strategis menjadi realitas komersial, diperlukan tiga pilar intervensi yang disengaja:
- Menciptakan Kepastian Permintaan (Demand Certainty): Pemerintah harus menerapkan kuota wajib untuk penggunaan hidrogen hijau di sektor industri dan transportasi, mengikuti target RED Eropa. Insentif harus fokus pada pembiayaan kontrak penerimaan (offtake) jangka panjang untuk mengurangi risiko pasar bagi produsen, yang merupakan penghalang utama bagi bankability proyek.
- Akselerasi Infrastruktur Logistik: Prioritaskan repurposing infrastruktur gas alam yang ada menjadi pipa hidrogen, karena ini adalah solusi paling hemat biaya untuk transportasi jarak jauh. Secara simultan, pengembangan dan penetapan standar keamanan yang komprehensif untuk Amonia sebagai bahan bakar maritim sangat mendesak untuk memungkinkan realisasi volume ekspor global.
- Insentif untuk Paritas Biaya: Implementasi penuh kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan harga CO2 yang efektif sangat penting. Selain itu, pemberian insentif lokal, mirip dengan yang diterapkan India, akan mempercepat penurunan LCOH menuju target $2/kg, didukung oleh fasilitas pembiayaan hijau dan penjaminan risiko teknologi.
