Loading Now

Perlombaan Antariksa Global Menuju Bulan dan Mars: Analisis Arsitektur, Geopolitik, dan Peran Sektor Swasta

Tiga Pilar Eksplorasi Antariksa Global

Eksplorasi antariksa dalam dekade ini telah bertransformasi dari dominasi monolitik yang didorong oleh negara menjadi arena persaingan yang kompleks, ditandai oleh aliansi geopolitik yang berbeda dan disrupsi teknologi sektor swasta. Perlombaan Antariksa Global Baru menuju Bulan dan Mars saat ini berdiri di atas tiga pilar utama: upaya yang dipimpin Amerika Serikat (AS) melalui Program Artemis; strategi yang dikendalikan oleh negara dan ambisius dari Tiongkok melalui Program Chang’e dan Stasiun Penelitian Bulan Internasional (ILRS); dan kebangkitan India yang berfokus pada efisiensi biaya dan kedaulatan teknologi.

Konteks Geopolitik Baru di Cislunar Space

Perlombaan abad ke-21 tidak hanya didefinisikan oleh pencapaian teknis tetapi juga oleh pembentukan sistem tata kelola di wilayah cislunar. AS memimpin model eksplorasi berbasis kemitraan komersial dan aliansi yang diperkuat melalui Artemis Accords. Strategi ini secara eksplisit mengundang keterlibatan sektor swasta untuk menanggung risiko teknis dan kecepatan pengembangan, sementara AS mempertahankan kendali atas standar internasional. Di sisi lain, Tiongkok dan Rusia menawarkan model yang didorong oleh negara, berpusat pada ILRS, yang meskipun terbuka bagi semua negara yang tertarik , menekankan kendali terpusat dan kurangnya komitmen eksplisit terhadap transparansi data ilmiah penuh dibandingkan dengan Artemis Accords. India muncul sebagai kekuatan independen yang strategis, mengamankan capaian deep space (seperti pendaratan Kutub Selatan) dengan anggaran yang hemat.

Divergensi Arsitektur dan Efisiensi Biaya

Analisis arsitektur AS mengungkapkan divergensi mendalam dalam efisiensi pengeluaran. Program Artemis menunjukkan ketergantungan kritis pada sistem warisan yang dibangun pemerintah, seperti Space Launch System (SLS) dan kapsul Orion, yang telah mengalami pembengkakan biaya dan penundaan signifikan. Hingga tahun 2022, program SLS dan Orion telah menghabiskan total $44.2 miliar. Masalah ini diperburuk oleh kegagalan infrastruktur pendukung, seperti pembengkakan biaya Mobile Launcher 2 (ML-2) hingga enam kali lipat, diperkirakan mencapai $1.8 miliar hingga $2.7 miliar, dengan pengiriman tertunda hingga September 2027. Keterlambatan kritis ini mengancam jadwal ambisius untuk pendaratan Artemis III yang ditargetkan pertengahan 2027.

Kontrasnya, segmen Human Landing System (HLS) yang dikontrakkan kepada sektor swasta (SpaceX dan Blue Origin) menggunakan model firm fixed-price yang menunjukkan efisiensi biaya dan kecepatan pengembangan yang jauh lebih besar. Ini menyoroti bahwa inovasi dan kecepatan dalam arsitektur Barat kini berada di bawah kendali aktor swasta.

Tujuan Utama yang Sama: ISRU di Kutub Selatan

Terlepas dari perbedaan model pendanaan dan geopolitik, semua kekuatan antariksa utama berkonvergensi pada satu tujuan strategis: Kutub Selatan Bulan. Wilayah ini dipandang penting bukan hanya untuk prestise, tetapi untuk potensi cadangan es airnya. Konfirmasi es air sangat vital karena memungkinkan pemanfaatan sumber daya di tempat (In-Situ Resource Utilization atau ISRU). ISRU—baik untuk memproduksi propelan hidrogen/oksigen yang diperlukan untuk bahan bakar pendarat Bulan yang dapat digunakan kembali maupun untuk menopang kehidupan manusia—adalah prasyarat logistik untuk keberlanjutan basis lunar jangka panjang dan merupakan jembatan teknologi krusial menuju misi Mars. Baik AS, Tiongkok, maupun India (melalui Chandrayaan-3) telah menargetkan dan mulai menyelidiki wilayah polar ini.

Arsitektur Barat: Program Artemis NASA dan Dominasi Sektor Swasta

Program Artemis NASA mewakili upaya ambisius AS untuk mengembalikan manusia ke permukaan Bulan dan menjadikannya sebagai batu loncatan untuk misi berawak ke Mars. Program ini ditandai dengan kombinasi unik antara sistem warisan yang dikelola pemerintah dan sistem komersial yang didorong oleh inovasi.

Program Artemis: Fasa, Target, dan Infrastruktur Kunci

Program Artemis telah maju melalui beberapa fase kunci. Artemis I, misi uji terbang tanpa awak yang penting, berhasil diluncurkan pada 16 November 2022, setelah mengalami penundaan, untuk menguji roket Space Launch System (SLS) dan kapsul Orion. Kapsul berawak empat orang ini terbang sejauh 8889 km di luar Bulan dan kembali ke Bumi, mengumpulkan data penerbangan kritis tentang modul Orion dan sistem pendukung kehidupannya.

Jadwal misi berawak berikutnya menunjukkan penundaan yang signifikan dari target awal:

  • Artemis II: Misi uji terbang berawak pertama SLS dan Orion, yang akan membawa empat kru ke lintasan free-return di sekitar Bulan. Meskipun awalnya ditargetkan pada 2024, peluncurannya kini dijadwalkan tidak lebih awal dari Februari hingga April 2026. Misi ini akan berlangsung antara delapan hingga sepuluh hari.
  • Artemis III: Misi yang bertujuan untuk mengembalikan manusia ke permukaan Bulan untuk pertama kalinya sejak Apollo, dijadwalkan paling cepat pertengahan 2027. Dua astronaut akan turun ke permukaan selama sekitar 6.5 hari dan melakukan setidaknya dua Extravehicular Activities (EVA).
  • Misi Berkelanjutan: Artemis IV (September 2028), yang akan mencakup pemasangan modul Gateway, dan Artemis V (Maret 2030).

Infrastruktur pendukung menunjukkan tekanan finansial dan jadwal yang serius. Hingga tahun 2022, program Orion telah menelan biaya pengembangan $20.4 miliar, dan program SLS telah mencapai $23.8 miliar, menghasilkan biaya total $44.2 miliar untuk pengembangan dan pembangunan unit awal. Selain itu, infrastruktur darat—khususnya Mobile Launcher 2 (ML-2)—yang diperlukan untuk peluncuran SLS Block 1B yang lebih kuat, telah menghadapi pembengkakan biaya yang luar biasa, dari proyeksi awal $383 juta menjadi perkiraan saat ini $1.8 miliar hingga $2.7 miliar. Pengiriman ML-2 ini kini tertunda hingga September 2027.

Keterlambatan ini menciptakan hambatan kritis dalam arsitektur Artemis. Meskipun elemen pendaratan komersial mungkin siap lebih awal, kemampuan untuk meluncurkan misi yang lebih kompleks (seperti Artemis IV yang menggunakan SLS Block 1B untuk membawa modul Gateway) secara langsung terikat pada jadwal elemen infrastruktur berbiaya tinggi yang dikelola pemerintah seperti ML-2. Hal ini memperjelas bahwa model pendanaan cost-plus untuk sistem warisan AS bertindak sebagai hambatan utama terhadap kecepatan program secara keseluruhan.

Elemen arsitektur penting lainnya adalah Gateway, stasiun luar angkasa pertama yang mengorbit Bulan dalam orbit near-rectilinear halo orbit (NRHO). Gateway adalah kolaborasi internasional (melibatkan CSA, ESA, JAXA, MBRSC) dan berfungsi sebagai platform penting untuk menguji kemampuan yang dibutuhkan untuk kehadiran manusia berkelanjutan di luar angkasa dalam, dan memetakan jalur untuk misi berawak ke Mars. Elemen pertama (PPE dan HALO) diharapkan diluncurkan paling cepat tahun 2027, sebelum Artemis IV, dengan astronot Artemis IV menjadi kru pertama yang memasuki Gateway.

Disrupsi Komersial: Kontrak Human Landing System (HLS)

Peran sektor swasta, terutama melalui kontrak Human Landing System (HLS), merupakan kontras tajam dengan dinamika program warisan NASA.

SpaceX Starship HLS

SpaceX Starship HLS (Human Landing System) adalah varian pendarat bulan yang dapat digunakan kembali, dipilih sebagai elemen penting Program Artemis. NASA memberikan kontrak firm fixed-price senilai $2.89 miliar kepada SpaceX pada tahun 2021 untuk pengembangan, manufaktur, dan pelaksanaan dua penerbangan operasional: demonstrasi tanpa awak dan pendaratan berawak (Artemis III). Selanjutnya, NASA memberikan modifikasi kontrak Option B senilai $1.15 miliar untuk Starship HLS generasi kedua yang lebih besar, untuk menjalankan misi pendaratan berawak Artemis IV, termasuk berlabuh dengan Lunar Gateway.

Starship HLS menonjol karena kapasitasnya yang masif. Kapasitas muatan ke permukaan Bulan mencapai 100.000 kg, dan volumenya adalah 614 m3. Dalam arsitektur Artemis III, kru empat orang akan diluncurkan menggunakan SLS/Orion ke NRHO, di mana dua astronaut akan dipindahkan ke Starship HLS. HLS kemudian akan turun ke permukaan untuk tinggal selama sekitar tujuh hari, termasuk setidaknya lima EVA, sebelum kembali ke Orion di NRHO. Namun, misi Starship HLS memerlukan logistik pengisian bahan bakar yang kompleks di orbit Bumi menggunakan beberapa pesawat tanker Starship sebelum melakukan dorongan ke NRHO.

Kapasitas muatan Starship yang luar biasa ini secara fundamental mengubah arsitektur eksplorasi, memungkinkan pengerahan infrastruktur ISRU dan habitat skala besar dalam satu kali peluncuran, memberikan keunggulan logistik yang tak tertandingi untuk membangun basis berkelanjutan.

Blue Origin Blue Moon

Untuk memastikan redundansi dan persaingan berkelanjutan, NASA mengontrak Blue Origin pada Mei 2023 untuk mengembangkan sistem pendaratan Blue Moon. Kontrak senilai $3.4 miliar ini mencakup misi uji tak berawak diikuti oleh pendaratan berawak yang direncanakan untuk Artemis V (Maret 2030). Pendarat Blue Moon ditenagai oleh mesin BE-7 hydrolox.

Menariknya, meskipun dalam fase desain awal HLS, Blue Origin menerima kontrak konseptual yang lebih besar ($10.182 miliar), pada akhirnya SpaceX memenangkan kontrak implementasi akhir Artemis III dengan total biaya yang jauh lebih rendah ($2.89 miliar). Hal ini menggarisbawahi efektivitas model fixed-price NASA dalam mendorong efisiensi dan inovasi cepat di sektor swasta, yang jauh lebih gesit daripada pembangunan sistem warisan AS.

Visi Mars: Mengubah Tujuan Dekade Kedua Artemis

Program Artemis secara eksplisit dirancang untuk memetakan jalur menuju Mars. Visi ini sebagian besar dipertahankan oleh sektor swasta, yaitu SpaceX.

Arsitektur Starship didasarkan pada penggunaan metana cair (CH4​) dan oksigen cair (LOX) sebagai propelan. Pilihan propelan ini sangat strategis karena metana dan oksigen dapat ditambang dan dimurnikan di Mars melalui ISRU, menjadikan Starship kendaraan yang dirancang sejak awal untuk keberlanjutan interplanetar.

SpaceX memiliki jadwal Mars yang sangat agresif. Perusahaan itu menargetkan peluncuran Starship tak berawak pertama ke Mars pada tahun 2026. Jadwal ini mendahului pendaratan berawak Artemis III NASA. Misi awal tak berawak ini akan krusial, mengirimkan sekitar 100 metrik ton kargo per misi untuk melakukan pekerjaan robotic precursor. Kegiatan prioritas tertinggi termasuk pre-penempatan pasokan, pengujian teknologi ISRU berisiko tinggi (khususnya untuk air es), dan pembangunan infrastruktur dasar secara otonom (seperti landasan pendaratan).

Ini menunjukkan bahwa sektor swasta AS menjalankan agenda eksplorasi Mars yang independen dan lebih cepat daripada program pemerintah. Fokus eksplisit pada pengujian ISRU dan konstruksi infrastruktur otonom sebelum kedatangan kru mengonfirmasi bahwa ISRU bukan hanya masalah teknis, tetapi syarat mutlak untuk kelangsungan hidup dan pendirian kehadiran manusia yang berkelanjutan di Planet Merah.

Ambisi Timur: Strategi Konsolidasi Tiongkok dan Aliansi ILRS

Tiongkok, melalui China National Space Administration (CNSA), telah menetapkan peta jalan yang metodis dan didukung oleh negara untuk menantang kepemimpinan AS dalam eksplorasi antariksa dalam. Strategi ini berpusat pada program Bulan Chang’e yang sukses dan pembangunan Stasiun Penelitian Bulan Internasional (ILRS).

Program Chang’e: Dari Pendaratan Jauh ke Kutub Selatan

Program Chang’e Tiongkok telah mencapai tonggak sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk menjadi negara pertama yang mendarat dan melakukan pengambilan sampel dari sisi jauh Bulan. Program ini kini berfokus pada Kutub Selatan, simetris dengan tujuan Artemis.

  • Chang’e-7: Dijadwalkan diluncurkan pada tahun 2026, misi ini akan menuju Kutub Selatan Bulan untuk melakukan eksplorasi yang terperinci.
  • Chang’e-8: Dijadwalkan sekitar tahun 2028 atau 2029, misi ini sangat penting untuk fase konstruksi ILRS. Tujuan utamanya adalah menguji teknologi untuk membangun habitat menggunakan tanah bulan (regolith) dan mulai menyelidiki lokasi untuk infrastruktur ILRS di masa depan.

Pendekatan Tiongkok dicirikan oleh integrasi pengujian teknologi habitat (Chang’e-8) ke dalam fase robotik, memastikan bahwa infrastruktur domestik diuji penuh sebelum kedatangan manusia. Tiongkok menargetkan pendaratan berawak di Bulan pada tahun 2030, didukung oleh infrastruktur yang telah diuji secara robotik.

Selain misi Bulan, peta jalan eksplorasi planet Tiongkok mencakup ambisi yang lebih dalam: Tianwen-3, misi pengambilan sampel Mars, dan Tianwen-4, yang dirancang untuk mempelajari Jupiter dan satelitnya. Ini mengindikasikan bahwa Tiongkok memiliki tujuan strategis jangka panjang untuk membangun kehadirannya di seluruh Tata Surya.

Stasiun Penelitian Bulan Internasional (ILRS)

ILRS adalah inisiatif Tiongkok dan Rusia untuk membangun fasilitas penelitian eksperimental yang kompleks di permukaan Bulan dan/atau di orbit, yang dirancang untuk operasi tanpa awak jangka panjang dengan prospek kehadiran manusia di masa depan. Fase konstruksi ILRS direncanakan berlangsung dari tahun 2026 hingga 2035, menyusul selesainya misi Chang’e-8.

ILRS berfungsi sebagai platform geopolitik alternatif, menantang hegemoni Artemis Accords. Meskipun ILRS menggarisbawahi bahwa proyek tersebut akan “terbuka untuk semua negara yang tertarik dan mitra internasional” , aliansi utamanya didominasi oleh negara-negara yang tidak menandatangani Accords. Mitra-mitra ini meliputi Rusia, Pakistan, Venezuela, Azerbaijan, Belarus, Mesir, dan Afrika Selatan. Venezuela, misalnya, akan menyediakan akses ke stasiun bumi.

Meskipun pejabat AS mengakui bahwa prinsip-prinsip ILRS memiliki banyak kesamaan dengan Artemis Accords—seperti komitmen untuk tujuan damai dan menghindari gangguan berbahaya —perbedaan mendasar terletak pada komitmen terhadap transparansi. Artemis Accords menekankan open science dan pembagian data ilmiah, sementara Tiongkok belum merilis versi publik dari prinsip-prinsip ILRS yang menggarisbawahi komitmen serupa. Persaingan ini bukan hanya tentang pendaratan, tetapi tentang mendefinisikan standar tata kelola dan operasional di luar angkasa cislunar.

Jangkauan Lebih Dalam: Peta Jalan Eksplorasi Planet Tiongkok

Kebangkitan Tiongkok dalam ruang angkasa dalam didukung oleh pertumbuhan yang luar biasa dalam kecanggihan operasional dan alokasi sumber daya. Tiongkok telah menunjukkan kemampuan manuver satelit yang tinggi, bahkan dilaporkan bermanuver untuk melawan upaya AS untuk menginspeksi satelit Tiongkok. Tiongkok juga mengoperasikan satelit komunikasi pertama dan satu-satunya di titik Lagrange L2 Bumi-Bulan.

Pengeluaran antariksa Tiongkok sulit ditentukan secara pasti karena kebijakan fusi sipil-militer, yang memungkinkan sumber daya militer dan sipil dialirkan secara fleksibel ke dalam program luar angkasa. Meskipun anggaran antariksa resmi Tiongkok pada tahun 2024 diyakini sekitar $19 miliar, beberapa analis Eropa memperkirakan angka sebenarnya jauh di atas itu, bahkan mencapai $72 miliar yang dialokasikan dari anggaran pertahanan.

Selain pendanaan negara, sektor komersial Tiongkok sedang berkembang pesat, didorong oleh keterlibatan perusahaan swasta untuk inovasi. Industri luar angkasa komersial Tiongkok diproyeksikan bernilai lebih dari $900 miliar pada tahun 2029. Namun, tidak seperti AS, perusahaan swasta Tiongkok beroperasi di bawah pengawasan pemerintah yang ketat dan sangat bergantung pada pendanaan negara, yang membatasi inovasi disruptif di tingkat yang terlihat pada perusahaan seperti SpaceX. Fusi sipil-militer Tiongkok memberikan keunggulan strategis karena memungkinkan sinergi teknologi yang cepat dan tidak terhambat oleh proses anggaran sipil Barat, memberikan kecepatan dan ketidakpastian yang tinggi bagi para pesaing.

Kekuatan Baru: Kebangkitan India dan Strategi Efisiensi Biaya (ISRO)

India, melalui Indian Space Research Organisation (ISRO), telah memantapkan dirinya sebagai pemain utama dalam eksplorasi deep space, menyeimbangkan antara ambisi nasional dan strategi aliansi internasional yang cerdas.

Pencapaian Lunar: Chandrayaan-3 dan Eksplorasi Kutub Selatan

Pencapaian paling signifikan India baru-baru ini adalah keberhasilan misi Chandrayaan-3 pada tahun 2023. India menjadi negara keempat yang berhasil mendarat di Bulan dan, yang lebih penting secara strategis, menjadi negara pertama yang berhasil mendarat di dekat Kutub Selatan Bulan yang belum pernah dieksplorasi.

Misi ini menghasilkan data “ground truth” yang sangat berharga mengenai lingkungan Kutub Selatan, termasuk pengukuran kondisi plasma dan suhu permukaan bulan. Data ini, yang dikumpulkan dengan model cost-effective ISRO, sangat vital bagi perencanaan misi berawak jangka panjang, mengingat fokus Artemis dan ILRS yang sama-sama ingin mendirikan basis di wilayah tersebut. Keberhasilan Chandrayaan-3 memvalidasi model ISRO yang berfokus pada efisiensi biaya (fiscal prudence) dan meningkatkan profil India sebagai kekuatan antariksa yang matang.

Misi Gaganyaan: Tonggak Sejarah Penerbangan Antariksa Berawak India

Program Gaganyaan adalah program Penerbangan Antariksa Manusia India, yang bertujuan untuk meluncurkan kendaraan orbital berawak ke orbit Bumi rendah (LEO). Kendaraan ini dirancang untuk membawa tiga orang kru ke orbit 400 km selama hingga tujuh hari.

Program Gaganyaan telah memasuki fase final. Setelah keberhasilan misi uji kendaraan tak berawak (TV-D1), India kini menargetkan penerbangan antariksa berawak perdananya pada kuartal pertama tahun 2027. Peluncuran ini, yang menggunakan roket India dan astronaut India dari tanah India, secara politik memposisikan India sebagai anggota klub antariksa berawak eksklusif yang berdaulat, sekitar waktu yang sama dengan target pendaratan berawak Artemis III AS. Dengan anggaran yang relatif kecil dibandingkan AS dan Tiongkok (anggaran tahunan ISRO sekitar $1.6 miliar) , program ini menunjukkan bahwa kemampuan deep space dapat dicapai dengan fiscal prudence dan teknologi pribumi.

Visi Jangka Panjang: Keterlibatan Global dan Ambisi 2040

India secara strategis telah menyelaraskan dirinya dengan kerangka tata kelola Barat dengan menandatangani Artemis Accords pada Juni 2023, memperkuat kerja sama antariksa dengan AS. Penjajaran strategis ini dilengkapi dengan rencana jangka panjang yang sangat ambisius. Di bawah Visi Antariksa 2047, India bertujuan untuk membangun stasiun antariksa nasional pada tahun 2035 dan mendirikan aktivitas ekonomi lunar pada tahun 2040. ISRO juga memiliki program eksplorasi planet komparatif yang mencakup rencana untuk misi ke Mars dan Venus.

Strategi India menggabungkan Strategic Alignment (melalui Accords) dengan Sovereign Capacity (Gaganyaan dan stasiun nasional). Hal ini memungkinkan India untuk memanfaatkan teknologi dan data Barat (seperti jaringan Deep Space Network NASA ) sambil mempertahankan otonomi teknologinya, menghindari ketergantungan pada blok AS atau Tiongkok.

Analisis Perbandingan dan Implikasi Geopolitik

Perlombaan ke Bulan dan Mars saat ini bukan hanya persaingan teknologi, tetapi pertarungan model arsitektur, kebijakan pendanaan, dan tata kelola global.

Komparasi Arsitektur Menuju Bulan: Kerangka Keberlanjutan

Dua model utama—Hybrid (AS) dan Terpusat (Tiongkok)—menawarkan jalur yang berbeda menuju basis lunar permanen.

Model AS/Artemis menunjukkan dikotomi: kecepatan inovasi HLS komersial sangat tinggi, tetapi proses peluncuran yang sangat mahal dan lambat (SLS/Orion) menciptakan risiko jadwal sistemik. Keuntungan strategis utama AS terletak pada Starship HLS, yang dengan kapasitas muatan 100 metrik ton ke permukaan Bulan , memungkinkan pembangunan basis yang jauh lebih cepat daripada arsitektur peluncuran tradisional berbasis modul kecil. Keberlanjutan AS di Bulan selanjutnya akan dijamin oleh Gateway yang mengorbit NRHO, berfungsi sebagai pos terdepan dan platform pengujian teknologi Mars.

Tiongkok, sebaliknya, menggunakan model terpusat, mengendalikan seluruh rantai pasokan. Meskipun mungkin lebih lambat dari Starship, pendekatan Tiongkok menjamin kedaulatan teknologi dan integrasi vertikal. ILRS yang direncanakan oleh Tiongkok akan bergantung pada pengujian ISRU (konstruksi regolith) dalam misi robotik Chang’e-8 sebelum pendaratan berawak pada tahun 2030.

Tabel Perbandingan Arsitektur Lunar Utama

Karakteristik AS/Artemis (Hybrid) Tiongkok/ILRS (Terpusat) India (LEO & Deep Space)
Penyedia Kendaraan Kru Pemerintah (SLS/Orion) & Swasta (HLS) SOE (Long March, Sistem Chang’e) Pemerintah (Gaganyaan)
Model Pendanaan Utama Hybrid (High-Cost Government + Fixed-Price Commercial) State-Owned Enterprise (SOE) / Civil-Military Fusion Cost-Effectiveness / Fiscal Prudence
Pilar Keberlanjutan Lunar Gateway Orbit (NRHO) & HLS Kapasitas Tinggi (100t) Stasiun Permukaan ILRS (Habitat Testing Chang’e-8) Data Kutub Selatan (Chandrayaan-3)
Target Pendaratan Berawak Mid-2027 (Artemis III) 2030 (Mandiri) 2027 (LEO, Gaganyaan)

Geopolitik Tata Kelola Antariksa

Persaingan untuk mendefinisikan norma operasional di luar angkasa cislunar diwujudkan melalui Artemis Accords dan ILRS. Secara fundamental, kedua kerangka kerja tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip yang sudah ada dalam perjanjian antariksa internasional, seperti penggunaan damai dan menghindari gangguan berbahaya.

Namun, perbedaan mendasar muncul dalam hal tata kelola dan transparansi. Artemis Accords menuntut komitmen yang kuat terhadap transparansi, pendaftaran objek, dan pembagian data ilmiah secara terbuka. Kerangka kerja ini secara eksplisit juga mengizinkan penggunaan sumber daya antariksa (ISRU) secara legal. Sebaliknya, Tiongkok belum mempublikasikan secara rinci prinsip-prinsip operasional ILRS, dan komitmen terhadap open science yang penuh dipertanyakan.

Munculnya dua kerangka tata kelola yang paralel ini, dipimpin oleh blok geopolitik yang bersaing, menciptakan risiko fragmentasi orbital dan perselisihan regulasi di masa depan, terutama ketika aktivitas penambangan sumber daya di Kutub Selatan meningkat. India, sebagai penandatangan Artemis Accords tetapi mempertahankan strategi otonomi yang kuat, dapat berperan sebagai penyeimbang yang penting dalam menjaga stabilitas normatif.

Tabel Komparatif Kerangka Tata Kelola Antariksa Lunar

Kerangka Tata Kelola Artemis Accords International Lunar Research Station (ILRS)
Pemimpin Utama Amerika Serikat (NASA) Tiongkok (CNSA) dan Federasi Rusia (Roscosmos)
Kemitraan Kunci 32+ Negara (termasuk India, Jepang, dll.) Rusia, Pakistan, Venezuela, Afrika Selatan, Belarus, dll.
Fokus Utama Zona Keamanan, Penggunaan Sumber Daya (ISRU), dan Open Science Pembangunan Fasilitas Penelitian Permanen, Eksperimen Multidisiplin
Keterbukaan/Transparansi Tinggi (Dokumen publik, Komitmen Open Science) Rendah/Non-publik (Kurangnya komitmen eksplisit terhadap transparansi data ilmiah penuh)

Perlombaan Sumber Daya: In-Situ Resource Utilization (ISRU)

ISRU adalah faktor logistik tunggal yang menentukan apakah kehadiran manusia di Bulan dan Mars akan bersifat kunjungan singkat atau keberlanjutan. Semua kekuatan utama memandang Kutub Selatan sebagai gudang es air yang memungkinkan ekstraksi propelan.

NASA telah menetapkan metrik keberlanjutan spesifik: target awal ISRU adalah memproduksi 10 metrik ton per tahun oksigen dari regolith bulan untuk bahan bakar pendarat paling lambat tahun 2030. Target jangka panjang adalah menambang 15 metrik ton per tahun air di kawah polar untuk bahan bakar pendarat yang dapat digunakan kembali. Misi CubeSat NASA (Lunar Flashlight, LunaH-MAP, Lunar IceCube) secara aktif memetakan lokasi dan jumlah air es ini.

Tiongkok fokus pada penggunaan regolith untuk konstruksi fisik (Chang’e-8) , sementara Starship SpaceX dirancang untuk menghasilkan propelan metana/oksigen di Mars. Ketergantungan Starship pada ISRU untuk propelan menegaskan bahwa ISRU adalah pilar tunggal yang menjembatani eksplorasi Bulan (sebagai pengujian) dengan Mars (sebagai tujuan hidup). Negara atau blok yang pertama kali menguasai teknologi ekstraksi dan pemrosesan sumber daya lunar pada skala industri akan mendefinisikan kepemimpinan ekonomi di cislunar space.

Ekonomi Perlombaan Antariksa

Pengeluaran pemerintah global untuk program luar angkasa mengalami pertumbuhan yang signifikan, meningkat 11% menjadi $125 miliar pada tahun 2023. AS memimpin dalam pengeluaran resmi ($27.185 miliar pada FY 2024 untuk NASA). Namun, kesulitan dalam menentukan anggaran Tiongkok—yang diperkirakan berkisar antara $19 miliar hingga $72 miliar karena fusi sipil-militer —menyiratkan bahwa modal nasional Tiongkok yang dialokasikan mungkin lebih seimbang dibandingkan AS daripada yang terlihat dari angka sipil NASA.

Model India menunjukkan efisiensi biaya yang luar biasa. Dengan anggaran tahunan ISRO sekitar ₹13,416.2 crore (sekitar $1.6 miliar) pada 2025–2026 , India mampu mencapai tonggak deep space yang kritis (Chandrayaan-3) dan mengembangkan kemampuan penerbangan berawak (Gaganyaan). Model India menawarkan studi kasus penting bagi negara-negara berkembang lainnya, menunjukkan bahwa kemampuan antariksa yang tinggi dapat dicapai melalui kehati-hatian fiskal dan teknologi pribumi.

Kesimpulan

Periode 2026 hingga 2030 akan menjadi periode eksekusi yang intensif. Jadwal Artemis AS sangat rentan terhadap kemacetan yang disebabkan oleh sistem warisan, terutama keterlambatan Mobile Launcher 2 yang dijadwalkan September 2027, yang secara kritis menahan misi berkelanjutan Artemis. Keberhasilan Starship HLS (SpaceX) untuk mencapai Bulan atau Mars (peluncuran tanpa awak pertama ke Mars ditargetkan 2026) akan menjadi penentu apakah sektor swasta AS dapat mengimbangi kelambatan pemerintah. Secara paralel, keberhasilan misi berawak Gaganyaan India pada tahun 2027 akan menegaskan status kedaulatan India di antariksa. Sementara itu, Tiongkok akan menyelesaikan fase robotik Chang’e-7 dan Chang’e-8, menyiapkan infrastruktur yang teruji penuh untuk pendaratan berawak 2030.

Fokus persaingan akan beralih dari pendaratan “pertama” ke keberlanjutan basis permanen. Negara atau blok yang menguasai ISRU—kemampuan untuk secara andal mengekstraksi dan memproses air, oksigen, dan regolith—akan memimpin ekonomi cislunar. Starship, dengan kapasitas muatannya yang revolusioner, akan menjadi alat penting AS untuk mencapai keberlanjutan ini, sementara Tiongkok akan mengandalkan pembangunan ILRS yang terintegrasi penuh antara 2026 dan 2035. Kegagalan mencapai target ISRU 2030 NASA akan secara signifikan menghambat keberlanjutan Artemis V dan seterusnya.

Berdasarkan analisis arsitektur, dinamika pendanaan, dan lanskap geopolitik, strategi eksplorasi antariksa masa depan memerlukan penyesuaian yang disengaja:

  1. Mengurangi Risiko Program Warisan AS: Kebijakan harus mengalihkan fokus dari pengembangan sistem peluncur yang mahal dan lambat (seperti SLS dan EGS/ML-2) menuju dukungan yang lebih besar bagi kendaraan peluncur komersial masa depan untuk mengurangi risiko jadwal yang disebabkan oleh pembengkakan biaya. Diversifikasi peluncuran komersial dapat memberikan fleksibilitas operasional yang diperlukan.
  2. Mempercepat dan Memprioritaskan Teknologi ISRU: Investasi harus dialihkan secara signifikan untuk mencapai target ISRU 2030. ISRU, bersama dengan robotika otonom, adalah teknologi yang memungkinkan dan relevan tidak hanya untuk Bulan (Artemis) tetapi juga untuk arsitektur Mars (Starship).
  3. Memperkuat Tata Kelola Internasional: Aliansi Artemis Accords harus diperkuat untuk terus mendefinisikan dan menerapkan norma internasional tentang transparansi, mitigasi puing-puing, dan penggunaan sumber daya yang bertanggung jawab. Kolaborasi dengan kekuatan independen yang selaras secara normatif, seperti India, penting untuk menjaga stabilitas dan transparansi di Kutub Selatan Bulan, terutama dalam menghadapi alternatif ILRS yang kurang transparan.