Loading Now

Urgensi Ekowisata Sebagai Respon Terhadap Krisis Lingkungan Dan Sosial Global

Analisis Konteks Global: Kontradiksi Industri Pariwisata

Pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi terbesar secara global, menyumbang pendapatan negara dan lapangan kerja yang signifikan. Namun, analisis yang komprehensif menunjukkan bahwa pariwisata konvensional (massal) telah menciptakan kontradiksi mendasar: manfaat ekonomi seringkali diimbangi oleh eksternalitas negatif yang sangat besar terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Biaya eksternalitas ini, yang meliputi kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan dan distorsi sosial budaya, telah melampaui ambang batas daya dukung dan keberlanjutan banyak destinasi.

Urgensi ekowisata muncul sebagai respons strategis terhadap kegagalan model berbasis volume ini. Ekowisata tidak lagi dipandang sebagai pilihan pariwisata niche yang terbatas, melainkan sebagai keharusan kebijakan yang fundamental. Pendekatan ini menawarkan kerangka kerja yang koheren untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan secara langsung berfungsi sebagai solusi terhadap fenomena seperti overtourism. Transisi dari model yang didorong oleh kuantitas menuju model yang didorong oleh kualitas dan nilai ekologis adalah prasyarat untuk memitigasi krisis global saat ini.

Kerangka Kerja Konseptual Ekowisata: Tiga Pilar Keberlanjutan

Untuk memahami mengapa ekowisata adalah solusi, penting untuk kembali kepada definisi dan prinsip intinya, yang secara tegas membedakannya dari pariwisata massal. The International Ecotourism Society (TIES) mendefinisikan ekowisata sebagai “perjalanan bertanggung jawab ke daerah alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat setempat, serta melibatkan diri dalam interpretasi dan edukasi”.

Pilar-pilar keberlanjutan yang disyaratkan oleh TIES mencakup tiga dimensi yang saling terkait: Konservasi Lingkungan, Kesejahteraan Masyarakat Lokal, dan Edukasi/Interpretasi. Penekanan pada edukasi bersifat inklusif, melibatkan staf operasional maupun tamu.

Penerapan prinsip-prinsip ini menuntut komitmen yang holistik. Misalnya, di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, penerapan prinsip terbaik adalah pembangunan kesadaran dan penghargaan atas lingkungan. Hal ini diwujudkan melalui upaya konservasi aktif, kegiatan gotong royong, dan penyelenggaraan acara bertema lingkungan.

Penekanan pada “interpretasi dan edukasi” adalah mekanisme transformasi perilaku yang krusial. Kegagalan konservasi dalam pariwisata massal seringkali berakar pada kurangnya pemahaman mendalam baik dari wisatawan maupun staf pengelola. Ekowisata menjembatani kesenjangan ini dengan mewajibkan pembelajaran, yang secara efektif mengubah wisatawan dari konsumen pasif menjadi agen kesadaran lingkungan. Selain itu, keberhasilan penerapan prinsip terbaik, seperti yang ditunjukkan di Nglanggeran, didukung oleh partisipasi aktif komunitas lokal (pokdarwis dan masyarakat). Hal ini menegaskan bahwa modal sosial yang kuat dan komitmen komunitas lokal terhadap konservasi merupakan prasyarat keberhasilan ekowisata, yang dapat menjadi faktor yang lebih menentukan daripada hanya pembangunan infrastruktur fisik semata.

Tabel 1: Perbandingan Dampak Pariwisata Konvensional dan Ekowisata Berdasarkan Prinsip TIES

Aspek Kunci Pariwisata Konvensional (Volume-Driven) Ekowisata (Value-Driven, Prinsip TIES) Implikasi Kebijakan
Fokus Utama Peningkatan volume, laba jangka pendek, pembangunan fisik. Konservasi aktif, kesejahteraan komunitas, pengalaman edukatif. Transisi dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi regeneratif.
Dampak Lingkungan Kerusakan habitat, polusi, melampaui daya dukung, erosi. Perencanaan berbasis konservasi, pembatasan akses, memprioritaskan habitat. Penegakan batas daya dukung mutlak (Hard Carrying Capacity).
Peran Komunitas Objek wisata, terpinggirkan, gangguan sosial/budaya. Subjek, kolaborator, dan penerima manfaat utama (pemberdayaan). Tata kelola yang mengarusutamakan kearifan lokal.

Krisis Ekologi Global Akibat Pariwisata Konvensional

Dampak destruktif pariwisata massal terhadap ekosistem global kini semakin akut, menjadikannya isu penting yang harus diatasi melalui adopsi praktik ekowisata yang ketat.

Degradasi Ekosistem Bahari: Ancaman Terhadap Terumbu Karang

Ekosistem laut, terutama terumbu karang yang rentan, menghadapi ancaman ganda dari polusi dan aktivitas wisata fisik yang tidak bertanggung jawab. Kerusakan fisik langsung yang disebabkan oleh operasional wisata laut yang tidak terkontrol, seperti jangkar kapal, penyelaman yang ceroboh, dan penanganan yang buruk, menimbulkan kerugian permanen.

Sebuah insiden yang menjadi perhatian serius terjadi di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara, di mana sebuah kapal wisata bernama Apik dilaporkan merusak terumbu karang di perairan Pulau Sebayur Kecil. Insiden ini diklasifikasikan sebagai “kejahatan serius”. Aktivitas serupa yang merusak terumbu karang akibat pariwisata juga telah diwaspadai di Bali. Kerusakan yang disebabkan oleh kapal wisata ini bukanlah kecelakaan terisolasi, melainkan konsekuensi logis dari model pariwisata yang tidak menginternalisasi biaya operasional lingkungan, terutama ketika Standar Operasi Prosedur (SOP) dan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor pariwisata dinilai lemah.

Selain kerusakan langsung, pembangunan infrastruktur pariwisata di kawasan pesisir (hotel dan resor) seringkali berkontribusi pada pencemaran air dan tanah melalui pembuangan limbah domestik dan industri yang tidak terkelola dengan baik. Limbah ini mencemari lautan dan semakin memperburuk kerusakan terumbu karang, menambah tekanan pada ekosistem yang sudah menderita akibat pemutihan karang yang didorong oleh perubahan iklim global.

Kerusakan terumbu karang harus dipahami sebagai kerugian ekologis dan kerugian ekonomi masa depan. Terumbu karang yang sehat adalah aset inti dari ekowisata bahari bernilai tinggi, seperti di Raja Ampat. Oleh karena itu, ekowisata dengan prinsip konservasi dan edukasi bertujuan untuk menginternalisasi biaya eksternalitas ini, menjadikan perlindungan terumbu karang sebagai investasi finansial jangka panjang.

Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Degradasi Habitat Darat

Di darat, pembangunan pariwisata konvensional secara sistematis menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan fragmentasi ekosistem. Pembangunan infrastruktur seperti hotel, resor, dan jalan raya seringkali mengorbankan habitat alami. Hutan ditebangi, lahan basah dikeringkan, dan ekosistem terganggu, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Contoh nyata dari degradasi ini terlihat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengalami erosi akibat pembangunan yang tidak terkendali.

Fenomena ini mencerminkan adanya trade-off yang merugikan ekologi, di mana nilai ekonomi dari pengembangan properti (misalnya, menjadi resort) dinilai lebih tinggi daripada nilai ekosistem alami yang berfungsi.

Lebih lanjut, dampak lingkungan pariwisata konvensional meluas hingga ke tingkat global melalui polusi dan kontribusi terhadap perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca dari transportasi wisata, terutama penerbangan dan bus pariwisata, merupakan kontributor utama polusi udara. Selain itu, limbah plastik dari aktivitas wisatawan sering berakhir di lautan, mengancam kehidupan laut dan mencemari sumber air tanah yang digunakan oleh masyarakat setempat.

Ekowisata hadir untuk membalikkan logika ekstraktif ini. Pendekatan ini menekankan perencanaan yang berbasis konservasi , yang berarti nilai aset ekologis, seperti hutan mangrove di Wonorejo , dipertahankan utuh. Keuntungan ekonomi didapatkan dari pengalaman yang ditawarkan oleh ekosistem yang sehat, bukan dari konversi lahan menjadi struktur beton. Dengan memprioritaskan habitat, ekowisata memastikan bahwa keberlanjutan lingkungan adalah fondasi bagi keberlanjutan ekonomi.

Ancaman Sosio-Kultural: Fenomena Overtourism (Kelebihan Wisatawan)

Kelebihan wisatawan (overtourism) telah menjadi krisis sosial-kultural dan fisik yang mendefinisikan kembali tantangan pariwisata modern, terutama di destinasi Warisan Dunia yang rentan.

Overtourism: Erosi Fisik, Budaya, dan Sosial

Overtourism menyebabkan kerusakan fisik yang signifikan pada lanskap kuno dan kawasan sensitif lingkungan karena “keausan” (wear and tear) akibat dilalui jutaan orang. Namun, dampak yang paling meresahkan adalah erosi sosial dan budaya. Kepadatan pengunjung yang melampaui kapasitas toleransi penduduk lokal dapat mengganggu kenyamanan, merusak tatanan sosial, dan mengarah pada komersialisasi budaya yang mendistorsi keaslian lokal.

Ironisnya, status Warisan Dunia UNESCO, meskipun bertujuan positif, dapat bertindak sebagai trigger bagi overtourism jika destinasi tidak secara memadai mempersiapkan diri untuk tantangan manajemen kapasitas yang datang bersamanya. Pengakuan global meningkatkan permintaan, yang jika tidak dikelola dengan sistem pembatasan kuantitas yang ketat, akan membawa dampak destruktif.

Studi Kasus Global I: Titik Jenuh Eropa dan Mekanisme Pembatasan

Destinasi di Eropa telah menjadi garis depan dalam melawan overtourism, mengadopsi kebijakan kontrol yang mencerminkan prinsip ekowisata yaitu mengutamakan nilai daripada volume.

Titik Krisis dan Solusi Regulatif

  1. Cinque Terre, Italia:Kawasan pesisir ini menderita kerusakan fisik dan budaya yang meluas. Pemicu terbesar datang dari kapal pesiar raksasa yang menurunkan puluhan ribu wisatawan harian pada puncak musim. Kerusakan ini mengancam keunikan lansekap pertanian dan arsitektur yang dianggap sebagai “karya seni darat”.
    • Respons Kebijakan:Pada tahun 2017, Cinque Terre menerapkan sistem tiket/kuota yang bertujuan mengurangi jumlah pengunjung tahunan secara drastis dari 2.5 juta menjadi 1.5 juta. Kebijakan ini merupakan langkah penting dalam mengontrol kapasitas fisik destinasi.
  2. Venesia, Italia:Kota ini menghadapi masalah kritis dengan day-trippers (wisatawan harian) yang menyebabkan kepadatan parah tanpa memberikan kontribusi signifikan melalui penginapan lokal.
    • Respons Kebijakan:Venesia telah memberlakukan biaya masuk harian (€5 hingga €10) bagi wisatawan yang tidak menginap setidaknya satu malam. Sistem ini, yang berlaku pada hari-hari tertentu, dirancang sebagai kontrol finansial untuk mengatur perilaku jangka pendek wisatawan. Pelanggar yang ditemukan tanpa tiket dikenai denda yang signifikan, berkisar antara €50 hingga €300, ditambah biaya masuk maksimum.
  3. Dubrovnik, Kroasia, dan Amsterdam, Belanda:Kebijakan kontrol lainnya mencakup pembatasan regulatif yang tegas. Dubrovnik membatasi kapal pesiar hingga maksimal dua per hari dengan batas 4.000 penumpang, serta menggunakan aplikasi untuk memprediksi keramaian di Kota Tua. Amsterdam, selain mengatur batas maksimal penginapan, juga berfokus pada diversifikasi produk berkelanjutan, seperti wisata sepeda , dan upaya diversifikasi spasial untuk mengarahkan turis ke luar pusat kota.

Kebijakan-kebijakan kontrol di Eropa ini menunjukkan pergeseran kebijakan yang radikal: monetisasi kelangkaan. Destinasi yang dulunya mengejar volume kini menetapkan harga tinggi untuk kapasitas terbatas, secara efektif memaksa transisi ke model pariwisata bernilai tinggi dan ber volume rendah—sebuah prinsip inti dari ekowisata.

Studi Kasus Lokal: Bayangan Overtourism di Destinasi Berkelanjutan

Fenomena overtourism juga mengancam destinasi yang sudah menerapkan prinsip berkelanjutan di tingkat lokal.

Desa Wisata Penglipuran, Bali merupakan contoh destinasi yang dikelola dengan baik berdasarkan kearifan lokal, namun kini menghadapi bayang-bayang overtourism. Meskipun desa ini memegang penghargaan atas konservasi budayanya, jumlah kunjungan wisatawan telah meningkat signifikan, mencapai rata-rata 2.803 orang per hari pada tahun 2024, melebihi dua kali lipat kapasitas harian yang ideal (1.200 orang).

Lonjakan pengunjung ini menimbulkan dampak serius: kepadatan mengganggu kenyamanan dan waktu istirahat penduduk, dan dikhawatirkan dapat merusak tatanan sosial-budaya, bahkan berpotensi mendistorsi ritual adat atau menunda upacara keagamaan. Secara lingkungan, overtourism di sini meningkatkan volume sampah dan ancaman perubahan penggunaan lahan (misalnya, untuk parkir) yang mengancam kelestarian hutan bambu tradisional.

Untuk mengatasi ancaman ini, Desa Penglipuran membutuhkan strategi pembatasan dan regulasi kunjungan yang lebih ketat, diversifikasi produk wisata, dan penerapan konsep Pembangunan Regeneratif (Regenerative Development). Pembangunan Regeneratif melampaui keberlanjutan tradisional; tidak hanya bertujuan untuk “tidak merusak,” tetapi secara aktif memulihkan dan meningkatkan kondisi ekologis dan kesejahteraan komunitas. Hal ini menegaskan bahwa bahkan destinasi yang dianggap berhasil dalam keberlanjutan harus secara proaktif mengelola kapasitas untuk menjaga integritas sosio-kultural dan lingkungan.

Tabel 2: Respons Kebijakan Terhadap Overtourism: Analisis Studi Kasus Global dan Lokal

Destinasi Krisis Utama Strategi Mitigasi Utama Jenis Kontrol dan Fokus Ekowisata
Cinque Terre, Italia Kerusakan fisik/kultural, dampak Kapal Pesiar. Sistem tiket dan kuota (2.5M → 1.5M per tahun). Kuantitatif: Mengontrol Kapasitas Fisik.
Venesia, Italia Kepadatan Harian (Day-trippers). Biaya masuk harian (€5-€10), Denda signifikan. Finansial: Mengatur Perilaku Jangka Pendek.
Dubrovnik, Kroasia Kepadatan Kapal Pesiar di Kota Tua. Pembatasan kapal pesiar (maksimal dua per hari), Aplikasi prediksi keramaian. Regulatif & Temporal: Manajemen Aliran Turis.
Desa Penglipuran, Indonesia Kunjungan melebihi 2x kapasitas, gangguan adat. Strategi pembatasan, diversifikasi produk, Pendekatan Regeneratif. Filosofis & Kuantitatif: Menjaga Integritas Sosio-Kultural.

Ekowisata Sebagai Paradigma Solusi Dan Regenerasi

Ekowisata menawarkan solusi sistemik terhadap krisis yang ditimbulkan oleh pariwisata konvensional dengan mengintegrasikan konservasi sebagai fungsi ekonomi utama dan memberdayakan komunitas lokal.

Ekowisata sebagai Mekanisme Konservasi Aktif

Kunci keberhasilan ekowisata terletak pada perencanaan yang berbasis konservasi, yang harus menjadi prioritas absolut. Hal ini melibatkan identifikasi dan perlindungan habitat penting, flora, fauna, dan ekosistem yang sensitif, diikuti dengan penentuan batasan akses dan pembatasan jumlah pengunjung yang ketat.

Dalam kerangka ekowisata, konservasi itu sendiri bukan hanya biaya, melainkan aset inti yang menciptakan nilai dan pengalaman. Ini berarti keberhasilan finansial destinasi berbanding lurus dengan kesehatan dan keutuhan ekosistemnya (Return on Investment dari Ekologi). Konsep ini sangat berbeda dengan pariwisata konvensional, di mana keuntungan sering kali diperoleh dengan merusak ekosistem (misalnya, mengubah hutan menjadi resor). Ekowisata membalikkan logika ini, menjadikan hutan yang utuh, terumbu karang yang sehat, dan keanekaragaman hayati sebagai prasyarat aset yang harus dipertahankan untuk menjamin aliran pendapatan jangka panjang.

Contoh integrasi ini terlihat di Kampung Blekok, Situbondo, yang menjadi rumah bagi tanaman mangrove dan ribuan burung. Untuk melestarikan burung blekok yang hampir punah, masyarakat setempat mendirikan penangkaran. Wisatawan diundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan penangkaran, memberi makan burung, dan merawatnya. Di sini, aktivitas konservasi menjadi daya tarik utama, menjamin bahwa keuntungan ekonomi mendukung tujuan ekologis secara langsung.

Pemberdayaan Masyarakat Lokal dan Ekuitas Sosial

Prinsip kedua dari ekowisata adalah menopang kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam konteks pemberdayaan, masyarakat lokal tidak lagi menjadi objek pasif pariwisata, tetapi ditempatkan sebagai subjek dan aktor yang kompeten, yang mampu menjangkau sumber daya dan kesempatan. Pemberdayaan adalah proses kolaboratif, di mana masyarakat dan pengelola bekerja sebagai mitra sejajar.

Ekowisata memberikan manfaat ekonomi riil yang tersebar lebih adil daripada pariwisata massal. Studi kasus di ekowisata hutan mangrove Wonorejo menunjukkan bahwa kegiatan wisata tidak hanya meningkatkan pendapatan asli daerah dan menciptakan lapangan kerja, tetapi juga membantu pemasaran kerajinan lokal dan menciptakan pasar baru bagi hasil tangkapan udang dan ikan nelayan kepada pengunjung. Meskipun terdapat dampak negatif seperti menurunnya hasil tangkapan udang dan ikan karena lalu lalang perahu wisata, dampak positif berupa terciptanya pasar baru dan peningkatan pendapatan lokal menunjukkan adanya potensi untuk menyeimbangkan kepentingan ekologi dan ekonomi komunitas.

Tata kelola yang inklusif sangat penting. Di Taman Nasional Alas Purwo, upaya pengembangan ekowisata berhasil melalui sinergi antara Balai Taman Nasional, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, dan penduduk lokal, yang bersama-sama mampu menyeimbangkan peningkatan kunjungan wisatawan dengan nilai-nilai konservasi. Kerjasama ini memastikan bahwa manfaat ekowisata dialami oleh semua pemangku kepentingan, memperkuat ekuitas sosial dan dukungan terhadap upaya konservasi.

Mekanisme Implementasi Dan Pendanaan Konservasi Berkelanjutan

Salah satu tantangan terbesar dalam konservasi adalah pendanaan yang berkelanjutan. Ekowisata menawarkan solusi finansial yang memungkinkan kawasan konservasi menjadi lebih mandiri dan kuat secara fiskal.

Ekowisata sebagai Tulang Punggung Finansial Konservasi

Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau Marine Protected Areas (MPA) sering kali menghadapi kesenjangan pendanaan. Meskipun alokasi pemerintah seringkali memberikan lebih dari 50% pendanaan, ketergantungan ini membuat KKL rentan terhadap perubahan politik dan anggaran.

Ekowisata secara signifikan meningkatkan peluang penerapan Instrumen Berbasis Nilai Ekosistem dan Instrumen Berbasis Kompensasi. Ekowisata berfungsi sebagai alat untuk menginternalisasi biaya lingkungan. Dengan membebankan biaya izin atau retribusi kepada pengguna yang diuntungkan oleh ekosistem yang sehat, biaya konservasi dibayar oleh pasar, bukan hanya pemerintah atau filantropi.

Strategi Pendanaan Berbasis Nilai Ekosistem

Peningkatan popularitas ekowisata secara langsung memicu keberlanjutan mekanisme pendanaan berikut:

  1. Retribusi Penggunaan Berkelanjutan (Sustainable Use Levy):Peningkatan permintaan terhadap ekowisata memungkinkan pengelola untuk menerapkan retribusi penggunaan (misalnya, biaya izin masuk atau menyelam) yang dialokasikan kembali untuk perlindungan lingkungan. Mekanisme ini menciptakan sumber pendapatan yang konsisten untuk KKL, mengurangi ketergantungan pada hibah yang bersifat fluktuatif.
  2. Biaya Ekstraktif, Royalti, dan Izin:Popularitas ekowisata memberikan peluang untuk menerapkan instrumen ini sebagai biaya berbasis penggunaan. Pendapatan dari iuran ini dapat dialokasikan khusus untuk penegakan hukum dan pemantauan, yang sangat penting untuk mencegah kerusakan operasional seperti insiden kapal di terumbu karang.
  3. Pembayaran Jasa Ekosistem (PES):PES melibatkan pemberian harga pada nilai ekosistem yang sehat (misalnya, nilai perlindungan pantai oleh mangrove atau jasa ekowisata oleh terumbu karang). Mekanisme ini dapat memastikan bahwa pembayaran mengalir kepada penerima manfaat utama—seringkali Masyarakat Adat dan komunitas lokal—sebagai imbalan atas peran mereka sebagai penjaga ekosistem.
  4. Mekanisme Fiskal Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP):Di kawasan yang dikelola pemerintah seperti Taman Nasional (contohnya, Alas Purwo), karcis masuk dan pendapatan lain disetorkan secara vertikal ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai PNBP. Namun, mekanisme dana perimbangan dan bagi hasil memastikan sebagian dana ini dikembalikan ke daerah. Adanya mekanisme bagi hasil PNBP ini memberikan insentif finansial yang jelas bagi pemerintah daerah untuk menahan tekanan pembangunan konvensional yang merusak dan mempertahankan kawasan konservasi, karena aset tersebut menghasilkan pendapatan fiskal yang stabil dan terukur. Ini mengubah konservasi menjadi pusat pendapatan yang strategis, bukan sekadar beban biaya.

Tabel 3: Instrumen Keuangan Konservasi yang Didukung Ekowisata

Instrumen Pendanaan KKL/MPA Mekanisme Keterlibatan Ekowisata Manfaat Konservasi dan Pemberdayaan
Retribusi Penggunaan Berkelanjutan Peningkatan permintaan ekowisata meningkatkan potensi retribusi. Pendanaan KKL yang konsisten, mengurangi ketergantungan pada hibah.
Biaya Ekstraktif dan Izin Popularitas ekowisata memberikan peluang untuk menerapkan biaya berbasis penggunaan. Pendapatan iuran dialokasikan untuk penegakan hukum dan pemantauan.
Pembayaran Jasa Ekosistem (PES) Memberi harga pada nilai ekosistem laut yang sehat. Memastikan pembayaran mengalir kepada Masyarakat Adat/komunitas lokal, yang merupakan penjaga ekosistem.

Kesimpulan

Krisis ekologi global—yang diwujudkan dalam degradasi terumbu karang, hilangnya habitat, dan bencana sosial-kultural overtourism—bukanlah penyimpangan, melainkan konsekuensi logis dari adopsi pariwisata berbasis volume yang ekstraktif. Oleh karena itu, ekowisata kini menjadi kerangka kerja defensif dan regeneratif yang esensial.

Ekowisata penting sekarang karena ia menyediakan:

  1. Mekanisme Kontrol Kapasitas:Mampu menerapkan batasan kuantitatif dan harga yang tegas (seperti sistem tiket di Cinque Terre dan biaya masuk di Venesia) untuk menjaga integritas fisik dan sosial.
  2. Pemberdayaan dan Kohesi Sosial:Mengubah masyarakat lokal menjadi subjek ekonomi dan mitra konservasi (seperti di Wonorejo dan Nglanggeran), memastikan ekuitas sosial.
  3. Keberlanjutan Finansial Konservasi:Menciptakan jalur pendanaan yang kuat dan mandiri melalui internalisasi biaya lingkungan (Retribusi KKL dan mekanisme PNBP bagi hasil), mengubah konservasi dari beban biaya menjadi pusat pendapatan yang strategis.

Berdasarkan analisis krisis dan potensi ekowisata sebagai solusi paradigmatik, laporan ini merekomendasikan empat langkah kebijakan strategis:

  1. Regulasi Kapasitas Mutlak yang Tegas:Mewajibkan Audit Daya Dukung Sosial (S-ECC), Ekologis (E-ECC), dan Fisik (P-ECC) untuk semua destinasi utama, terutama yang menghadapi risiko overtourism seperti Desa Penglipuran. Harus diterapkan kebijakan pembatasan kuantitas dan harga (biaya masuk tinggi/kuota) di zona-zona kritis untuk secara efektif mengelola volume pengunjung harian dan melindungi keutuhan budaya lokal.
  2. Transisi Ke Konsep Regeneratif:Mendorong semua inisiatif pariwisata berkelanjutan untuk beralih dari model keberlanjutan pasif (“tidak merusak”) menuju model Pariwisata Regeneratif. Hal ini memastikan bahwa kegiatan wisata secara aktif memperbaiki dan meningkatkan kondisi ekologis serta kesejahteraan komunitas lokal, memulihkan apa yang telah hilang akibat pariwisata konvensional.
  3. Penguatan Instrumen Fiskal Konservasi:Perlu adanya regulasi hukum untuk mengikat pendapatan yang diperoleh dari retribusi ekowisata dan PNBP Kawasan Konservasi. Dana ini harus dialokasikan secara eksplisit dan wajib untuk program konservasi, penegakan hukum (menghindari insiden seperti kerusakan karang ), dan pemberdayaan masyarakat lokal. Ini akan memperkuat insentif finansial pemerintah daerah untuk mempertahankan aset ekologis mereka.
  4. Investasi Mendesak dalam Sumber Daya Manusia (SDM) dan Edukasi:Mengingat temuan bahwa SDM pariwisata seringkali dinilai lemah , investasi besar harus ditujukan untuk pelatihan profesional staf, pemandu wisata, dan operator kapal dalam prinsip-prinsip konservasi, interpretasi, dan manajemen risiko operasional. Peningkatan kapabilitas SDM adalah prasyarat untuk mengubah pariwisata dari ancaman menjadi alat konservasi aktif.