Regulasi Global Loot Boxes: Perdebatan Hukum Internasional Mengenai Monetisasi dalam Video Game
Regulasi global terhadap loot boxes—mekanisme monetisasi berbasis peluang yang dominan dalam industri video game—telah menjadi salah satu perdebatan hukum dan kebijakan publik paling kompleks dalam dekade terakhir. Mekanisme ini berdiri di persimpangan antara teknologi hiburan, hukum perjudian tradisional, dan perlindungan konsumen. Laporan ini menyajikan analisis komparatif mendalam mengenai berbagai pendekatan regulasi yang diterapkan di yurisdiksi utama Eropa dan Asia, dengan fokus pada upaya klasifikasi praktik gaming yang menyerupai perjudian.
Konteks Bisnis dan Definisi Teknis
Secara fungsional, loot box adalah item virtual yang dapat dikonsumsi yang ditukarkan untuk menerima pilihan acak (randomized selection) item virtual lebih lanjut, atau loot. Hadiah ini bervariasi dari opsi penyesuaian sederhana untuk avatar pemain hingga perlengkapan yang mengubah permainan, seperti senjata dan armor. Sistem ini merupakan bentuk monetisasi yang memungkinkan pemain membeli kotak secara langsung dengan uang nyata atau membeli “kunci” untuk menukarkannya setelah kotak itu diperoleh melalui permainan.1
Model bisnis ini, yang sering disebut juga sebagai gacha (berdasarkan mainan kapsul Jepang, gashapon), sangat populer di pasar Asia, tetapi telah menyebar secara global, termasuk dalam judul-judul berharga penuh (full-priced titles). Bagi pengembang dan penerbit, loot boxes menawarkan strategi kritis untuk menghasilkan pendapatan berkelanjutan bagi permainan (ongoing revenue) sambil menghindari kerugian dari konten yang dapat diunduh berbayar (paid downloadable content atau DLC) atau model langganan, serta menjaga minat pemain melalui sistem hadiah yang berkelanjutan.
Landasan Kekhawatiran: Compulsion Loops dan Kesehatan Publik
Kekhawatiran utama mengenai loot boxes tidak hanya bersumber dari aspek transaksionalnya, tetapi juga dari desain psikologis yang diduga eksploitatif. Para kritikus berpendapat bahwa loot boxes adalah bagian dari “lingkaran kompulsi” (compulsion loop) desain game yang bertujuan untuk membuat pemain terus berinvestasi.
Desain ini diyakini menggunakan jadwal penguatan laju variabel (variable-rate reinforcement schedule), yang secara intrinsik mirip dengan cara mesin slot memberikan hadiah. Mekanisme penghargaan yang tidak menentu ini, di mana kemenangan yang diinginkan hanya terjadi sesekali (intermittent rewards), mendorong pemain untuk terus mencoba—melihat setiap “kekalahan” sebagai langkah lebih dekat menuju kemenangan berikutnya—sehingga mempercepat pembelajaran perilaku kompulsif yang sulit dihilangkan.
Dampak psikologis ini telah dibuktikan secara ilmiah. Terdapat asosiasi yang “stabil dan konsisten” antara pengeluaran untuk loot box dan masalah perjudian (problem gambling). Penelitian di berbagai yurisdiksi Eropa, Amerika Utara, serta Australia dan Selandia Baru, telah mereplikasi temuan bahwa individu dengan tingkat keparahan bahaya perjudian tertinggi cenderung menghabiskan lebih banyak uang untuk loot box. Kekuatan asosiasi antara pembelian loot box dan masalah perjudian bahkan tercatat memiliki besaran yang serupa dengan perjudian online pada permainan kasino atau mesin slot. Hal ini menempatkan orang dewasa muda yang membeli loot boxes sebagai kelompok berisiko tinggi terhadap masalah perjudian. Selain masalah perjudian, loot boxes juga menyebabkan kerugian finansial dan emosional pada anak-anak, yang kesulitan melacak pengeluaran dan memahami nilai uang.
Kerangka Analisis Hukum: Tiga Pilar Perjudian dan Konflik Nilai Virtual
Perdebatan hukum internasional mengenai loot boxes sebagian besar berputar pada upaya untuk mencocokkan mekanisme digital ini dengan definisi perjudian tradisional. Di banyak negara, perjudian didefinisikan secara pidana atau perdata berdasarkan keberadaan tiga elemen penting, yang sering disebut uji klasik lotre: Chance (Peluang/Randomness), Consideration (Pertimbangan/Pembayaran), dan Prize (Hadiah Bernilai).
Uji Klasik Lotre/Perjudian: Chance, Prize, and Consideration
- Chance (Unsur Peluang): Unsur ini umumnya terpenuhi. Loot boxes secara inheren bersifat acak (randomized). Meskipun pemain dijamin menerima sesuatu dari setiap kotak, nilai dari apa yang mereka terima bervariasi secara signifikan. Memenangkan item kosmetik sederhana tidak sama dengan mendapatkan perlengkapan legendaris yang mengubah permainan, menjadikan hasilnya tidak pasti dan berbasis peluang.
- Consideration (Unsur Pertimbangan/Pembayaran): Unsur pembayaran terpenuhi ketika loot boxes dibeli secara langsung dengan uang nyata, atau melalui mata uang dalam game yang dibeli dengan uang nyata. Beberapa pihak industri berpendapat bahwa kemampuan untuk mendapatkan loot box melalui grinding (pertimbangan non-moneter) dapat menghilangkan elemen pembayaran. Namun, keberadaan opsi pembelian moneter langsung mempertahankan unsur pertimbangan di mata regulator.
- Prize (Unsur Hadiah Bernilai): Ini adalah pilar yang paling kontroversial dan menjadi penghalang utama dalam mengklasifikasikan loot boxes sebagai perjudian. Item yang dimenangkan memang memiliki nilai dalam game (dapat memengaruhi kemajuan, menciptakan situasi pay-to-win, atau memiliki daya tarik koleksi yang tinggi).
Analisis Kritis Nilai Moneter Virtual dan Konflik Hukum
Argumen kontra-judi industri sering kali didasarkan pada dua klaim utama: bahwa loot boxes selalu menjamin setidaknya satu item (sehingga bukan kerugian total), dan yang lebih penting, bahwa item virtual yang ditawarkan “tidak memiliki nilai nyata yang nyata” (no tangible value) karena tidak dapat dicairkan kembali menjadi uang nyata atau diperdagangkan di pasar luar. Jika tidak ada nilai yang dapat dipertaruhkan atau dimenangkan (properti/uang), maka elemen Prize atau Wager (taruhan) tidak terpenuhi, sehingga praktik tersebut bukan perjudian.
Namun, validitas argumen “item virtual tidak bernilai” ini telah dilemahkan oleh perkembangan hukum properti virtual. Mahkamah Agung Belanda pada tahun 2012 telah mengeluarkan putusan penting dalam kasus Runescape yang mengklasifikasikan barang virtual sebagai properti yang sah yang rentan terhadap kepemilikan eksklusif dan pencurian. Putusan ini berpendapat bahwa item virtual adalah hasil dari keterampilan, waktu, dan usaha yang dicurahkan pemain untuk memperolehnya.15
Konsekuensi dari preseden ini adalah melemahnya klaim bahwa item virtual tidak bernilai di mata hukum. Jika item tersebut dianggap properti yang dapat dicuri, maka secara logis item tersebut dapat memenuhi kriteria Prize (sesuatu yang bernilai dipertaruhkan) dalam konteks uji perjudian, terutama jika terdapat pasar eksternal yang memungkinkan transferabilitas item tersebut. Fragmentasi regulasi global sebagian besar disebabkan oleh perbedaan yurisdiksi dalam menafsirkan apakah item virtual, yang diperoleh melalui peluang dan pembayaran, memenuhi unsur Prize ini.
Table 1: Perdebatan Hukum Loot Box: Analisis Uji Tiga Pilar Perjudian
| Elemen Hukum Perjudian | Penerapan pada Loot Box | Argumentasi Kontra-Klasifikasi Perjudian |
| Chance (Ketidakpastian Hasil) | Hasil random dari konten kotak; nilai virtual tidak sama | Konsumen dijamin menerima setidaknya satu item |
| Prize (Hadiah Bernilai) | Item virtual memengaruhi gameplay (pay-to-win) atau memiliki daya tarik koleksi | Item tidak memiliki nilai moneter yang nyata atau dapat dicairkan |
| Consideration (Pembayaran/Taruhan) | Pembelian dengan uang nyata atau mata uang dalam game yang dibeli dengan uang | Pengeluaran adalah untuk konten ekstra atau skill-based progression |
Arena Eropa: Fragmentasi Hukum, Larangan, dan Kegagalan Regulasi Mandiri
Pendekatan regulasi di Eropa ditandai dengan fragmentasi yang signifikan, di mana negara-negara anggota Uni Eropa (EU) mengambil posisi yang berbeda berdasarkan interpretasi hukum perjudian nasional mereka. Sejak Laporan 2020 Parlemen Eropa, yang memperingatkan bahwa fokus sempit pada kriteria perjudian nasional akan menciptakan pasar yang terfragmentasi, situasi tersebut memang terjadi.
Model Larangan Keras: Belgia (Prohibisi)
Belgia telah mengadopsi sikap yang paling ketat. Otoritas Belgia, termasuk Menteri Kehakiman, pada awalnya memutuskan bahwa loot boxes dalam beberapa game populer, seperti FIFA 18 dan Overwatch, merupakan permainan peluang (games of chance) dan karenanya tunduk pada Undang-Undang Perjudian Belgia tahun 1999. Keputusan pengadilan Belgia menemukan bahwa loot boxes memenuhi empat kriteria utama “permainan peluang”: komponen permainan, taruhan (pembayaran uang nyata), peluang menang atau kalah, dan elemen acak. Dengan klasifikasi ini, penjualan loot box berbayar tanpa lisensi perjudian menjadi ilegal dan dapat dikenakan sanksi pidana dan denda.
Akibatnya, perusahaan video game besar memilih untuk menonaktifkan paid loot boxes di Belgia atau menghindari merilis game tertentu (seperti Diablo Immortal oleh Activision Blizzard) di pasar ini untuk mematuhi hukum. Namun, efektivitas larangan ini menghadapi tantangan serius dalam penegakan. Sebuah laporan menemukan bahwa sebagian besar game high-grossing di Belgia masih menghasilkan pendapatan dari loot box. Konsumen yang gigih dapat melewati pembatasan ini secara ilegal, misalnya dengan menggunakan Virtual Private Networks (VPN). Ketidaksempurnaan dalam kepatuhan pasar ini menyoroti kesulitan dalam menegakkan regulasi nasional yang ketat di pasar digital global yang bersifat tanpa batas (borderless).
Model Volatilitas: Belanda (Ayunan Pendulum)
Regulasi loot box di Belanda mengalami volatilitas signifikan. Regulator awal melarang paket FIFA Ultimate Team (FUT) dengan alasan bahwa item yang diperoleh memiliki nilai pasar eksternal dan transferabilitas yang menempatkannya di bawah Undang-Undang Perjudian Belanda.
Namun, Dewan Negara Belanda membatalkan larangan spesifik terhadap paket FUT pada Maret 2022. ini menyatakan bahwa loot boxes tidak secara otomatis memenuhi syarat sebagai permainan peluang. Penilaian hukum kini harus mempertimbangkan apakah loot box merupakan bagian yang integral dari permainan skill utama atau apakah unsur peluang hanya merupakan tambahan sekunder. Meskipun loot boxes dalam game tertentu (dengan konten yang tidak memiliki nilai moneter nyata) mungkin tetap legal, putusan ini menciptakan ketidakpastian. Meskipun loot boxes secara teknis legal pasca-putusan tersebut, kondisi operasional yang tidak pasti menyebabkan beberapa publisher menahan peluncuran game di Belanda. Sebagai tanggapan terhadap kegagalan mitigasi risiko, Otoritas Konsumen Belanda kemudian mengusulkan pelarangan total terhadap loot boxes di video game, mengantisipasi perkembangan regulasi lebih lanjut.
Model Regulasi Mandiri: Inggris Raya (UK)
Pemerintah UK mengambil pendekatan yang berbeda. Meskipun mengakui adanya hubungan yang kuat dan stabil antara loot box dan masalah perjudian, pemerintah secara tegas menyatakan tidak bermaksud mengklasifikasikan loot boxes sebagai perjudian dan menolak mengubah Undang-Undang Perjudian 2005. Sebaliknya, UK memilih untuk mengandalkan perlindungan yang dipimpin oleh industri (enhanced industry-led protections).
Pendekatan kebijakan ini berfokus pada dua aspek: pertama, perlindungan anak melalui kontrol orang tua, di mana pembelian loot box harus tidak tersedia bagi anak di bawah umur kecuali diaktifkan oleh orang tua atau wali; kedua, transparansi informasi bagi semua pemain. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa regulasi mandiri industri memiliki insentif yang rendah untuk berhasil, mengingat nilai pasar loot boxes di UK mencapai ÂŁ700 juta. Bukti empiris menegaskan kegagalan ini: tingkat kepatuhan industri UK terhadap pengungkapan probabilitas hanya 64.0%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Tiongkok yang memiliki regulasi hukum. Selain itu, pengungkapan di UK cenderung tidak menonjol dan sulit diakses. Kondisi ketidakpatuhan yang meluas dan kurangnya tindakan penegakan dari badan industri (seperti yang dijanjikan Ukie, asosiasi industri game UK) menunjukkan bahwa eksperimen regulasi mandiri telah gagal, dan diperlukan legislasi langsung untuk melindungi konsumen.
Upaya Harmonisasi Uni Eropa (EU)
Di tingkat Uni Eropa, Parlemen Eropa telah menyoroti bahwa tidak ada mekanisme perlindungan konsumen spesifik di tingkat EU untuk mengatasi loot boxes berbayar, yang menghasilkan pasar yang terfragmentasi. Beberapa negara anggota, seperti Finlandia dan Slovakia, sedang mempertimbangkan legislasi khusus.
Parlemen Eropa (MEPs) telah mengambil posisi yang lebih agresif, menyerukan Komisi Eropa untuk memanfaatkan kekuasaannya di bawah Digital Services Act (DSA). Rekomendasi mereka mencakup larangan mekanisme gambling-like seperti loot boxes dalam game yang dapat diakses oleh anak di bawah umur, serta larangan algoritma yang mendorong keterlibatan (engagement-based recommender algorithms) bagi minor. Langkah-langkah ini, bersama dengan dorongan untuk sistem jaminan usia (age assurance systems) yang menghormati privasi, menunjukkan pergeseran ke arah regulasi lintas sektoral yang menggunakan kerangka perlindungan digital dan konsumen, daripada hanya mengandalkan undang-undang perjudian yang sudah usang.
Arena Asia: Transparansi Wajib dan Penegakan yang Tegas
Negara-negara di Asia Timur, di mana model gacha dan loot boxes sangat menguntungkan, telah memimpin dalam menerapkan persyaratan transparansi wajib yang ketat, seringkali didukung oleh penegakan hukum anti-penipuan yang agresif. Pendekatan ini secara efektif menghindari kebuntuan hukum yang dialami di Eropa terkait definisi item virtual sebagai properti judi.
Tiongkok (PRC): Kewajiban Pengungkapan Hukum (Disclosure Mandate)
Tiongkok memiliki undang-undang perjudian yang ketat yang mencakup loot boxes. Hukum Tiongkok secara eksplisit mewajibkan perusahaan game online yang menyediakan properti virtual melalui seleksi acak untuk segera mengumumkan nama, kinerja, konten, kuantitas, dan probabilitas ekstraksi atau sintesis semua item virtual pada situs web resmi game atau laman seleksi acak.
Tingkat kepatuhan formal terhadap mandat hukum Tiongkok ini tinggi, dengan 95.6% game yang mengandung loot boxes menunjukkan pengungkapan probabilitas, jauh melampaui tingkat kepatuhan regulasi mandiri di UK.28 Namun, terdapat masalah dalam kualitas implementasi. Meskipun diwajibkan oleh hukum, banyak perusahaan game mempraktikkan taktik sludge (penyulitan akses) dengan membuat pengungkapan sulit ditemukan, misalnya dengan mengharuskan pengguna berinteraksi dengan bot dukungan pelanggan atau menempatkannya di terms of use. Hanya 5.5% dari game yang dianalisis menggunakan format pengungkapan yang paling menonjol, yaitu menampilkan probabilitas secara otomatis pada laman pembelian loot box dalam game. Meskipun demikian, Tiongkok juga menerapkan perlindungan tambahan untuk minor, termasuk verifikasi usia wajib menggunakan identifikasi kehidupan nyata untuk akun game, yang memungkinkan pembatasan pembelian loot box oleh anak di bawah umur.
Korea Selatan: Transparansi Paksa dan Sanksi Berat
Korea Selatan telah menjadi model global dalam penegakan hukum loot box yang tegas. Pada Maret 2024, amandemen Undang-Undang Promosi Industri Game (GIPA) mulai berlaku, yang secara hukum mewajibkan penyedia layanan game untuk mengungkapkan probabilitas item loot box.
Pendekatan Korea Selatan yang efektif adalah penggunaan penegakan hukum perlindungan konsumen yang kuat, terutama oleh Komisi Perdagangan Adil Korea (KFTC). KFTC menargetkan misleading or deceptive conduct di bawah Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce, bukan hanya berfokus pada klasifikasi perjudian. Pendekatan ini terbukti efektif dalam menindak manipulasi probabilitas.
KFTC telah menjatuhkan denda finansial terbesar dalam sejarah industri game Korea Selatan kepada Nexon, sebesar â‚©11.6 miliar (sekitar ÂŁ7.1 juta), karena berulang kali mengubah drop rates item dalam game MapleStory dan Bubble Fighter tanpa pemberitahuan kepada pemain. Kasus ini menunjukkan bahwa pelanggaran yang berkaitan dengan manipulasi probabilitas atau pengungkapan palsu dianggap serius. Kegagalan untuk mematuhi perintah korektif yang dikeluarkan oleh otoritas dapat mengakibatkan sanksi pidana, termasuk denda hingga KRW 20 juta atau bahkan hukuman penjara hingga dua tahun. Model penegakan hukum ini, yang menggunakan sanksi finansial berskala besar, secara langsung menargetkan potensi keuntungan yang diperoleh dari praktik yang menyesatkan, menjadikannya salah satu mekanisme regulasi yang paling akuntabel dan proaktif di dunia.
Jepang: Larangan Spesifik Anti-Eksploitasi
Jepang memiliki kerangka hukum yang membatasi mekanik monetisasi acak. Mekanisme yang paling terkenal yang dilarang adalah Complete Gacha. Sistem ini, di mana pemain harus mengumpulkan satu set lengkap item yang diperoleh secara acak melalui pembelian berulang untuk memenangkan hadiah utama, dilarang di bawah Undang-Undang Anti-Premi yang Tidak Dapat Dibenarkan dan Representasi yang Menyesatkan.
Fokus regulasi Jepang adalah mencegah potensi eksploitatif dan memaksa dari mekanisme ini. Meskipun ada pandangan bahwa Complete Gacha menyerupai perjudian, Komisi Keamanan Publik Nasional (saat itu) menyatakan tidak ada bukti bahwa sistem tersebut berada di bawah undang-undang pidana perjudian. Alasannya, item langka dianggap hanya data online yang tidak berwujud dan sulit diperdebatkan memiliki nilai moneter yang nyata. Dengan melarang Complete Gacha melalui undang-undang perlindungan konsumen (yang mengatur representasi dan hadiah yang menyesatkan), Jepang berhasil mengatasi masalah eksploitasi tanpa perlu mengubah definisi hukum yang kompleks tentang perjudian. Selain itu, pengembang di Jepang juga diwajibkan untuk mengungkapkan probabilitas item drop dan menghindari mekanisme yang menciptakan paksaan.
Table 2: Matriks Komparatif Regulasi Loot Box Global (Eropa vs. Asia)
| Yurisdiksi | Pendekatan Utama | Status Hukum (2024) | Fokus Regulasi | Kepatuhan vs. Penegakan |
| Belgia | Larangan Keras (Definisi Judi) | Paid Loot Boxes Ilegal | Klasifikasi Judi (Chance, Prize, Consideration) | Risiko Sanksi Pidana, Regulatory Bypass Tinggi |
| Belanda | Volatilitas Hukum/Penolakan Judi Otomatis | Tidak Otomatis Ilegal | Fokus pada transferabilitas dan nilai di luar game | Otoritas Konsumen mengusulkan larangan total; Ketidakpastian Operasional |
| UK | Regulasi Mandiri (Self-Regulation) | Tidak diklasifikasikan sebagai judi | Perlindungan Anak (Parental Consent) & Transparansi | Kepatuhan Transparansi Rendah (64.0%), Penegakan Lemah |
| Tiongkok (PRC) | Transparansi Wajib Hukum | Wajib Probability Disclosure | Disclosure dan Batasan Pembelian Minor | Kepatuhan Hukum Tinggi (95.6%), Namun Implementasi Sludge |
| Korea Selatan | Transparansi Paksa & Penegakan Keras | Wajib Disclosure (GIPA Amendment 2024) | Akuntabilitas, Anti-Penipuan (KFTC) | Denda Raksasa untuk Manipulasi Probabilitas; Penegakan Proaktif |
Mekanisme Regulasi Alternatif dan Lintas Sektoral
Karena kesulitan dalam mengklasifikasikan loot boxes sebagai perjudian, banyak yurisdiksi mengeksplorasi mekanisme regulasi alternatif yang berfokus pada perlindungan konsumen, terutama bagi anak di bawah umur. Mekanisme ini mencakup sistem peringkat usia yang diperkuat dan penggunaan undang-undang perlindungan konsumen yang ada.
Regulasi Berbasis Peringkat Usia (Age Rating)
Beberapa negara telah mencoba mengintegrasikan keberadaan loot boxes ke dalam sistem peringkat usia game. Australia, misalnya, menerapkan kriteria klasifikasi minimum: game yang mengandung loot boxes yang dapat dibeli harus diberi peringkat M (Mature – tidak direkomendasikan untuk di bawah 15 tahun), dan game dengan perjudian yang disimulasikan (simulated gambling) memerlukan klasifikasi R18+ (Dibatasi untuk 18 tahun ke atas).Langkah serupa telah dipertimbangkan atau diimplementasikan di Jerman dan Spanyol, di mana loot boxes dimasukkan dalam kriteria penilaian usia.
Meskipun niatnya adalah untuk melindungi anak-anak, studi menunjukkan bahwa di Australia, sistem ini menghadapi “kegagalan sistemik”. Kepatuhan dilaporkan rendah, dan orang tua sering disesatkan oleh informasi yang tidak konsisten atau membingungkan di app store.4Sistem peringkat usia yang ada, seperti PEGI dan ESRB di Barat, seringkali hanya memberikan peringatan kehadiran (presence warnings) bahwa loot boxes ada, tetapi tidak secara efektif membatasi pembelian. Untuk meningkatkan kepatuhan, para ahli menyerukan penalti yang lebih kuat dan berskala, yang diukur berdasarkan pendapatan perusahaan alih-alih denda yang tetap, untuk misklasifikasi.
Teknologi Verifikasi Usia dan Kontrol Pembelian
Mengingat kerentanan anak-anak terhadap pengeluaran berlebihan—mereka dilaporkan sulit melacak pengeluaran dan rentan terhadap teknik perjudian—regulator di UK dan EU kini mendorong penggunaan kontrol yang memaksa.
Pemerintah UK mewajibkan pembelian loot box tidak tersedia bagi anak-anak dan remaja kecuali diaktifkan oleh orang tua atau wali.27 Kebutuhan untuk menerapkan larangan ini telah memicu pembahasan mengenai teknologi verifikasi usia (age assurance). Platform-platform besar, seperti PlayStation, sedang menguji coba atau mengimplementasikan proses verifikasi usia (seperti menggunakan ID atau pemindaian wajah) untuk mematuhi kewajiban yang timbul dari legislasi seperti UK Online Safety Act. Penerapan sistem verifikasi usia, meskipun menimbulkan tantangan privasi dan operasional, dianggap penting untuk menegakkan perlindungan anak, sejalan dengan seruan Parlemen Eropa agar Komisi melarang mekanisme mirip perjudian dalam game yang dapat diakses oleh minor.
Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen (Consumer Law Enforcement)
Model paling efektif dalam menindak praktik loot box yang menyesatkan, tanpa terjebak dalam perdebatan hukum tentang perjudian, adalah melalui penegakan hukum perlindungan konsumen yang ada.
Hukum Konsumen Australia, misalnya, sudah kuat dalam menangani misleading or deceptive conduct (perilaku menyesatkan atau menipu). Sebagaimana ditunjukkan oleh Korea Selatan (KFTC), penggunaan undang-undang anti-penipuan untuk menghukum manipulasi probabilitas atau pengungkapan yang menyesatkan terbukti sebagai jalur penegakan yang jelas dan kuat. Pendekatan ini secara filosofis berbeda dari upaya klasifikasi perjudian; ia fokus pada akuntabilitas perusahaan dan integritas informasi yang diberikan kepada konsumen (termasuk probabilitas yang benar) alih-alih nilai moneter dari hadiah virtual. Jalur ini memberikan otoritas non-perjudian, seperti Otoritas Persaingan dan Pasar (CMA) di UK, kemampuan untuk bertindak lebih proaktif tanpa memerlukan amandemen Undang-Undang Perjudian yang kompleks.
Table 3: Mekanisme Perlindungan Konsumen Alternatif (Fokus Non-Perjudian)
| Negara/Regulator | Mekanisme Perlindungan | Basis Hukum | Tantangan Implementasi Kunci |
| Australia | Klasifikasi Usia Wajib (M15+/R18+) | Australian Classification Regulation | Kepatuhan Rendah, Peringkat Usia Tidak Konsisten di App Store |
| UK | Kontrol Orang Tua/Verifikasi Usia | UK Online Safety Act / Regulasi Mandiri | Membutuhkan Teknologi Age Assurance yang invasif dan Adopsi Industri |
| UE (Parlemen) | Rekomendasi Larangan Mekanisme Mirip Judi untuk Minor | Digital Services Act (DSA) (rekomendasi) | Belum menjadi hukum yang mengikat; Diperlukan Kriteria Definisi yang Jelas |
| Korea Selatan | Sanksi Finansial untuk Misleading Conduct | E-Commerce Act (KFTC) | Memastikan penegakan yang berkelanjutan dan mempermudah gugatan pengguna |
Kesimpulan, Sintesis, dan Rekomendasi Kebijakan
Sintesis Komparatif: Perbedaan Paradigma Regulasi
Perdebatan global mengenai regulasi loot boxes mengungkapkan adanya dualitas paradigma antara Barat (Eropa) dan Timur (Asia). Eropa, sebagaimana diilustrasikan oleh model Belgia dan Belanda yang volatil, terperangkap dalam upaya adaptasi hukum perjudian tradisional yang ketinggalan zaman untuk mendefinisikan item virtual sebagai “properti yang dipertaruhkan.” Perdebatan ini telah menghasilkan pasar yang terfragmentasi, ketidakpastian operasional bagi penerbit game, dan penegakan hukum yang tidak konsisten.
Sebaliknya, Asia (Tiongkok, Korea Selatan, Jepang) telah mengadopsi fokus yang lebih pragmatis: melindungi konsumen dari praktik eksploitatif. Model Asia berpusat pada transparansi wajib (pengungkapan probabilitas) dan penegakan anti-penipuan melalui undang-undang perlindungan konsumen. Pendekatan Korea Selatan, khususnya, menunjukkan bahwa menjatuhkan sanksi finansial yang besar terhadap manipulasi peluang adalah jalur regulasi yang paling efektif dan tidak ambigu secara hukum, berhasil menahan praktik bisnis yang merugikan tanpa perlu menyelesaikan debat filosofis tentang nilai moneter item virtual.
Inefektivitas Regulasi Mandiri dan Regulatory Arbitrage
Pengalaman di Inggris Raya secara tegas menunjukkan kegagalan regulasi mandiri yang dipimpin industri. Meskipun ada janji perlindungan dan pengakuan risiko yang konsisten terhadap masalah perjudian, industri gagal mencapai tingkat kepatuhan transparansi yang memadai, dan kurangnya penegakan sanksi membuat self-regulation tidak efektif sebagai alat perlindungan konsumen.
Fragmentasi regulasi ini menciptakan insentif yang kuat untuk regulatory arbitrage. Perusahaan game dapat menghindari pasar yang paling ketat atau menekan kualitas kepatuhan di yurisdiksi yang penegakannya lemah, sementara konsumen (terutama di Belgia) menggunakan metode ilegal untuk mengakses game yang dilarang, yang pada akhirnya melemahkan tujuan perlindungan publik.1
Rekomendasi Kebijakan Menuju Harmonisasi (Jalan ke Depan)
Untuk mengatasi risiko yang melekat pada loot boxes dan mencapai kerangka regulasi yang harmonis, model hibrida yang menggabungkan kekuatan pendekatan Asia (transparansi paksa) dengan fokus perlindungan anak Eropa (verifikasi usia) harus diadopsi:
- Mengadopsi Transparansi Wajib yang Jelas dan Menonjol: Regulator harus mewajibkan pengungkapan probabilitas item secara otomatis dan prominent pada laman pembelian dalam game. Legislasi harus secara eksplisit melarang praktik sludge yang sengaja menyulitkan akses informasi. Transparansi ini harus mencakup tidak hanya probabilitas, tetapi juga nilai moneter yang setara dari item virtual yang paling langka, jika ada.
- Menerapkan Batasan Usia yang Kuat dan Dapat Diverifikasi: Perlindungan anak harus bersifat memaksa. Semua yurisdiksi harus memberlakukan sistem age assurance untuk melarang minor (di bawah 18 tahun) membeli loot boxes berbayar tanpa persetujuan eksplisit dari orang tua atau wali. Hal ini membutuhkan adopsi standar teknologi verifikasi usia yang aman dan teruji, sejalan dengan inisiatif yang diusulkan di EU dan UK.
- Memperkuat Penegakan Hukum Konsumen Lintas Sektoral: Otoritas non-perjudian, termasuk badan perlindungan konsumen dan otoritas persaingan, harus menjadi garis depan penegakan hukum. Mereka harus menggunakan undang-undang anti-penipuan yang ada untuk menjatuhkan sanksi finansial yang besar dan proporsional (berskala terhadap pendapatan) terhadap perusahaan yang memanipulasi probabilitas atau melakukan praktik monetisasi yang menyesatkan, meniru model sukses Korea Selatan.Pendekatan ini menawarkan jalur penegakan hukum yang paling efektif dan tidak ambigu secara hukum dibandingkan dengan upaya yang gagal untuk mengubah definisi perjudian.


