Loading Now

Era Nomad Digital Dan Paradigma Kerja Global:

Fenomena Nomad Digital (DN) muncul sebagai manifestasi paling ekstrem dari revolusi kerja jarak jauh yang didorong oleh kemajuan teknologi digital dan internet. Secara fundamental, seorang DN didefinisikan sebagai individu yang bekerja secara independen menggunakan teknologi digital, tanpa memiliki lokasi tetap, memungkinkan mereka untuk bekerja atau belajar dari mana saja yang memiliki koneksi internet yang memadai. Evolusi ini telah mengubah sektor industri secara drastis, terutama pariwisata, yang kini berhadapan dengan tren workation—menggabungkan perjalanan ke lokasi baru sambil tetap menjalankan kewajiban profesional .

Penting untuk membedakan secara jelas antara Digital Nomad dan pekerja jarak jauh (remote worker) biasa. Sementara pekerja jarak jauh dapat memiliki fleksibilitas bekerja dari rumah, mereka seringkali masih terikat secara legal atau kontraktual pada satu lokasi geografis perusahaan. Sebaliknya, DN menekankan mobilitas tinggi, perubahan lokasi yang konstan, dan membangun jaringan internasional sebagai bagian integral dari gaya hidup

Klasifikasi DN umumnya dibagi menjadi tiga kategori utama: pekerja remote yang terikat kontrak dengan perusahaan asing, pengusaha yang mengelola bisnis berbasis online, dan pekerja lepas (freelancers). Perbedaan-perbedaan ini memiliki implikasi signifikan terhadap regulasi visa dan kewajiban perpajakan di negara tuan rumah.

Katalis Pendorong Fenomena DN: Aspirasi Generasi dan Budaya Hibrida

Dorongan di balik adopsi gaya hidup DN sangat terkait erat dengan aspirasi generasi Milenial dan Gen Z. Banyak individu dalam kelompok usia ini merasa terdorong untuk menjalani “seribu kehidupan” dan menolak gagasan hidup yang statis atau monoton, yang seringkali mereka anggap sebagai hidup yang penuh penyesalan. Aspirasi ini telah dikomodifikasi dan diperkuat secara masif melalui media sosial, di mana influencer mempromosikan citra gaya hidup “bohemian” yang sukses, kaya, dan stoik. Meskipun narasi ini seringkali tidak berkelanjutan, citra kebebasan ini menciptakan tuntutan budaya dan psikologis bagi kaum muda untuk mencari fleksibilitas ekstrem dalam pekerjaan mereka .

Pergeseran ini dipercepat oleh kondisi global pasca-pandemi COVID-19, yang menormalisasi lingkungan kerja hibrida. Budaya kerja hibrida, yang menawarkan fleksibilitas lokasi, secara efektif membuka pintu bagi konsep workation, di mana keseimbangan antara pekerjaan dan waktu luang menjadi lebih esensial. Pekerja kini dapat memanfaatkan waktu luang di lingkungan yang baru dan menyegarkan sambil tetap menjaga produktivitas

Komodifikasi Kebebasan dan Tuntutan Struktural Kota

Fenomena DN ini menunjukkan sebuah proses di mana aspirasi generasi untuk fleksibilitas dan pengalaman telah dikomodifikasi, menciptakan apa yang dapat disebut sebagai Komodifikasi Kebebasan. Kehidupan DN yang dipasarkan melalui konten digital telah menghasilkan tuntutan struktural baru pada kota-kota destinasi. Kota-kota ini tidak lagi hanya dituntut menyediakan fasilitas pariwisata tradisional, tetapi juga harus beradaptasi untuk mendukung produktivitas profesional tingkat tinggi. Hal ini mencakup kebutuhan akan infrastruktur digital yang andal dan ruang kerja yang terstruktur, yang dibahas lebih lanjut di Bagian II.

Tantangan Internal: Batasan Kerja-Hidup dan Kesehatan Mental

Meskipun DN menawarkan kebebasan geografis yang menarik, gaya hidup ini menyimpan serangkaian tantangan psikologis yang perlu diperhatikan. Para profesional DN, termasuk terapis daring, sering melaporkan dampak psikologis dari transisi geografis yang konstan, yang dapat menyebabkan isolasi, perasaan terputus (disconnection), dan ketidakpastian sosial. Masalah utama lainnya adalah Erosi Batasan Kerja-Hidup (Work-Life Boundary Erosion). Ketika ruang kerja seorang DN bisa berupa kamar tidur, kafe, atau co-working space, batas mental untuk berhenti bekerja menjadi sangat kabur. Sifat global dari pekerjaan jarak jauh ini memperparah masalah, di mana penjadwalan klien melintasi zona waktu dapat menciptakan pola kerja yang terfragmentasi, memicu overwork dan burnout. Tanpa struktur kantor fisik atau rutinitas harian yang tetap, tekanan untuk selalu tersedia secara daring meningkat, sementara godaan untuk menjelajahi tempat baru dapat menyebabkan pengabaian tanggung jawab pekerjaan

Biaya Tersembunyi Kebebasan

Analisis ini menunjukkan bahwa kebebasan geografis yang ekstrem sesungguhnya menuntut manajemen diri yang ekstrem—sebuah Biaya Tersembunyi Kebebasan. Hilangnya struktur tradisional (seperti jam kerja yang terdefinisi atau perjalanan commute) memindahkan seluruh beban tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dan produktivitas sepenuhnya kepada individu DN. Untuk memitigasi risiko ini, disiplin diri menjadi krusial. Strategi yang direkomendasikan mencakup pembentukan rutinitas harian (termasuk waktu kerja dan perawatan diri), memprioritaskan koneksi sosial melalui co-working spaces atau meetups, dan tidak ragu mencari dukungan kesehatan mental profesional daring saat diperlukan.

Pilar Infrastruktur dan Ekosistem DN (Co-Everything)

Infrastruktur Digital Kritis: Jaringan dan Ketersediaan Global

Ketergantungan DN pada teknologi digital menjadikan infrastruktur teknologi sebagai pilar utama keberlangsungan gaya hidup ini. Jaringan internet yang stabil dan cepat (Wi-Fi) adalah persyaratan fundamental untuk menjamin produktivitas, jauh melampaui sekadar kebutuhan sosial. Kota-kota yang menawarkan konektivitas yang unggul akan menarik DN yang memprioritaskan pekerjaan mereka.

Dari perspektif finansial, karena DN sering menghasilkan pendapatan dan melakukan transaksi antarnegara, mereka harus menerapkan strategi pengelolaan uang yang cermat. Hal ini mencakup pemilihan bank yang menawarkan biaya transaksi internasional dan konversi mata uang yang rendah, serta menggunakan platform digital untuk melacak pengeluaran dan menyesuaikan anggaran berdasarkan biaya hidup lokal yang bervariasi .

Evolusi Akomodasi: Dari Airbnb ke Komunitas Terstruktur

Akomodasi bagi DN telah berkembang pesat melampaui hotel tradisional. DN memprioritaskan tiga faktor utama dalam memilih tempat tinggal: Wi-Fi cepat, lokasi yang strategis, dan aspek sosial pengalaman. Evolusi ini telah melahirkan ekosistem yang dikenal sebagai Co-Everything, di mana ruang kerja dan ruang hidup dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan pekerja jarak jauh.

Co-working Spaces: Ruang-ruang ini berfungsi sebagai pusat profesional. Mereka menyediakan lingkungan kerja bersama yang fleksibel, lengkap dengan fasilitas seperti ruang rapat, dan yang paling penting, Wi-Fi berkecepatan tinggi . Tempat-tempat ini juga memfasilitasi networking dan pertemuan, yang krusial untuk mengatasi isolasi sosial DN.

Co-living Spaces: Model akomodasi ini menyerupai co-working spaces tetapi dengan fasilitas hidup. Mereka menawarkan kamar tidur pribadi dengan ruang kerja bersama, ruang keluarga, dan fasilitas lainnya. Keunggulan utama co-living adalah biaya yang lebih terjangkau untuk jangka waktu yang panjang dan kemudahan untuk membangun komunitas dan bertemu orang baru, meskipun tidak ideal untuk masa tinggal yang sangat singkat

Dampak pada Pasar Sewa Lokal: Studi Kasus Bali

Pilihan akomodasi DN memiliki dampak nyata pada pasar properti lokal. Di Bali, misalnya, DN sering memilih vila pribadi, apartemen, atau ruang co-living untuk sewa jangka panjang. Pergeseran permintaan ini telah menyebabkan penurunan konsisten dalam pemesanan hotel formal. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali melaporkan penurunan tingkat hunian hotel (dari sekitar 70%) karena peningkatan jumlah pengunjung yang memilih tinggal di vila atau tempat tinggal pribadi yang tidak terdaftar. Akomodasi informal ini sering menawarkan harga yang lebih rendah dan menarik tamu yang ingin tinggal lebih lama.

Infrastruktur DN sebagai Diferensiator Kota

Ketersediaan ekosistem Co-everything (co-working dan co-living) di destinasi populer seperti Lisbon, Barcelona, dan Chiang Mai bukan hanya sekadar layanan tambahan, melainkan diferensiator utama dalam persaingan antar kota. Daya saing destinasi bergeser dari sekadar faktor biaya hidup menjadi faktor kualitas hidup profesional dan sosial. Kota yang secara proaktif menyediakan lingkungan kerja dan hidup yang terstruktur, fleksibel, dan terhubung, akan lebih berhasil dalam menarik segmen DN profesional yang stabil.

Dampak Ekonomi dan Analisis Gentrifikasi Komparatif

Fenomena DN, didorong oleh individu-individu yang berpenghasilan dari luar negeri, secara inheren mengubah struktur ekonomi di kota-kota wisata. Meskipun membawa devisa, dampak yang paling kontroversial adalah gentrifikasi, yang terlihat jelas di hotspot seperti Bali dan Lisbon.

Analisis Gentrifikasi Properti: Studi Kasus Bali

Bali menawarkan bukti paling nyata mengenai tekanan ekonomi yang disebabkan oleh DN. Pasar properti di Bali mengalami kenaikan harga rata-rata yang substansial, mencapai 25% pada kuartal pertama tahun 2024. Peningkatan harga ini didorong oleh jumlah wisatawan asing yang signifikan dan pengenalan kebijakan visa DN yang mempermudah tinggal jangka panjang.

Dampak yang paling merugikan adalah pada keterjangkauan hidup lokal. DN, yang gajinya seringkali jauh di atas rata-rata lokal, secara langsung memicu kenaikan biaya hidup dan harga sewa properti. Akomodasi lokal yang terjangkau, seperti kos-kosan yang menjadi pilihan utama bagi mahasiswa dan pekerja muda, kini semakin populer di kalangan ekspatriat yang tinggal lama. Situasi ini menciptakan kesulitan besar bagi penduduk asli. Sebagai contoh, penduduk lokal kesulitan mencari kamar sewa yang murah, karena pemilik kos sering menaikkan harga sewa segera setelah ekspatriat pindah. Pergeseran ini menunjukkan bahwa influx DN mengganggu keseimbangan pasar sewa perumahan dasar.

Analisis Gentrifikasi Properti: Studi Kasus Lisbon

Lisbon telah menjadi magnet utama DN di Eropa, berkat iklimnya yang bersahabat, kemudahan memperoleh visa DN, dan biaya hidup yang relatif terjangkau jika dibandingkan dengan ibukota Eropa Barat lainnya. Namun, kesuksesannya dalam menarik DN telah menghasilkan konsekuensi sosial yang serius.

Meskipun data persentase spesifik kenaikan harga sesewa properti tidak tersedia secara rinci dalam dokumen ini, populasi DN yang tumbuh pesat (populasi DN global meningkat 18% per tahun) telah menyebabkan ketegangan sosial dan krisis perumahan di Lisbon. Kehadiran DN, yang cenderung menyewa properti untuk jangka waktu yang lama (enam bulan hingga dua tahun), membebani ketersediaan perumahan lokal, menaikkan biaya hidup secara keseluruhan, dan memberikan tekanan pada infrastruktur serta layanan publik, yang pada akhirnya memicu reaksi keras dari penduduk lokal.

Gentrification Subsidized by Policy

Dampak gentrifikasi di kedua destinasi ini diperburuk oleh kebijakan yang diterapkan. Di Bali, krisis keterjangkauan properti didorong oleh segmen DN berpenghasilan tinggi ($60,000 USD per tahun atau lebih), yang secara efektif diberikan insentif pajak yang kuat, memungkinkan mereka bekerja dengan penghasilan asing tanpa dikenakan pajak penghasilan di Indonesia. Sementara insentif ini dirancang untuk menarik devisa, insentif tersebut secara tidak langsung bertindak sebagai subsidi bagi para DN untuk hidup dengan biaya yang jauh lebih rendah, mengganggu daya beli penduduk lokal. Dengan demikian, gentrifikasi yang terjadi seolah-olah Disubsidi oleh Kebijakan yang menciptakan ketidakseimbangan pasar perumahan lokal.

Analisis Komparatif Biaya Hidup (CoL) dan Strategi Finansial DN

DN seringkali memilih destinasi berdasarkan keseimbangan antara biaya hidup yang terjangkau dan kualitas hidup yang tinggi. Perbandingan antara destinasi utama Asia dan Eropa menunjukkan perbedaan signifikan dalam nilai dan pengeluaran.

Bali masih menawarkan biaya hidup yang relatif rendah, dengan perkiraan pengeluaran bulanan antara USD 1,000 hingga USD 2,900, tergantung pada gaya hidup. Namun, ia menghadapi persaingan ketat dari destinasi seperti Chiang Mai, Thailand, yang sering dianggap menawarkan nilai yang lebih baik, terutama dalam hal biaya hidup yang lebih rendah dan kualitas layanan kesehatan yang lebih tinggi, meskipun suasananya lebih urban dibandingkan Bali yang lebih tradisional. Sementara Lisbon menyediakan komunitas DN yang kuat dan aksesibilitas Eropa, biaya hidupnya jauh lebih tinggi dibandingkan destinasi Asia Tenggara, menarik segmen DN yang kurang sensitif terhadap anggaran .

Strategi Finansial untuk Keberlanjutan DN

Keberlanjutan gaya hidup DN sangat bergantung pada perencanaan finansial yang ketat. Strategi-strategi yang harus diadopsi DN meliputi:

Anggaran Fleksibel: Menyesuaikan anggaran secara dinamis berdasarkan biaya hidup yang berbeda di setiap kota, dan secara rutin memonitor pengeluaran

Perjalanan Lambat (Slow Travel): Menginap lebih lama di satu lokasi dapat mengurangi pengeluaran transportasi yang signifikan

Meminimalisir Pengeluaran Tetap: Memilih akomodasi bersama (shared spaces) seperti co-living atau memasak makanan sendiri daripada makan di luar untuk menghemat anggaran harian

Dana Darurat: Membangun jaring pengaman berupa dana darurat yang idealnya setara dengan 3 hingga 6 bulan biaya hidup untuk menghadapi variabel pendapatan atau keadaan tak terduga.

Table 1: Analisis Komparatif Ekonomi Destinasi DN Kunci (2024)

Destinasi Rata-Rata Biaya Hidup DN (Estimasi Bulanan USD) Tren Kenaikan Properti (2024) Keunggulan Infrastruktur Tantangan Utama
Bali, Indonesia USD 1,000 – 2,900 Kenaikan 25% (Q1 2024) Visa E33G Jangka Panjang, Ekosistem Co-living/Co-working

 

Gentrifikasi Kos Lokal, Ketegangan Sosial, Isu Legalitas (Sebelum E33G)

 

Lisbon, Portugal Lebih tinggi (Relatif terjangkau di Eropa) Kenaikan Signifikan, Backlash Lokal Komunitas DN Terkuat di Eropa, Aksesibilitas, Cuaca Krisis Perumahan, Strain pada Layanan Publik
Chiang Mai, Thailand Umumnya lebih rendah dari Bali Stabil/Rendah Komunitas Kuat, Nilai Hidup Terbaik, Kualitas Kesehatan Regulasi Visa yang Lebih Ketat (Sedang Diperbaiki)

Dinamika Sosial, Budaya, dan Respon Regulasi

 Ketegangan Sosial dan Risiko Erosi Budaya

Kehadiran DN, khususnya dalam konsentrasi tinggi, dapat menciptakan ketegangan sosial yang signifikan. Di destinasi seperti Bali dan Chiang Mai, fenomena DNisme menciptakan “jarak sosial” antara DN dan komunitas lokal, yang seringkali menghasilkan perasaan eksklusi di kalangan penduduk asli. DN seringkali membawa pengaruh budaya Barat yang kuat, memicu kekhawatiran yang sah tentang potensi erosi nilai-nilai dan tradisi lokal, terutama di masyarakat yang memiliki adat istiadat yang berbeda dan mendalam seperti Bali.

Untuk mencapai integrasi yang berhasil, DN dituntut untuk melakukan proses adaptasi lintas budaya yang kompleks dan multidimensional. DN Eropa yang memilih Bali sebagai tempat tinggal, misalnya, harus secara aktif berupaya memahami dan menghormati adat istiadat lokal yang sangat berbeda dari norma sosial di negara asal mereka. Proses adaptasi ini melibatkan penyesuaian sosial, termasuk upaya untuk mempelajari bahasa lokal dan berpartisipasi dalam kegiatan komunitas, yang merupakan kunci untuk merasa lebih terintegrasi dan diterima

Respon Pemerintah dan Tren Legalitas Global

Menanggapi lonjakan populasi DN dan kebutuhan untuk mengelola dampaknya, tren global yang signifikan telah muncul: adopsi visa khusus DN. Saat ini, sekitar 58 negara menawarkan visa semacam ini. Tujuannya adalah menyediakan kepastian hukum bagi DN sekaligus mengontrol dampak ekonomi dan sosial mereka

Kasus Visa Indonesia (E33G) dan Isu Perpajakan

Indonesia, khususnya Bali, telah menjadi pusat perhatian karena pengenalan Visa Pekerja Remote (E33G), atau yang dikenal sebagai visa DN. Visa ini dirancang untuk memungkinkan profesional asing tinggal di Indonesia sambil bekerja untuk pemberi kerja asing atau mengelola bisnis online .

Visa E33G ini memiliki spesifikasi yang dirancang untuk menarik segmen DN dengan daya beli tinggi:

Kriteria Finansial: Pemohon wajib membuktikan penghasilan tahunan minimal USD 60,000

Status Pekerjaan: DN dilarang menerima pembayaran, upah, atau kompensasi setara dari individu atau perusahaan yang berdomisili di Indonesia. Tujuannya adalah melindungi pasar kerja domestik.

Insentif Pajak: Salah satu daya tarik utama visa E33G adalah status bebas pajak penghasilan untuk pendapatan yang dihasilkan dari luar Indonesia . Visa ini berlaku hingga lima tahun, menawarkan stabilitas jangka panjang

Sebelum visa E33G diperkenalkan, Bali menghadapi masalah legalitas yang serius. Banyak DN asing menyalahgunakan visa turis untuk bekerja, yang memicu kemarahan publik dan kekhawatiran mengenai kebocoran pajak. Para DN tersebut tidak membayar pajak penghasilan (PPh) layaknya ekspatriat pada umumnya, menekankan perlunya kerangka regulasi yang transparan dan dapat dipatuhi .

Table 2: Analisis Kebijakan Visa Digital Nomad dan Risiko Legalitas

Aspek Regulasi Model Indonesia (E33G Remote Worker Visa) Tujuan Kebijakan Implikasi Risiko Kritis
Masa Berlaku & Stabilitas Jangka panjang (hingga 5 tahun)

[17, 20]

Menarik DN berstatus profesional dan berinvestasi lebih lama. Potensi tekanan jangka panjang pada infrastruktur publik

.

Status Perpajakan Bebas pajak penghasilan luar negeri Memberikan insentif finansial tertinggi. Mengakibatkan Tax Leakage dan disparitas keadilan fiskal dengan penduduk lokal

.

Kriteria Finansial (Min.) USD 60,000 per tahun Memfilter segmen DN makmur (memaksimalkan devisa). Mempercepat gentrifikasi properti sewa, terutama di segmen mewah dan menengah

 

.

Kontrol Pasar Kerja Dilarang bekerja untuk entitas Indonesia Melindungi pasar kerja domestik. Membatasi integrasi DN ke dalam ekosistem ekonomi lokal selain konsumsi.

Perangkap Pendapatan Jangka Pendek

Kebijakan visa DN di banyak negara, termasuk Indonesia, menunjukkan fokus yang cenderung kuat pada manfaat ekonomi jangka pendek, terutama melalui perolehan devisa dan peningkatan konsumsi. Insentif pajak yang signifikan ditawarkan untuk menarik DN dengan modal tinggi. Namun, pendekatan ini berisiko menciptakan Perangkap Pendapatan Jangka Pendek. Dengan menawarkan keuntungan finansial yang besar (seperti status bebas pajak) sementara secara bersamaan menarik segmen berpenghasilan tinggi ($60K), kebijakan ini secara tidak sengaja memperburuk masalah struktural jangka panjang, yaitu ketidakadilan perumahan dan tekanan gentrifikasi yang tidak terkelola. Keberlanjutan sosial destinasi terancam jika kebijakan gagal menyeimbangkan pendapatan DN dengan kesejahteraan penduduk lokal.

Proyeksi dan Kerangka Kebijakan Berkelanjutan

Proyeksi Jangka Panjang Tren Global

Fenomena Digital Nomad bukanlah tren sementara. Populasi DN global diproyeksikan tumbuh sebesar 18% per tahun. Pertumbuhan yang tak terhindarkan ini menjamin bahwa tekanan demografi dan ekonomi yang saat ini dialami oleh Bali, Lisbon, dan destinasi populer lainnya akan terus meningkat. Oleh karena itu, kota-kota yang ingin mempertahankan daya saing harus berinvestasi lebih lanjut dalam konektivitas digital (Wi-Fi) dan ekosistem kerja/hidup yang terstruktur (co-everything) .

Tren ini juga menunjukkan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan jumlah pengguna internet terbesar ke-4 di dunia, memiliki potensi besar untuk menjadi pusat DN, namun harus mengatasi disparitas infrastruktur digital regional dan memastikan kesiapan kota-kota berkelanjutan kelas dunia.

Rekomendasi Kebijakan untuk Mitigasi Dampak Negatif (Gentrification dan Sosial)

Untuk menciptakan ekosistem DN yang seimbang dan berkelanjutan, diperlukan intervensi kebijakan yang holistik dan bertarget.

Intervensi Regulasi Properti yang Bertarget

Masalah gentrifikasi harus ditangani melalui regulasi properti yang ketat untuk melindungi segmen perumahan yang terjangkau bagi penduduk lokal:

Regulasi Konversi Sewa: Menerapkan regulasi ketat (mirip dengan langkah yang dipertimbangkan di Chiang Mai) untuk mencegah konversi properti residensial jangka panjang (termasuk kos-kosan atau rumah sewa lokal) menjadi sewa jangka pendek atau sewa eksklusif bagi DN/ekspatriat

Pajak Properti Khusus: Menerapkan pajak khusus atau biaya kontribusi infrastruktur pada vila atau properti yang digunakan untuk sewa jangka panjang kepada DN. Pendapatan dari pajak ini harus dialokasikan secara eksplisit untuk menyubsidi pembangunan perumahan terjangkau bagi penduduk lokal dan meningkatkan layanan publik yang terbebani oleh peningkatan populasi

Strategi Integrasi Sosial dan Budaya

Untuk mengatasi jarak sosial dan potensi erosi budaya:

Kontribusi Komunitas Wajib: Mengembangkan program di mana DN diharapkan menyumbangkan keterampilan profesional mereka (pro bono) kepada komunitas lokal atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini mengubah persepsi DN dari sekadar konsumen menjadi kontributor modal manusia

Pendidikan dan Etika Lintas Budaya: Mewajibkan modul kesadaran budaya dan etika kerja selama proses aplikasi visa atau setibanya di destinasi, terutama di lokasi yang sensitif secara adat seperti Bali  Hal ini penting untuk memastikan DN memahami dan menghormati norma-norma lokal.

Kesimpulan

Era Nomad Digital adalah manifestasi struktural dari transformasi global dalam pekerjaan dan gaya hidup. Fenomena ini menawarkan keuntungan ekonomi yang tidak dapat diabaikan bagi negara tuan rumah melalui aliran devisa dan stimulasi sektor layanan. Namun, analisis komparatif mendalam di hotspot seperti Bali dan Lisbon menunjukkan bahwa manfaat ekonomi ini datang dengan biaya sosial yang tinggi, terutama dalam bentuk gentrifikasi properti yang tidak terkendali dan peningkatan ketegangan sosial.

Keberhasilan jangka panjang Bali, Lisbon, dan destinasi DN lainnya akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk bergeser dari sekadar menarik DN menjadi mengelola dampak DN. Kebijakan visa (seperti E33G di Indonesia) yang berfokus pada insentif pendapatan dan pengamanan pasar kerja domestik hanyalah langkah awal. Untuk mencapai keberlanjutan sosial dan ekonomi, diperlukan kerangka kebijakan yang holistik. Kerangka ini harus secara proaktif menginternalisasi biaya sosial (seperti krisis perumahan lokal yang didorong oleh kenaikan harga 25% di Bali) dan memastikan bahwa keuntungan dari DNisme dibagikan secara adil, tidak dengan mengorbankan kesejahteraan komunitas lokal

Dengan menyeimbangkan insentif ekonomi dengan regulasi properti yang bijaksana dan strategi integrasi budaya yang efektif, kota-kota dapat memanfaatkan gelombang DN global sambil melindungi integritas demografi dan sosial mereka.