Loading Now

Adrenalin Lintas Benua: Dekonstruksi Konsep ‘Ekstrem’ dalam Spektrum Budaya, Ritual, dan Komersialisasi Global

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dan mendefinisikan ulang konsep “ekstrem” (adrenalin) melalui lensa lintas budaya. Dalam konteks global yang didominasi oleh media, label ‘ekstrem’ sering digunakan secara seragam, mengabaikan kerangka sosio-kultural dan fungsi eksistensial pengambilan risiko dalam komunitas tradisional. Analisis ini membandingkan olahraga ekstrem modern yang dikomersialkan dengan ritus peralihan tradisional berisiko tinggi untuk menunjukkan bahwa ‘ekstremitas’ adalah konstruksi budaya, bukan kategori universal.

Dilema Terminologis: Membedah Label ‘Ekstrem’ dalam Konteks Antropologi

Konsep “Olahraga Ekstrem” (Extreme Sport, Action Sport, atau Adventure Sport) secara umum didefinisikan sebagai aktivitas yang dianggap melibatkan tingkat risiko cedera atau kematian yang tinggi. Kegiatan ini seringkali memerlukan kecepatan, ketinggian, pengerahan fisik yang intens, dan peralatan yang sangat khusus. Secara historis, penggunaan istilah “olahraga ekstrem” mencapai popularitas pada tahun 1990-an. Peningkatan popularitas ini didorong oleh perusahaan pemasaran yang bertujuan mempromosikan X Games, serta melalui peluncuran entitas media seperti Extreme Sports Channel pada tahun 1999.

Namun, karena istilah ‘ekstrem’ merupakan label komersial yang muncul pada akhir abad ke-20 , penerapannya pada kegiatan berusia berabad-abad, seperti ritual kuno, berfungsi sebagai label etik (pandangan dari luar). Label ini berpotensi mengabaikan fungsi sosial dan spiritual internal (emic) dari kegiatan tersebut. Oleh karena itu, ‘ekstrem’ modern dapat dipandang sebagai komoditas media yang dirancang untuk konsumsi global. Berbeda dengan pandangan komersial, definisi operasional yang lebih ketat, seperti yang diajukan oleh Dr. Rhonda Cohen (2012), mendefinisikan olahraga ekstrem sebagai aktivitas kompetitif yang menundukkan peserta pada tantangan fisik dan mental yang tidak biasa (seperti kecepatan, ketinggian, atau kekuatan alam), di mana pemrosesan kognitif yang cepat dan akurat diperlukan untuk hasil yang sukses.

Kerangka Teori: Persepsi Risiko, Strategi Budaya, dan Pencarian Sensasi

Persepsi risiko (risk perception) adalah aspek penting yang membedakan bagaimana berbagai masyarakat merespons bahaya. Studi menunjukkan bahwa persepsi risiko dipengaruhi oleh faktor-faktor non-teknis, termasuk budaya, pandangan pribadi, tingkat pendidikan, dan lingkungan sekitar. Kajian sosiologi dan antropologi lebih lanjut menguatkan bahwa respons terhadap bahaya tidak bersifat murni individu, melainkan dimediasi oleh pengaruh sosial yang ditransmisikan melalui keluarga, teman, dan komunitas.

Dalam kerangka budaya, risiko yang diambil harus dilihat sebagai bagian dari strategi adaptasi. Budaya berfungsi sebagai rangkaian aturan, strategi, atau petunjuk yang dipakai oleh manusia untuk merencanakan dan menentukan langkah-langkah dalam menghadapi tantangan lingkungan dan pembaharuan. Ini berarti bahwa risiko kolektif mungkin berfungsi sebagai mekanisme kontrol risiko komunal yang diperlukan untuk mencapai tujuan eksistensial komunitas, seperti kelangsungan hidup.

Kontras antara motivasi individualis dan kolektif menjadi jelas. Sementara masyarakat individualis mungkin lebih fokus pada pencarian sensasi pribadi (Thrill Seeking), budaya kolektif cenderung mengaitkan perilaku hedonik atau berisiko dengan motif sosial, seperti social shopping atau value shopping. Dengan demikian, kegiatan yang memicu adrenalin dalam budaya kolektif bukan hanya sekadar pengejaran kepuasan individu, tetapi merupakan prasyarat bagi kohesi sosial atau adaptasi spiritual-ekonomi, misalnya untuk memastikan panen ubi yang berhasil.

Konstruksi Modern ‘Ekstrem’: Psikologi dan Komersialisasi

Definisi modern mengenai ekstremitas telah mengalami globalisasi yang cepat, didorong oleh kekuatan media dan komersialisasi, sambil mengisolasi motivasi risiko ke dalam domain psikologi individu.

Globalisasi Adrenalin: Peran Media dan Komersialisasi

Globalisasi olahraga berisiko tinggi diinstitusikan secara formal dengan peluncuran Extreme Sports Channel dari Amsterdam pada 1 Mei 1999. Saluran ini menyiarkan olahraga petualangan seperti selancar, snowboarding, motocross, BMX, dan wakeboarding ke lebih dari 60 negara. Media massa tidak hanya menyiarkan aktivitas ekstrem, tetapi juga memainkan peran utama dalam mengubahnya menjadi gaya hidup dan bagian integral dari budaya populer.

Menurut tinjauan teori ekonomi politik media, institusi media berfungsi dalam sistem ekonomi dan politik, dan bersama-sama dengan konsumerisme, mereka mempromosikan sensasi sebagai “suguhan instan” atau perilaku yang “luar biasa”. Dalam konteks ini, adrenalin bertransformasi dari hasil insidental risiko fisik menjadi produk yang dicari dan dijual, mencerminkan ciri khas pos-modernisme di mana pencarian sensasi diintegrasikan ke dalam arus informasi dan gaya hidup sehari-hari.

Analisis Psikologis Pencarian Sensasi (Sensation Seeking Scale – SSS)

Secara psikologis, dorongan untuk mengambil risiko diukur melalui alat seperti Sensation Seeking Scale (SSS), yang terdiri dari empat skala utama, termasuk Thrill and Adventure Seeking (keinginan untuk terlibat dalam olahraga yang melibatkan kecepatan atau bahaya).

Meskipun SSS berupaya mengukur universalitas kebutuhan risiko, penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa manifestasi dan struktur motivasi ini tidak seragam. Perbandingan struktur faktor SSS Form VI antara subjek Kuwait dan Amerika menunjukkan perbedaan substansial. Khususnya, faktor Thrill and Adventure Seeking hanya menunjukkan keandalan lintas budaya yang baik untuk subjek pria. Perbedaan ini menunjukkan bahwa cara masyarakat menyalurkan atau menekan kebutuhan untuk mencari sensasi sangat dipengaruhi oleh norma-norma kultural.

Di budaya yang lebih kolektif atau konservatif, kebutuhan mencari sensasi fisik mungkin dimodulasi dan disalurkan ke dalam aktivitas yang disahkan secara sosial (misalnya, partisipasi dalam ritual komunal berisiko tinggi) atau disublimasikan ke dalam dimensi SSS lainnya, seperti Experience Seeking yang melibatkan perjalanan atau gaya hidup nonkonformitas. Dengan demikian, perbedaan dalam skor SSS mengindikasikan bahwa motivasi adrenalin tidak berdiri sendiri, tetapi tunduk pada kerangka nilai budaya.

Peran Geografi Fisik dalam Membentuk Ekstremitas Lingkungan

Geografi fisik, yang mempelajari unsur-unsur geosfer seperti atmosfer, biosfer, dan hidrosfer , memainkan peran mendasar dalam mendefinisikan ekstremitas yang tidak dipilih, melainkan dipaksakan oleh alam. Fenomena alam yang ekstrim adalah bagian dari ilmu geografi fisik, misalnya studi tentang cuaca ekstrem, suhu ekstrem, atau hujan lebat.

Dalam konteks modern, perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat aktivitas manusia (seperti emisi karbon dioksida dan metana dari industri dan penebangan hutan) meningkatkan frekuensi dan intensitas ancaman alam. Pemanasan global menyebabkan badai yang lebih keras dan merusak, curah hujan yang ekstrem yang memicu banjir, dan peningkatan kekeringan.

Hal ini menciptakan kontras tajam antara risiko yang dipilih (olahraga ekstrem rekreasi) dan ekstremitas yang dipaksakan. Bagi banyak komunitas di seluruh dunia, ‘ekstrem’ didefinisikan oleh tantangan lingkungan yang memaksa adaptasi untuk bertahan hidup, seperti menghadapi siklon yang lebih kuat atau suhu yang meningkat. Kemampuan untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan bencana alam ini merupakan manifestasi dari ekstremitas adaptif yang jauh lebih penting daripada pencarian adrenalin rekreasi.

Ritus Peralihan dan Definisi Risiko Komunal

Kegiatan ekstrem tradisional didefinisikan secara inheren oleh fungsi sosial, spiritual, atau ekonomi yang dimilikinya. Dalam konteks ini, risiko fisik yang tinggi adalah harga yang harus dibayar oleh individu untuk mencapai status sosial atau untuk mengamankan keberkahan komunal.

Studi Kasus 1: Land Diving (Nanggol/Gol) Vanuatu—Kewajiban Spiritual dan Kesuburan

Land Diving, yang dikenal secara lokal sebagai Gol atau Nanggol, adalah ritual yang dilakukan oleh pria di Pulau Pentecost, Vanuatu. Ritual ini melibatkan aksi melompat dari menara kayu setinggi 20 hingga 30 meter, dengan hanya dua tali anggur (vines) yang dililitkan di pergelangan kaki. Aktivitas ini menghasilkan gaya G terbesar yang dialami manusia di dunia non-industri.

Fungsi inti ritual ini bersifat spiritual dan agraria: lompatan yang sukses diyakini memberkati panen ubi yang akan datang. Semakin tinggi lompatan, semakin besar kemungkinan panen yang sukses. Selain itu, Land Diving berfungsi sebagai ritus peralihan penting bagi anak laki-laki untuk menjadi pria dewasa.

Pengelolaan risiko dalam tradisi ini adalah bentuk rekayasa lokal yang canggih. Tetua desa secara cermat memilih tali anggur yang harus kenyal, elastis, dan penuh getah, mencocokkannya dengan berat pelompat tanpa perhitungan mekanis. Menara itu sendiri dibuat agar papan loncatan menekuk setelah pelompat melompat, membantu menyerap banyak gaya G sebelum pendaratan. Meskipun risiko kematian ada, pelompat tidak dipaksa. Ia diizinkan menyampaikan pidato (wasiat terakhir) sebelum melompat, dan jika ia memilih untuk turun, komunitas tidak akan mencelanya. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen mental dan keberanian untuk menghadapi risiko, yang didorong oleh ikatan budaya, sama pentingnya dengan tindakan fisik itu sendiri. Dengan demikian, Land Diving adalah kontrak sosial yang diresapi secara spiritual, di mana risiko fisik adalah investasi untuk kelangsungan hidup komunal.

Studi Kasus 2: Hamar Bull Jumping (Ethiopia)—Kehormatan dan Status Pastoralis

Di Lembah Omo, Ethiopia Selatan, pemuda suku Hamar menjalani Bull Jumping sebagai ritus peralihan untuk mencapai status dewasa (Maza, yang berarti “yang tercapai”). Ritual ini menuntut mereka untuk berlari telanjang di sepanjang punggung 10 hingga 15 banteng yang berbaris, yang sebelumnya dilumuri kotoran. Jika gagal, mereka harus mencoba lagi setahun kemudian. Keberhasilan memungkinkan pemuda itu memiliki ternak dan bertemu calon istri, menjadikannya bagian penting dari kehidupan pastoralis.

Ekstremitas dalam budaya Hamar melampaui risiko fisik individu yang melompati banteng. Bagian integral dari ritual tiga hari ini adalah pencambukan tradisional terhadap kerabat wanita sang inisiasi. Para wanita secara sukarela menantang Maza untuk mencambuk punggung mereka hingga berdarah. Bekas luka yang dihasilkan adalah simbol kehormatan dan bukti tak terbantahkan atas loyalitas mereka kepada keluarga. Dalam masyarakat Hamar, bekas luka ini berfungsi sebagai pengingat akan dukungan yang telah diberikan, yang penting di kemudian hari jika janda harus meminta bantuan kerabat pria. Ini menunjukkan bahwa ‘ekstremitas’ dapat didefinisikan oleh tingkat loyalitas sosial dan penderitaan ritual yang diperlukan untuk menjamin dukungan komunal.

Studi Kasus 3: Definisi Ekstrem Kultural dalam Konsumsi (Dayak, Indonesia)

Definisi ekstremitas dapat meluas hingga ke praktik gastronomi. Beberapa hidangan tradisional Suku Dayak, seperti Bangamat (kuliner ekstrem) atau Tembiluk (cacing yang hidup di dalam batang pohon), dianggap sebagai “kuliner ekstrem” oleh pengamat luar.

Label ‘ekstrem’ yang dikenakan pada konsumsi makanan ini seringkali mengabaikan konteks fungsionalnya. Makanan yang dianggap berisiko atau tidak biasa oleh budaya luar seringkali merupakan manifestasi kearifan lokal yang mendalam dan strategi adaptasi terhadap lingkungan hutan. Pengetahuan tradisional tentang sumber makanan, penanganan, dan kebutuhan nutrisi mengimbangi risiko yang melekat pada konsumsi (misalnya, kesulitan penanganan atau potensi penyakit). Dalam hal ini, ‘ekstremitas’ gastronomi adalah esensi fungsional dari adaptasi ekologis dan identitas budaya, bukan sekadar pencarian sensasi rasa.

Komersialisasi dan Ketegangan antara Otentisitas Budaya dan Adrenalin Global

Ketika aktivitas berisiko tinggi tradisional bertemu dengan pasar pariwisata ekstrem global, konflik nilai muncul, di mana otentisitas ritual berisiko dikorbankan demi profitabilitas.

Konflik Nilai: Pergeseran dari Ritual ke Tontonan

Kegiatan ritual Land Diving di Vanuatu, meskipun merupakan warisan budaya , telah berkembang menjadi daya tarik wisata yang signifikan. Transformasi ini menunjukkan pergeseran dari ritual spiritual menjadi tontonan yang dikomodifikasi. Land Diving, yang secara tradisional merupakan acara tahunan yang terikat pada siklus pertanian, kini terjadi mingguan dari bulan April hingga Juni karena profitabilitas yang tinggi.

Pergeseran dari ritme budaya tahunan menjadi jadwal komersial mingguan ini dapat diartikan sebagai ekstremitas jadwal yang berpotensi mengikis makna ritual aslinya (berkah panen). Turis membayar biaya yang besar (sekitar 10.000–12.000 vatu, atau $100–120) untuk menyaksikan acara tersebut. Meskipun sektor pariwisata membawa dampak ekonomi positif bagi warga sekitar , risiko hilangnya nilai spiritual dan budaya sangat besar. Untuk melindungi budaya, kontrol lokal, seperti larangan komersial filming yang diberlakukan oleh Pusat Budaya Vanuatu pada tahun 2006, menjadi strategi defensif untuk menjaga spiritual capital tradisi.

Pengelolaan Risiko dalam Festival Budaya (Kasus Kalimantan)

Dalam beberapa kasus, komersialisasi dan pengemasan kegiatan tradisional berisiko tinggi melalui festival dapat berfungsi sebagai strategi konservasi yang didukung pemerintah. Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) di Kalimantan Tengah adalah acara tahunan yang menggelar berbagai lomba tradisional. Kompetisi ini mencakup permainan tradisional yang memiliki unsur risiko fisik dan keterampilan, seperti Lomba Maneweng, Manetek Tuntang Manyila Kayu, Lomba Sepak Sawut, Lomba Jukung Tradisional, Lomba Besei Kambe (dayung), dan Lomba Manyipet (sumpit/berburu tradisional).

Tujuan utama festival ini adalah untuk melestarikan kebudayaan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, mendorong regenerasi, dan mempromosikan kearifan lokal. Meskipun FBIM membawa dampak ekonomi melalui promosi produk dan badan usaha , pengemasan ulang tradisi berisiko tinggi menjadi kompetisi resmi di bawah payung pariwisata dilihat sebagai strategi adaptasi budaya. Strategi ini memberikan nilai ekonomi dan sosial yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan praktik tradisional, seperti keterampilan berburu (Manyipet), yang mungkin terancam punah. Permainan-permainan seperti sepak sawut dan balogo diyakini mengajarkan nilai-nilai sportivitas dan kebersamaan.

Sintesis Kontras Lintas Budaya

Perbandingan antara ekstremitas yang didorong oleh pasar dan yang didorong oleh kewajiban komunal mengungkapkan perbedaan mendasar dalam tujuan pengambilan risiko.

Kerangka Motif Pengambilan Risiko Ekstrem: Komunal vs. Individual

Dimensi Kultural Ekstremitas Individualistik (Olahraga Modern) Ekstremitas Komunal (Ritual Tradisional)
Pemicu Definisi Konstruksi Media dan Pemasaran (Pasca-1990an). Strategi Adaptasi Budaya dan Spiritualitas.[4, 13]
Tujuan Utama Pencarian sensasi (Thrill Seeking), Prestasi, Hedonisme.[1, 7, 8] Kewajiban Ritual, Ritus Peralihan (Identitas), Keberkahan Komunal (Panen).[6, 14]
Bingkai Risiko Risiko yang Diperlengkapi secara Teknis (Specialized Gear). Risiko yang Diatur secara Sosial dan Spiritual (Tetua, Tali Anggur, Ritual).[12, 15]
Keterkaitan Sosial Jaringan pendukung/kompetisi, didorong oleh Pengalaman Pribadi. Identitas kelompok; Fungsi sosial dan loyalitas (Cambuk Hamar).
Contoh Kasus BASE Jumping, Free Solo Climbing, X Games. Land Diving Vanuatu , Bull Jumping Hamar.

Kesimpulan

Analisis lintas benua ini menegaskan bahwa konsep “ekstrem” beroperasi pada spektrum yang luas, dibingkai oleh dua sumbu utama: Ekstremitas yang Dikomersialkan (Global), di mana sensasi dan adrenalin adalah tujuan akhir; dan Ekstremitas yang Terbingkai Ritual (Lokal/Komunal), di mana risiko adalah alat fungsional.

Dalam konteks modern, kegiatan yang memicu adrenalin dibingkai sebagai pencarian sensasi individu. Sebaliknya, Land Diving dan Bull Jumping menunjukkan bahwa dalam konteks ritual, pengambilan risiko adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar, seperti status sosial, kesuburan, atau kelangsungan hidup komunitas. Kontras ini menyoroti perlunya mendekonstruksi label ‘ekstrem’ yang seragam untuk memahami fungsi dan makna risiko dalam konteks budaya.

Implikasi untuk Pengelolaan Risiko dan Pelestarian Warisan Budaya Berisiko Tinggi

Temuan ini memiliki implikasi signifikan untuk pengelolaan risiko dan pelestarian warisan. Persepsi risiko sangat penting bagi penentu kebijakan, karena kegagalan untuk memahami kerangka budaya masyarakat dapat menghambat penanganan masalah bencana atau implementasi pembangunan.

Dalam kasus kegiatan berisiko tinggi tradisional, seperti Land Diving, kebijakan mitigasi yang hanya berfokus pada keselamatan fisik (misalnya, menuntut penggunaan peralatan modern) dapat secara fundamental menghancurkan makna budaya ritual tersebut. Komunitas tersebut sudah menerapkan strategi mitigasi risiko lokal yang cermat (pemilihan tali, desain menara). Mengeluarkan risiko dari ritual dapat menghilangkan nilai spiritual dan sosialnya.

Rekomendasi Kebijakan untuk Pariwisata Budaya Ekstrem yang Berkelanjutan

Untuk memastikan kegiatan berisiko tinggi tradisional yang dikomersialkan tetap berkelanjutan dan otentik, disarankan langkah-langkah kebijakan berikut:

  1. Penguatan Kontrol Budaya: Mendorong model pariwisata yang menekankan kontrol budaya lokal. Hal ini mencakup mempertahankan strategi defensif seperti pembatasan frekuensi acara (menjaga agar Land Diving tidak menyimpang dari irama agraris aslinya)  dan menetapkan harga premium yang tinggi untuk turis, yang berfungsi sebagai pembatas untuk membatasi risiko komersialisasi berlebihan.
  2. Pariwisata Filosofis: Mempromosikan model pariwisata yang berfokus pada edukasi filosofi risiko—mengapa ritual itu harus berisiko (misalnya, peran risiko dalam memastikan panen atau status sosial)—daripada hanya menjual tontonan sensasi adrenalin.
  3. Dukungan Adaptasi Budaya: Mendukung upaya revitalisasi budaya melalui festival dan kompetisi (seperti Isen Mulang) sebagai strategi adaptasi budaya yang sah. Ini memastikan bahwa praktik berisiko tinggi tradisional dapat bertahan dengan memperoleh nilai ekonomi dan sosial di era modern.