Loading Now

Tentang Fenomena Digital Nomad Ekstrem

Fenomena pekerja jarak jauh global telah berevolusi pesat, terutama sejak krisis global mendorong perusahaan untuk mengakui potensi kerja non-kantoran. Dalam spektrum yang luas ini, muncul subkelompok yang disebut Digital Nomad Ekstrem (DNE), atau sering disebut sebagai Perpetual Traveler (PT), yang mempraktikkan gaya hidup mobilitas ultra-tinggi yang didorong oleh pertimbangan legal dan finansial di atas sekadar pengalaman budaya.

Definisi Digital Nomad (DN) vs. Remote Worker (RW)

Untuk memahami ekstremitas DNE, penting untuk mendefinisikan perbedaan antara berbagai kelompok pekerja jarak jauh. Remote Worker (RW) adalah individu yang dapat bekerja dari lokasi mana pun selain kantor fisik, namun seringkali mereka tetap terikat pada satu wilayah, tunduk pada hukum ketenagakerjaan, dan memiliki residensi pajak yang jelas di negara asal atau tempat mereka menetap. Prioritas utama RW adalah fleksibilitas lokasi kerja tanpa mengorbankan stabilitas regional.

Digital Nomad (DN) adalah sub-set dari RW yang secara rutin menggabungkan pekerjaan online dengan semangat petualangan dan perjalanan. Digital Nomad secara historis bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti Wi-Fi, smartphone, atau hotspot seluler untuk mengakses pekerjaan. Mereka mungkin bekerja dari kafe, hotel, perpustakaan umum, atau co-working spaces. Digital Nomad konvensional umumnya memprioritaskan perjalanan dan pengalaman budaya baru, mungkin memilih slow travel dengan tinggal lebih lama di setiap lokasi. Profesi yang umum di kalangan DN meliputi programmer, content creator, dan desainer.

Karakteristik Digital Nomad Ekstrem (DNE) dan Perpetual Traveler (PT)

DNE atau Perpetual Traveler (PT) adalah individu yang mendorong batas-batas kerja jarak jauh hingga ke titik arbitrase yurisdiksi. Sementara Digital Nomad konvensional mencari work-life balance, DNE mencari regulatory-financial arbitrage. Individu ini sengaja mengelola keberadaan fisik mereka untuk menghindari menjadi residen pajak di negara mana pun. Dengan kata lain, mereka bertujuan untuk menjadi “tidak memiliki residensi pajak di mana pun” (tax resident nowhere).

Karakteristik utama DNE meliputi:

  1. Mobilitas Maksimum: Mereka dapat melakukan fast travel, berpindah yurisdiksi secara teratur untuk memastikan batas waktu tinggal tidak memicu kewajiban fiskal penuh.
  2. Prioritas Finansial dan Legal: Keputusan perjalanan mereka sangat dipengaruhi oleh kebijakan pajak, hukum perusahaan, dan persyaratan visa, memprioritaskan optimalisasi keuangan di atas sekadar pengalaman budaya.
  3. Minimalisasi Kepemilikan Material: Untuk memfasilitasi mobilitas tanpa batas, mereka cenderung memiliki kepemilikan material yang minimal.

Lanskap pekerja jarak jauh telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Angka digital nomad di Amerika Serikat saja meningkat 131% sejak 2019, mencapai 17.3 juta pada tahun 2023, dan terus meningkat hingga 18.1 juta pada tahun 2024. Lonjakan ini sebagian besar didorong oleh pengakuan perusahaan terhadap kekuatan kerja jarak jauh pasca-Pandemi COVID-19, yang semakin memfasilitasi pergerakan menuju status nomad, dan bagi sebagian kecil, ke status ekstrem. DNE melihat regulasi dan perpajakan sebagai hambatan geografis yang harus diatasi. Kebebasan sejati bagi kelompok ini dicapai melalui kontrol penuh atas yurisdiksi tempat mereka beroperasi, bukan sekadar kemampuan untuk bekerja dari kafe.

Table I.1: Perbandingan Karakteristik Pekerja Jarak Jauh

Kriteria Remote Worker (RW) Digital Nomad (DN) Digital Nomad Ekstrem (DNE) / Perpetual Traveler (PT)
Prioritas Lokasi Terikat pada wilayah/kota (stabilitas) Mobilitas sedang (slow travel/lokasi populer) Mobilitas maksimum (fast travel/lokasi terpencil)
Tujuan Utama Fleksibilitas kerja, menghindari kantor Pengalaman budaya, perjalanan Optimalisasi pajak dan arbitrase jurisdiksi
Residensi Hukum Jelas, residen di satu negara Seringkali jelas, namun rentan grey area Sengaja menghindari residensi pajak tunggal (Stateless for Tax Purposes)
Infrastruktur Koneksi aman/terjamin (rumah/kantor regional) Akses Wi-Fi yang baik (co-working, kafe) Akses satelit (Starlink) di lokasi terpencil

Filosofi dan Motivasi Inti DNE: Arbitrase Jurisdiksi dan Optimalisasi Finansial

Motivasi di balik gaya hidup DNE/PT bersifat fundamental dan sangat strategis, berakar pada optimalisasi finansial dan penolakan terhadap kewajiban fiskal yang dianggap berlebihan di yurisdiksi asal atau yurisdiksi bertekanan pajak tinggi.

Pendorong Ekonomi: Minimisasi Pajak dan Arbitrase Biaya Hidup

DNE beroperasi dengan prinsip arbitrase, mencari celah dalam sistem pajak global untuk meminimalkan beban fiskal dan memanfaatkan perbedaan biaya hidup. Mereka bertujuan untuk memaksimalkan daya beli dengan menghasilkan pendapatan di mata uang kuat (misalnya USD atau EUR) dan membelanjakannya di negara dengan biaya hidup rendah, seperti Vietnam (Ho Chi Minh menawarkan biaya hidup sekitar $716 per bulan) atau Thailand (Phuket dan Krabi).

Di sisi lain, negara asal dan negara tuan rumah menyadari adanya potensi pajak yang hilang akibat mobilitas tinggi ini. Misalnya, pemerintah berupaya menggali potensi pajak dari individu yang seharusnya menjadi wajib pajak melalui kegiatan intensifikasi (memprofiling wajib pajak yang sudah ada) dan ekstensifikasi (mencari wajib pajak baru). Konflik antara optimalisasi DNE dan upaya penggalian pajak oleh pemerintah menciptakan lanskap risiko yang tinggi dan mendorong DNE menuju strategi legal yang semakin kompleks.

Prinsip Dasar Flag Theory (Teori Bendera)

Inti dari strategi DNE adalah penerapan Flag Theory (Teori Bendera), sebuah kerangka kerja manajemen risiko dan perencanaan global yang bertujuan mendiversifikasi urusan pribadi dan finansial di berbagai yurisdiksi. Tujuannya adalah memastikan bahwa tidak ada satu pemerintah pun yang memiliki kontrol penuh atas individu atau kekayaan mereka. Prinsip utamanya adalah “pergi ke tempat di mana Anda diperlakukan paling baik” (go where you’re treated best).

Dengan menanamkan “bendera” di berbagai negara untuk setiap aspek kehidupan—seperti bendera bisnis, residensi, atau aset—DNE melindungi diri dari risiko yang terkait dengan keterikatan tunggal pada satu negara, seperti pajak tinggi, jangkauan pemerintah yang berlebihan, atau ketidakstabilan ekonomi. Diversifikasi ini mengubah mobilitas nomaden menjadi strategi manajemen risiko yang canggih.

Table II.1: Lima Pilar Utama Teori Bendera (Flag Theory) dalam Strategi DNE

Pilar (Bendera) Tujuan Strategis Contoh Implementasi DNE
Bendera 1: Kewarganegaraan Kebebasan bepergian dan keamanan paspor Mempertahankan paspor dari negara stabil (tanpa citizenship-based taxation)
Bendera 2: Residensial Pajak Minimisasi atau penghindaran pajak penghasilan Menghabiskan kurang dari 183 hari di yurisdiksi berbiaya tinggi
Bendera 3: Bisnis/Perusahaan Mengurangi beban regulasi dan pajak korporasi Mendirikan perusahaan di yurisdiksi pajak rendah (misalnya, Estonia, Delaware)
Bendera 4: Aset/Perbankan Perlindungan aset dan diversifikasi mata uang Menggunakan bank offshore atau di negara yang stabil secara ekonomi
Bendera 5: Domisili Fisik Mencari lingkungan yang paling menguntungkan Bekerja di lokasi yang sesuai dengan gaya hidup dan biaya hidup rendah (misalnya, Asia Tenggara)

Analisis Pilar Strategis dan Dilema Residensial

Pilar kedua (Residensial Pajak) adalah yang paling krusial dan mendefinisikan status PT. DNE berinvestasi waktu dan upaya besar untuk memastikan bahwa keberadaan fisik mereka di negara mana pun tidak memicu status tax residency penuh. Sementara pilar ketiga (Bisnis) memungkinkan mereka melindungi pendapatan melalui struktur korporat di yurisdiksi pajak rendah, ini tidak sepenuhnya melindungi mereka dari pajak pribadi.

Strategi Flag Theory, khususnya dalam mencapai status Perpetual Traveler, berpotensi menciptakan kerentanan hukum. Negara-negara dengan tingkat pajak tinggi yang memiliki sistem pajak berbasis residensi (seperti Kanada atau Australia) cenderung tidak menyukai warga mereka menjadi tax resident nowhere. Meskipun negara-negara ini tidak menerapkan perpajakan berbasis kewarganegaraan seperti Amerika Serikat, mereka akan mencari “ikatan” (seperti keluarga, aset, atau pusat kepentingan ekonomi) yang cukup untuk memaksakan residensi pajak.

Ancaman ini menyiratkan bahwa strategi DNE sejati—menjadi PT—sering kali merupakan posisi yang tidak berkelanjutan atau sangat berisiko. Untuk mengurangi risiko penentuan residensi pajak paksa oleh negara asal, banyak DNE ekstrem dipaksa untuk mengorbankan status PT dan memilih residensi legal di negara dengan pajak rendah (misalnya, Montenegro), untuk secara resmi membuktikan bahwa mereka membayar pajak di “suatu tempat.” Ini menjadikan ekstremisme mobilitas sebagai langkah transisi menuju optimalisasi pajak yang stabil dan legal secara internasional.

Strategi Kepatuhan Lintas Batas dan Tantangan Hukum (The Perpetual Traveler)

Aspek legal dan perpajakan merupakan tantangan terbesar dan sekaligus motivasi utama DNE. Pengelolaan status residensi pajak lintas batas adalah medan pertempuran utama bagi kelompok ini.

Mengelola Aturan Batas Waktu (The 183-Day Rule)

Strategi utama bagi DNE adalah menghindari ambang batas waktu tinggal yang memicu status Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) atau tax residency. Banyak yurisdiksi menggunakan ambang batas 183 hari (sekitar enam bulan) tinggal dalam setahun fiskal sebagai penentu utama status residensi.

Bagi Warga Negara Indonesia (WNI), aturan batas waktu tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari dapat membebaskan mereka dari potensi pajak berganda di Indonesia. Namun, kompleksitas muncul karena banyak negara menggunakan kriteria tambahan selain hitungan hari, seperti pusat kepentingan vital, tempat tinggal permanen, atau hubungan keluarga, untuk menentukan residensi pajak. Jika ikatan-ikatan ini terlalu kuat di negara asal, status residensi pajak bisa dipaksakan meskipun hitungan hari dihindari.

Risiko Hukum dan Dilema Tax Residency di Negara Asal

Status Perpetual Traveler menimbulkan dilema legal yang serius, terutama tergantung pada kewarganegaraan asal. Warga negara Amerika Serikat adalah pengecualian besar; mereka tidak dapat menjadi tax resident nowhere karena AS menerapkan citizenship-based taxation (perpajakan berbasis kewarganegaraan), yang berarti mereka selalu dikenakan pajak AS terlepas dari lokasi fisik mereka.

Bagi warga negara lain, risiko utamanya adalah penentuan residensi paksa oleh negara asal yang bertekanan pajak tinggi. Negara-negara ini mensyaratkan bukti bahwa individu tersebut telah menjadi residen pajak yang sah di negara lain. Oleh karena itu, para ahli sering menyarankan DNE untuk mendapatkan residensi resmi di negara dengan pajak rendah atau yurisdiksi teritorial. Langkah ini merupakan strategi mitigasi risiko hukum, yang mencegah negara asal yang bertekanan tinggi untuk mengklaim residensi pajak melalui ikatan yang tersisa.

Tantangan Kepatuhan Pajak dan Kepastian Hukum

Di yurisdiksi tuan rumah, kompleksitas regulasi dan interpretasi hukum menimbulkan masalah kepastian. Masalah utama sering kali bukan pada regulasi itu sendiri, melainkan pada masalah interpretasi hukum yang berbeda-beda dan penggunaan diskresi yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan sengketa. Ketidakpastian semacam ini merusak kepercayaan wajib pajak terhadap sistem, dan sengketa pajak yang timbul akibat mobilitas DNE yang tinggi menimbulkan biaya kepatuhan yang signifikan.

Mekanisme Visa DN Global dan Dilema DNE Ekstrem

Banyak negara di seluruh dunia telah merespons tren DN dengan menawarkan Visa Digital Nomad untuk menarik pendapatan asing dan memberikan kepastian hukum bagi nomad yang ingin tinggal lebih lama. Negara-negara seperti Indonesia, Portugal, Spanyol, dan Malta kini menyediakan visa khusus ini.

Namun, program visa ini menciptakan dilema bagi DNE ekstrem. Meskipun Visa DN menawarkan legalitas dan ketenangan pikiran, visa ini seringkali mensyaratkan pendaftaran residensi sementara dan, dalam banyak kasus, kewajiban pajak lokal—terkadang setelah periode tertentu. Kondisi ini bertentangan secara langsung dengan tujuan inti Perpetual Traveler untuk menghindari residensi pajak yang stabil di yurisdiksi mana pun. Akibatnya, DNE ekstrem yang memprioritaskan arbitrase fiskal total akan terus bergerak, menghindari skema visa yang ditawarkan, sementara DN konvensional yang mencari stabilitas lebih memilih untuk memanfaatkannya. Upaya negara untuk meningkatkan kepastian hukum (melalui visa) secara ironis memperjelas pemisahan antara DNE yang menolak ikatan formal dan DN yang mencari legalitas jangka panjang.

Infrastruktur Kritis dan Operasi di Lokasi Terpencil

Mobilitas ekstrem DNE sangat bergantung pada kemajuan teknologi yang mampu membebaskan mereka dari hambatan infrastruktur geografis tradisional, memungkinkan mereka bekerja dari lokasi yang sebelumnya tidak terpikirkan.

Ketergantungan Teknologi Komunikasi

DNE, seperti DN konvensional, membutuhkan koneksi internet yang kuat dan aman untuk menjalankan pekerjaan location-independent mereka seperti programming, desain, atau content creation. Mereka harus mahir memanfaatkan berbagai sumber konektivitas, mulai dari Wi-Fi publik, smartphone, hingga mobile hotspots, dan seringkali menggunakan Virtual Private Network (VPN) untuk meminimalkan risiko keamanan siber saat bekerja di jaringan yang kurang terjamin.

Menjembatani Kesenjangan Digital: Peran Teknologi Satelit LEO

Secara tradisional, pengembangan infrastruktur di wilayah terpencil menghadapi kendala besar. Misalnya, di Indonesia, tantangan penyediaan infrastruktur listrik dan internet darat mencakup pembebasan lahan, masalah perizinan, dan sulitnya menjangkau kondisi wilayah terpencil. Tantangan ini mengikat DN pada area perkotaan atau hub pariwisata yang stabil seperti Bali.

Namun, kehadiran layanan internet satelit orbit rendah (Low Earth Orbit, LEO) seperti Starlink telah menjadi game-changer yang mendefinisikan kembali batas-batas DNE. Starlink menawarkan solusi inovatif untuk menjembatani kesenjangan digital, terutama di pulau-pulau terpencil dan terluar yang selama ini sulit dijangkau oleh infrastruktur serat optik atau menara seluler konvensional. Kemampuan Starlink untuk menyediakan konektivitas pita lebar yang andal di mana saja (bahkan digunakan untuk fasilitas kesehatan seperti Puskesmas di area terpencil ) secara fundamental membebaskan DNE dari keterikatan pada infrastruktur kota besar.

Teknologi LEO bukan sekadar peningkatan layanan, melainkan perubahan paradigma dalam geografi mobilitas DNE. Hal ini memungkinkan DNE ekstrem untuk mencapai arbitrase biaya hidup maksimal dengan beroperasi secara efektif dari lokasi yang infrastruktur daratnya diabaikan, memaksimalkan efisiensi finansial sambil mempertahankan produktivitas tinggi. Kemampuan ini adalah prasyarat teknologi esensial yang memungkinkan “ekstremitas” dalam gaya hidup mereka.

Peta Lokasi Populer vs. Ekstrem

Lokasi Digital Nomad dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat ekstremitasnya:

  1. Hub Konvensional (DN): Tempat-tempat seperti Phuket, Ho Chi Minh City, Krabi, dan Jimbaran di Bali sangat populer. Lokasi ini menawarkan kombinasi keamanan tinggi, biaya hidup rendah, kecepatan internet yang memadai, dan banyak aktivitas rekreasi. Destinasi ini cocok untuk nomad yang mencari keseimbangan antara pekerjaan dan pengalaman yang nyaman.
  2. Lokasi Ekstrem (DNE/PT): DNE cenderung memilih lokasi yang lebih “mentah” (raw), seringkali di Amerika Latin atau Asia Tengah. Meskipun Asia Tenggara menawarkan kemudahan perjalanan dan co-working spaces yang unggul, Amerika Latin menarik DNE dengan keindahan alam yang lebih menantang dan, yang terpenting, kebijakan visa yang lebih longgar, seringkali memungkinkan tinggal hingga enam bulan tanpa visa DN resmi. Lokasi ekstrem ini memerlukan keterampilan perjalanan yang lebih maju, seringkali menuntut DNE menguasai bahasa lokal (seperti bahasa Spanyol di Amerika Latin), demi mencapai arbitrase biaya hidup dan regulasi yang maksimal.

Dampak Multidimensional DNE: Ekonomi Lokal, Sosial, dan Psikologis

Meskipun DNE menikmati kebebasan yang tak tertandingi dan menyumbang devisa melalui pengeluaran mata uang asing, kehadiran mereka menghasilkan dampak yang kompleks dan sering kali bernuansa negatif pada komunitas tuan rumah dan kesejahteraan mereka sendiri.

Dampak Ekonomi Lokal dan Fenomena Gentrifikasi

Salah satu dampak sosial-ekonomi yang paling signifikan dari kehadiran DNE/DN di lokasi berbiaya rendah adalah fenomena gentrifikasi. Gentrifikasi, yang didefinisikan sebagai perpindahan penduduk makmur ke area yang sebelumnya dihuni oleh populasi berpendapatan rendah, diyakini sebagai proses yang merusak dan memecah belah.

DNE, yang membawa daya beli asing yang tinggi relatif terhadap pendapatan lokal, secara langsung menyebabkan kenaikan harga properti, sewa, dan layanan dasar. Hal ini memperbesar kesenjangan pendapatan antara penduduk lokal yang sudah ada dan pendatang baru. Dalam konteks Bali, misalnya, fenomena peningkatan jumlah digital nomad telah mengubah sawah menjadi kafe, memicu kekhawatiran tentang overtourism dan gentrifikasi yang tidak terkendali.

Table V.1: Matriks Dampak Sosio-Ekonomi DNE pada Komunitas Tuan Rumah

Dimensi Dampak Aspek Positif (Bagi Lokal/Ekonomi) Aspek Negatif (Bagi Lokal/Sosial)
Ekonomi Makro Devisa, peningkatan permintaan pariwisata Peningkatan kesenjangan pendapatan
Infrastruktur Peningkatan permintaan konektivitas yang memicu inovasi (Starlink) Akses listrik dan infrastruktur yang tidak merata
Sosial Budaya Diversifikasi budaya, modernisasi layanan Gentrifikasi, konflik sosial, hilangnya keragaman lokal
Residensi Pengembangan skema visa DN baru Ketidakpastian hukum dan interpretasi pajak yang ambigu

Dampak sosial gentrifikasi memicu konflik sosial antara penduduk lokal dan gentrifier, serta hilangnya keragaman sosial, bahkan berpotensi menggantikan seluruh populasi lokal dengan penduduk makmur. Fenomena ini menekankan bahwa perencanaan spasial dan kebijakan publik memerlukan pendekatan sosial untuk menghasilkan produk perencanaan yang lebih kontekstual, memastikan inklusivitas dan keberlanjutan bagi semua pihak. Kebebasan finansial DNE dipertahankan dengan mengorbankan keterjangkauan hidup komunitas lokal, menciptakan ketidaksetaraan ganda.

Risiko Kesehatan Mental dan Fisik DNE

Gaya hidup nomaden ekstrem juga menimbulkan biaya signifikan bagi kesehatan holistik individu yang menjalankannya. Gaya hidup yang berpindah-pindah dan tidak menentu dapat mengganggu pola tidur, kebiasaan makan, dan aktivitas fisik. Oleh karena itu, menerapkan pola hidup sehat, termasuk olahraga teratur, konsumsi makanan bergizi, dan waktu istirahat yang cukup, sangat penting untuk mendukung performa kerja jangka panjang.

Lebih jauh, isolasi sosial merupakan risiko serius. DNE yang ekstrem, terutama yang mempraktikkan status PT dan terus bergerak, kesulitan membangun jaringan sosial yang mendalam dan berkelanjutan. Dampak isolasi sosial ini dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan emosional individu. Selain tekanan mobilitas, DNE juga rentan terhadap tantangan kesehatan mental khas era digital, seperti information overload (paparan informasi berlebihan), yang dapat memicu stres, gangguan konsentrasi, dan sulit tidur. Meditasi atau aktivitas relaksasi sering direkomendasikan untuk meredakan stres dan menjaga fokus dalam lingkungan kerja yang serba tidak menentu.

Pada akhirnya, untuk mencapai kebebasan yurisdiksi dan arbitrase finansial yang ekstrem, DNE harus mengorbankan stabilitas sosial dan kesehatan mental. Ini menunjukkan adanya trade-off yang signifikan antara kebebasan yang dikejar dan kesejahteraan holistik yang berkelanjutan.

Prospek Masa Depan dan Implikasi Kebijakan

Fenomena DNE akan terus tumbuh dan berevolusi, didorong oleh kemajuan teknologi dan perlunya strategi manajemen risiko finansial yang adaptif.

Prediksi Evolusi Jangka Panjang

  1. Pergeseran dari PT ke Residensi Berkualitas: DNE diperkirakan akan bergerak dari mobilitas ekstrem yang berisiko (status Perpetual Traveler) menuju strategi mitigasi risiko yang lebih stabil. Hal ini berarti mengamankan residensi resmi di negara dengan pajak rendah (misalnya, di yurisdiksi Eropa Timur atau Amerika Latin yang menawarkan skema pajak teritorial atau rendah), untuk menghindari pengenaan pajak paksa oleh negara asal mereka yang bertekanan tinggi. Mobilitas ekstrem akan menjadi strategi jangka pendek untuk pengumpulan modal, sementara residensi stabil akan menjadi solusi jangka panjang.
  2. Ketergantungan Teknologi LEO: Peran Starlink dan teknologi satelit LEO akan semakin krusial. Teknologi ini akan terus mendefinisikan batas-batas geografis yang dapat dijangkau oleh DNE, memungkinkan mereka beroperasi dari wilayah terpencil mana pun di dunia, mempertahankan kemampuan untuk melakukan arbitrase biaya hidup secara maksimal.
  3. Kualitas vs. Kuantitas: DNE yang sukses adalah mereka yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun membangun basis klien global yang mapan, yang memungkinkan mereka untuk menciptakan dan menikmati kebebasan penuh yang mereka cari. Tren ini menunjukkan bahwa gaya hidup ekstrem ini lebih mudah dicapai oleh wirausahawan dan profesional senior dengan pendapatan stabil, bukan oleh pendatang baru.

Fenomena DNE, yang membawa peluang ekonomi sekaligus risiko sosial, menuntut respons kebijakan yang terukur dan cermat dari negara tuan rumah.

  1. Regulasi Pajak dan Residensial yang Jelas: Negara harus mengurangi ambiguitas dalam interpretasi hukum pajak dan residensi. Ini dapat dicapai dengan mengembangkan peraturan yang eksplisit mengenai kapan seorang DN, yang mungkin tinggal kurang dari 183 hari, dianggap memiliki “ikatan substansial” yang memicu kewajiban pajak. Kepastian hukum yang lebih baik akan menarik DN konvensional yang mencari legalitas, sekaligus meminimalkan sengketa pajak yang menimbulkan biaya kepatuhan tinggi.
  2. Mitigasi Dampak Gentrifikasi: Untuk melindungi komunitas lokal, pemerintah harus mengembangkan kebijakan perencanaan spasial yang proaktif yang memasukkan social approach. Ini termasuk regulasi pasar sewa, penetapan zona perumahan terjangkau, dan insentif untuk pengembangan yang menjaga keadilan sosial dan mencegah konflik sosial akibat kesenjangan pendapatan yang melebar.
  3. Investasi Infrastruktur yang Inklusif: Meskipun Starlink menawarkan koneksi ad-hoc, pemerintah harus terus berinvestasi dalam infrastruktur darat dan listrik yang berkelanjutan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lokal secara merata, bukan hanya di area yang menarik bagi DNE.
  4. Skema Visa yang Adil: Skema visa DN yang ditawarkan harus menyeimbangkan legalitas tinggal dengan kewajiban fiskal yang adil. Visa tersebut dapat dikaitkan dengan kontribusi lokal tertentu, memastikan bahwa DN memberikan kembali kepada komunitas yang menanggung beban peningkatan biaya hidup yang diakibatkan oleh kehadiran mereka.

Dengan memahami DNE sebagai pencarian strategis untuk arbitrase yurisdiksi—bukan sekadar perjalanan—pembuat kebijakan dapat mengelola tantangan hukum, finansial, dan sosial yang ditimbulkan oleh kelompok pekerja global yang paling termobilisasi ini.