Sistem Kekeluargaan di Korea Selatan : Transisi dari Konfusianisme ke Fragmentasi Demografi
Institusi keluarga, yang dikenal sebagai kajok di Korea, secara historis merupakan inti fundamental yang tidak hanya berfungsi sebagai unit sosial biologis tetapi juga sebagai fondasi moral, etika, dan bahkan tata kelola politik masyarakat Korea. Strukturnya secara mendalam dibentuk oleh prinsip-prinsip Neo-Konfusianisme. Gelombang modernisasi yang cepat, terutama setelah Perang Korea dan melalui proses industrialisasi serta demokratisasi, telah mendorong krisis struktural yang memaksa redefinisi mendalam terhadap peran, hak, dan kewajiban dalam unit keluarga ini.
Pengaruh Neo-Konfusianisme yang ekstrem, khususnya yang diterapkan pada era Dinasti Joseon, berperan sebagai alat politik yang diimpor untuk sentralisasi dan penguatan negara. Dengan demikian, struktur keluarga di masa lalu tidak dapat dipisahkan dari instrumen kekuasaan, menanamkan hierarki kaku yang bertahan hingga era kontemporer. Analisis mendalam terhadap sistem kekeluargaan Korea harus memahami tarik ulur antara warisan ideologi yang kaku ini dan tuntutan kesetaraan serta individualisme masyarakat modern.
Pilar Ideologi Tradisional: Pengaruh Neo-Konfusianisme
Neo-Konfusianisme telah lama menjadi ideologi mayoritas, bahkan berkembang menjadi semacam agama virtual di Korea Selatan, yang secara fundamental membentuk kerangka sosial, hukum, dan tata krama interaksi. Warisan ini menciptakan sistem yang mengutamakan ketertiban vertikal di atas kesetaraan horizontal.
Hierarki Mutlak dan Prinsip Hubungan
Ideologi Neo-Konfusianisme memberikan landasan yang kuat bagi struktur patriarki tradisional Korea Selatan, yang menekankan hierarki yang ketat dan pentingnya kesucian silsilah keluarga. Dalam kerangka ini, peran gender ditetapkan secara kaku, sering kali dikenal dengan istilah Namjon Yubi (laki-laki dihormati, perempuan direndahkan). Laki-laki memegang otoritas utama dalam rumah tangga dan masyarakat, sementara perempuan secara tegas diharapkan untuk memenuhi peran domestik. Keterbatasan historis terhadap akses pendidikan bagi perempuan adalah warisan langsung dari penetapan peran tradisional ini.
Ideologi ini juga memiliki resonansi politik yang berkelanjutan. Perkembangan Neo-Konfusianisme memengaruhi sistem hukum dan politik modern, menempatkan penekanan yang signifikan pada ritus leluhur dan pelestarian silsilah keluarga sebagai bagian dari identitas nasional. Selain itu, faktor geopolitik yang berkelanjutan, terutama ancaman dari Korea Utara, mewajibkan semua laki-laki menjalani wajib militer. Kondisi ini memberikan tekanan tambahan yang memperkuat norma-norma maskulinitas tradisional dan peran laki-laki sebagai pelindung negara, yang secara tidak langsung memperkokoh dinamika gender yang sudah patriarkal.Â
Struktur Kekerabatan Formal: Sistem Chonsu
Sistem kekerabatan tradisional di Korea tidak hanya bersifat deskriptif tetapi juga sangat terstruktur secara kuantitatif melalui konsep Chonsu (촌수), yang secara harfiah berarti “derajat kekerabatan” atau jarak pemisahan antar kerabat. Sistem ini berfungsi sebagai mekanisme sosial yang melegalkan jarak, kedekatan, dan kewajiban moral di antara anggota keluarga besar. Konsep Chonsu telah tercatat sejak setidaknya Dinasti Goryeo (918–1392) dan kemudian diformalkan dalam kode nasional Dinasti Joseon, Gyeongguk Daejeon.
Dalam sistem ini, jarak diukur berdasarkan tingkat pemisahan vertikal dan horizontal. Pasangan dianggap 0 chon, karena mereka terikat tetapi bukan hubungan darah. Hubungan orang tua-anak adalah 1 chon (il chon), menjadi hubungan fundamental yang menopang Ketaatan Filial. Hubungan saudara kandung adalah 2 chon (yi chon). Sebaliknya, paman atau bibi dihitung 3 chon (sam chon), dan sepupu dihitung 4 chon (sah chon). Penentuan derajat kekerabatan ini memungkinkan masyarakat memetakan hierarki dan kewajiban secara matematis, sebuah kerangka kerja yang sangat efisien untuk tata kelola keluarga besar patrilineal. Jarak chon yang lebih besar merefleksikan semakin longgarnya ikatan dan tanggung jawab yang dilembagakan secara resmi.
Table 1: Sistem Chonsu (Derajat Kekerabatan) Korea
| Hubungan Relatif ke Ego (Saya) | Chonsu (Derajat Kekerabatan) | Istilah Korea | Fungsi Konfusianis yang Dilembagakan |
| Pasangan | 0 Chon (Young Chon) | Pasangan/Suami/Istri | Titik nol hubungan sosial (non-darah) |
| Orang Tua / Anak | 1 Chon (Il Chon) | Abeoji/Eomeoni; Adeul/Ttal | Hubungan fundamental; landasan Ketaatan Filial |
| Saudara Kandung | 2 Chon (Yi Chon) | Hyung/Oppa, Unnie/Noona | Hubungan horizontal yang erat (darah) |
| Paman/Bibi (Paternal) | 3 Chon (Sam Chon) | Samchon (Paman Paternal) | Perpanjangan otoritas patrilineal |
| Sepupu | 4 Chon (Sah Chon) | Sachon | Jarak kekerabatan yang mulai merenggang |
De-Patriarkalisasi Legal: Penghapusan Sistem Hojuje
Perubahan paling radikal terhadap sistem keluarga Konfusianis terjadi di ranah hukum dengan reformasi Undang-Undang Sipil Korea Selatan.
Definisi dan Penghapusan Hojuje
Sistem pendaftaran keluarga lama yang disebut Hojuje diperkenalkan pada tahun 1898, awalnya dimodelkan dari hukum sipil Jepang (sistem yang bahkan sudah dihapus Jepang pada tahun 1948 karena masalah kesetaraan gender). Hojuje adalah sistem patriarkal yang mengharuskan seorang laki-laki, yang disebut hoju, menjadi kepala rumah tangga, dan semua anggota keluarga, termasuk istri dan anak, didaftarkan di bawahnya. Sistem ini secara efektif membatasi hak-hak legal perempuan dalam hubungan keluarga.
Gerakan perempuan dan kelompok sipil progresif menentang undang-undang ini selama bertahun-tahun. Pada Maret 2005, Majelis Nasional Korea Selatan mengesahkan revisi Hukum Sipil yang mencakup pencabutan Hojuje, dan sistem baru mulai berlaku pada tahun 2008. Mahkamah Konstitusi mendukung langkah ini, memutuskan bahwa Hojuje tidak konstitusional karena melanggar prinsip-prinsip egaliter yang termaktub dalam Konstitusi negara tersebut.
Dampak Reformasi Hukum
Penghapusan Hojuje menjadi tonggak penting menuju kesetaraan gender dan hak asasi individu di Korea Selatan. Dampak utama dari reformasi ini adalah pelonggaran keterikatan kaku pada ikatan darah patrilineal. Dalam Hukum Sipil yang direvisi, anak-anak kini diberikan opsi untuk mengadopsi nama keluarga ibu, atau nama keluarga ayah tiri jika ibu menikah kembali. Langkah ini menunjukkan penolakan legal terhadap kepatuhan wajib pada garis keturunan ayah.
Meskipun progresif, penghapusan ini memicu tentangan dari kaum konservatif, terutama yang berideologi Konfusianisme. Mereka berpendapat bahwa sistem registrasi baru ini akan “melonggarkan ikatan keluarga tradisional” dan bahkan mempercepat “berakhirnya unit keluarga”. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Hojuje mencerminkan bahwa pandangan modern yang menjunjung tinggi martabat individu dan kesetaraan telah melampaui nilai-nilai Konfusianis lama dalam kerangka hukum formal. Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma hukum dari fokus pada kolektivitas silsilah menjadi fokus pada hak dan martabat individu.Â
Manifestasi Hierarki dalam Interaksi Sosial Sehari-hari
Meskipun fondasi hukum patriarki telah dirobohkan melalui penghapusan Hojuje, struktur hierarki sosial yang diwariskan dari Konfusianisme tetap berlanjut dan direplikasi melalui mekanisme bahasa dan interaksi sehari-hari.
Analisis Honorifik Kekerabatan (Oppa, Hyung, Unnie, Noona)
Sistem kekerabatan formal Korea melampaui keluarga inti dan digunakan secara ekstensif dalam lingkungan sosial, profesional, dan akademik untuk menyapa individu yang lebih tua. Penggunaan honorifik ini adalah pengganti yang sopan untuk memanggil seseorang yang lebih tua dengan nama atau kata “kamu,” praktik yang dianggap tidak pantas.
Pilihan istilah sapaan ini didasarkan pada dua dimensi: gender pembicara dan gender orang yang disapa, menegaskan usia sebagai penentu utama status sosial:
- Seorang perempuan akan memanggil laki-laki yang lebih tua dengan sebutan Oppa.
- Seorang laki-laki akan memanggil laki-laki yang lebih tua dengan sebutan Hyung.
- Seorang perempuan akan memanggil perempuan yang lebih tua dengan sebutan Unnie.
- Seorang laki-laki akan memanggil perempuan yang lebih tua dengan sebutan Noona.
Kebutuhan yang kuat untuk mengkategorikan dan menghormati usia, bahkan dalam hubungan non-darah atau pertemanan dekat, menegaskan bahwa hierarki usia berfungsi sebagai kapital sosial yang mengatur hampir semua interaksi sosial. Perubahan hukum formal yang menolak patriarki berbasis garis darah gagal menghapus kebutuhan budaya yang kuat akan struktur vertikal. Masyarakat secara naluriah mereplikasi hierarki ini melalui bahasa, memperlakukan orang yang lebih tua seolah-olah mereka adalah “kakak” atau kerabat yang dihormati. Bahkan di lingkungan profesional dan akademik, sistem ini diperpanjang melalui istilah seperti Sunbaenim (senior/mentor) dan Hubaenim (junior), menunjukkan bahwa konsep hierarki keluarga telah bertransformasi menjadi hierarki profesional atau intelektual.Â
Krisis Struktur Keluarga Kontemporer
Struktur keluarga Korea modern menghadapi tekanan eksistensial yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang berakar dari biaya hidup, persaingan sosial, dan konflik ideologis.
Tantangan Demografi dan Angka Kelahiran Rendah
Korea Selatan terus berjuang melawan krisis demografi yang dipercepat oleh tingkat kesuburan total (TFR) yang kritis. Pada tahun 2024, TFR berada di angka 0,75, yang masih termasuk yang terendah di dunia. Meskipun demikian, data dari Statistik Korea pada tahun 2024 menunjukkan adanya kenaikan angka kelahiran untuk pertama kalinya dalam sembilan tahun, naik dari 0,72 pada tahun 2023.
Selain itu, jumlah pernikahan juga mengalami lonjakan signifikan sebesar 14,8% pada tahun 2024, kenaikan terbesar sejak tahun 1990. Peningkatan ini diyakini disebabkan oleh pasangan yang menunda pernikahan selama pandemi COVID-19 dan masuknya populasi yang lahir pada awal 1990-an ke usia menikah. Namun, perlu dipahami bahwa di negara-negara Asia, terdapat korelasi kuat antara pernikahan dan kelahiran, di mana pernikahan sering dianggap sebagai prasyarat untuk memiliki anak. Pemerintah telah merespons krisis ini dengan berbagai inisiatif, seperti kompensasi cuti orang tua yang lebih besar dan potongan suku bunga KPR , meskipun efektivitasnya masih dipertanyakan karena akar masalahnya melampaui insentif finansial.
Keluarga Berpusat pada Anak: Tekanan Akademik
Keluarga Korea modern telah bertransformasi menjadi unit yang berfokus secara intensif pada penciptaan modal manusia bagi anak-anak. Hal ini disebabkan oleh obsesi Korea Selatan terhadap pendidikan tinggi, yang dianggap sebagai satu-satunya penentu status dan mobilitas sosial. Drama dan film populer, seperti Anna dan Parasite, sering menggambarkan stres akademik yang ekstrem yang menghantui para siswa.
Dalam konteks ini, keluarga memainkan peran sentral dan sering kali menanggung beban keuangan dan emosional yang luar biasa untuk memastikan anak berhasil. Hal ini diwujudkan melalui penyediaan les tambahan (Hagwon) dan fasilitas belajar yang memadai. Pengabdian orang tua yang ekstrem ini dapat dipandang sebagai bentuk baru dari “Ketaatan Filial Masa Depan.” Alih-alih merawat orang tua (kewajiban filial tradisional), keluarga modern melakukan investasi horizontal yang masif pada anak untuk menjamin bahwa anak tersebut akan stabil secara finansial di masa depan yang sangat kompetitif. Paradoksnya, beban yang diwariskan dari sistem Konfusianisme ini justru menjadi salah satu pendorong utama bagi generasi muda untuk menolak memiliki anak.
Pergeseran Perawatan Lansia
Perubahan struktural lain yang signifikan adalah erosi tanggung jawab keluarga terhadap perawatan lansia. Korea Selatan adalah masyarakat yang menua dengan sangat cepat; 15,9% penduduknya berusia 65 tahun ke atas, dan angka ini diproyeksikan akan melonjak hingga 37% pada tahun 2050.
Tradisi Konfusianisme secara ketat mendikte bahwa perawatan anggota keluarga lansia adalah kewajiban moral-keluarga. Namun, modernisasi, perubahan struktur keluarga, dan meningkatnya individualisme telah mengikis nilai-nilai filial ini. Akibatnya, terjadi transfer beban filial dari unit keluarga ke Negara. Pemerintah merespons dengan menginstitusionalisasikan perawatan lansia, seperti melalui peningkatan jumlah Long-Term Care Hospitals (LTCHs). Saat ini, Korea memiliki 60 tempat tidur perawatan jangka panjang per 1.000 lansia, jauh lebih tinggi dari rata-rata OECD. Hal ini menunjukkan adanya komersialisasi peran yang dulunya merupakan kewajiban moral-keluarga, di mana otoritas Negara harus campur tangan untuk menyediakan jaring pengaman bagi populasi yang menua.
Diversifikasi Model Keluarga dan Konflik Gender Modern
Keluarga inti tradisional (ayah, ibu, anak) saat ini hanya mewakili 51,2% dari total rumah tangga di Korea Selatan. Masyarakat sedang menyaksikan diversifikasi model keluarga yang dramatis, didorong oleh perubahan nilai dan konflik gender yang mendalam.
Fenomena Honjok (Rumah Tangga Satu Orang)
Fenomena Honjok, atau rumah tangga yang dihuni oleh satu orang, telah menjadi tren demografi yang dominan. Proporsi rumah tangga satu orang mencapai 33,4% pada tahun 2023, meningkat dua kali lipat dibandingkan satu dekade lalu. Kenaikan ini berarti hampir separuh penduduk Korea Selatan memilih hidup sendiri.
Motivasi utama di balik peningkatan ini adalah faktor ekonomi dan perubahan nilai, di mana lebih dari 47% responden menyatakan mereka memilih melajang, menolak pernikahan demi “hidup yang lebih bebas” dan pengejaran karier tanpa terikat oleh ekspektasi sosial. Namun, individualisme ini juga membawa konsekuensi sosial yang signifikan. Analisis menunjukkan bahwa kebebasan yang diperoleh oleh individu ini datang dengan biaya sosial yang tinggi. Rumah tangga tunggal melaporkan kesulitan dalam mencari makanan berkualitas (42,6%), kekhawatiran terbesar tentang penyakit dan keadaan darurat (37,6%), serta masalah kesepian (23,3%) dan kecemasan. Transisi dari “kolektivitas yang menindas” Konfusianis ke “individualisme yang terisolasi” telah menghilangkan jaring pengaman tradisional, meninggalkan individu rentan terhadap risiko sosial dan kesehatan mental yang sebelumnya ditangani oleh unit keluarga besar.
Table 2: Tren Demografi Utama Korea Selatan (2023-2024)
| Indikator Demografi | Data Kunci (2023/2024) | Implikasi Sosial terhadap Keluarga | Sumber Data Primer |
| Tingkat Kesuburan Total (TFR) | 0.75 (2024) | Ketidakmampuan/penolakan memiliki anak, mempercepat penuaan populasi. | Statistik Korea |
| Rumah Tangga Satu Orang (Honjok) | 33.4% dari total RT (2023) | Pergeseran struktural dari keluarga inti, otonomi individu yang tinggi. | Kemen PPPA Korea Selatan |
| Populasi Lansia (>65 tahun) | 15.9% (2024), diproyeksikan 37% (2050) | Meningkatnya kebutuhan akan institusionalisasi perawatan jangka panjang (LTCHs). | OECD/Statistik Korea |
Gerakan Penolakan Feminisme (4B Movement)
Penolakan terhadap pernikahan dan peran domestik tradisional semakin dilembagakan dalam gerakan feminis modern. Banyak perempuan Korea Selatan kini secara eksplisit mengikuti gerakan 4B (empat non/tolak: berkencan, menikah, berhubungan seksual, dan punya anak). Gerakan ini adalah protes langsung terhadap misogini sistemik dan ekspektasi gender kaku yang merupakan warisan Neo-Konfusianisme. Perempuan menolak peran ganda (karier dan domestik) yang membatasi kemandirian pribadi dan profesional mereka.
Tingkat TFR yang sangat rendah (0.75) di masyarakat Korea dapat dianalisis bukan hanya sebagai kegagalan kebijakan ekonomi, tetapi sebagai indeks kegagalan budaya untuk mencapai kesetaraan gender. Perempuan secara kolektif menggunakan kontrol reproduksi dan pernikahan sebagai alat tawar-menawar yang kuat melawan ketidakadilan sistemik. Meskipun pemerintah menawarkan insentif finansial , kebijakan tersebut hanya mengatasi gejala. Selama ekspektasi gender kaku Neo-Konfusianis yang memaksa perempuan berkorban ganda (karier dan rumah tangga) tidak diatasi secara struktural, tingkat TFR kemungkinan akan tetap tertekan. Feminisme digital memainkan peran krusial dalam menyatukan perempuan dari berbagai latar belakang untuk mengkritisi status mereka dalam masyarakat patriarki dan memperkuat gerakan penolakan ini.Â
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Sistem kekeluargaan Korea Selatan saat ini berada dalam kondisi disrupsi struktural. Reformasi hukum (penghapusan Hojuje) telah memenangkan kesetaraan legal, tetapi ideologi Konfusianisme tetap memegang kendali atas norma-norma sosial dan interaksi sehari-hari, yang terbukti dalam persistensi sapaan honorifik (hierarki usia).
Fungsi keluarga telah bertransformasi secara radikal. Unit keluarga telah bergeser dari menjadi pilar dukungan filial yang komprehensif, termasuk perawatan lansia, menjadi sebuah “mesin investasi” yang fokus pada produksi modal manusia (pendidikan) bagi generasi berikutnya. Erosi tanggung jawab filial ini telah memindahkan beban sosial ke institusi Negara dan pasar. Di sisi lain, peningkatan radikal dalam rumah tangga perorangan (Honjok) dan gerakan penolakan pernikahan (4B) menunjukkan bahwa individualisme, meskipun dicari sebagai kebebasan, meninggalkan masyarakat rentan terhadap masalah isolasi sosial dan kesehatan mental. Krisis demografi, yang ditandai dengan TFR terendah di dunia, pada dasarnya adalah manifestasi dari konflik gender yang belum terselesaikan.
Implikasi Kebijakan (Sosial dan Ekonomi)
Berdasarkan analisis transisi historis dan krisis kontemporer, diperlukan intervensi kebijakan yang melampaui dimensi ekonomi:
- Reformasi Norma Gender Struktural: Kebijakan pemerintah tidak boleh terbatas pada insentif moneter untuk melahirkan. Pemerintah perlu secara agresif menantang norma-norma Neo-Konfusianis dalam ranah publik dan institusi kerja. Hal ini memerlukan reformasi cuti ayah yang lebih tegas dan berjangka waktu panjang untuk secara nyata mendistribusikan beban domestik dan meruntuhkan ekspektasi peran ganda pada perempuan.
- Pembangunan Jaring Pengaman Sosial untuk Individu Honjok: Mengingat bahwa rumah tangga perorangan akan terus mendominasi struktur demografi, pemerintah harus membangun infrastruktur sosial yang secara khusus melayani individu lajang. Ini termasuk penyediaan layanan kesehatan darurat yang mudah diakses dan program komunitas yang disubsidi untuk mengatasi masalah kesehatan mental, kecemasan, dan isolasi sosial yang tinggi di antara populasi Honjok.
- Reduksi Hiper-Kompetisi Akademik: Perlu dilakukan reformasi sistem pendidikan untuk mengurangi tekanan obsesif terhadap gelar dan ujian masuk yang membebankan stres tidak berkelanjutan pada keluarga dan anak-anak. Menciptakan lebih banyak jalur mobilitas sosial yang tidak bergantung pada pendidikan elit dapat mengurangi intensitas investasi keluarga, sehingga mengurangi alasan utama mengapa generasi muda menolak memasuki sistem pernikahan tradisional.


