Loading Now

Hadaka Matsuri: Ritual Purifikasi, Kohesi Sosial, dan Adaptasi Kontemporer di Jepang

Dari Pesta Telanjang hingga Festival Purifikasi

Hadaka Matsuri, secara harfiah diterjemahkan sebagai ‘Festival Telanjang’, merupakan salah satu tradisi upacara kolektif paling mencolok di Jepang. Meskipun namanya menyiratkan ketelanjangan total, peserta—yang biasanya hanya pria—umumnya mengenakan pakaian minimal, seperti fundoshi (cawat tradisional) atau mawashi (cawat yang dikenakan oleh pegulat sumo) dan tabi (kaus kaki tradisional). Dalam konteks festival ini, istilah hadaka (telanjang) mengacu pada keadaan minimalis dan kerentanan, yang merupakan prasyarat spiritual untuk pemurnian.

Tujuan utama dari Hadaka Matsuri adalah purifikasi kolektif (omisogi) dan transfer nasib buruk. Festival ini berfungsi untuk mengusir kekotoran spiritual (kegare) dan penyakit yang terakumulasi selama setahun, serta memohon keberuntungan (fuku) dan kesehatan bagi komunitas untuk tahun yang akan datang. Festival ini secara tradisional diselenggarakan pada musim dingin (umumnya sekitar bulan Februari), memanfaatkan suhu dingin yang ekstrem

Asal-Usul Historis dan Tujuan Utama: Adaptasi Lingkungan dan Penyakit

Sejarah Hadaka Matsuri diyakini bermula dari abad kuno. Beberapa varian, seperti Konomiya Hadaka Matsuri di Inazawa, Aichi, dilaporkan telah berlangsung selama sekitar 1.250 tahun. Secara umum, tradisi ini dipercaya berasal dari abad ke-8 Masehi. Pada masa awal, festival ini diadakan di sumber air panas sebagai metode kolektif untuk mandi dan membersihkan diri dari nasib buruk dan penyakit, suatu ritual yang sangat penting terutama di masa wabah penyakit.

Evolusi ritual terlihat jelas dalam studi kasus Saidai-ji Eyo Hadaka Matsuri di Okayama. Festival yang akarnya dapat dilacak kembali hingga tahun 1510 ini awalnya melibatkan jamaah yang berebut jimat kertas bernama Go-o, yang diyakini membawa nasib baik setelah selesainya pelatihan asketisme pendeta. Karena jimat kertas mudah rusak dalam kerumunan yang ramai, jimat tersebut kemudian diganti dengan batang kayu suci yang lebih tahan lama, yang dikenal sebagai shingi. Batang kayu ini dianggap sebagai “tongkat para Dewa” dan menjadi hadiah utama dalam kompetisi fisik yang intens.

Landasan Teori Antropologi: Analisis Hare, Ke, dan Kegare

Untuk memahami fungsi Hadaka Matsuri, perlu dilihat melalui lensa antropologi Jepang, khususnya teori yang membedakan antara tiga konsep inti: Hare (dunia suci atau ritual), Ke (dunia normal atau sehari-hari), dan Kegare (kekotoran atau kenajisan). Festival ini bertindak sebagai mekanisme transisi komunal yang dramatis dari rutinitas Ke ke ruang Hare yang sakral. Di dalam ruang sakral ini, Kegare yang telah terkumpul di dalam masyarakat selama siklus tahunan dapat dibersihkan secara kolektif.

Pengalaman fisik yang ekstrem—berdesakan dalam pakaian minimalis di bawah suhu musim dingin sambil disiram air dingin—adalah elemen yang disengaja. Penderitaan fisik yang dialami dalam proses ini dianggap sebagai bentuk pengorbanan yang memurnikan. Kekacauan massal dalam perebutan objek suci (seperti shingi) atau kontak fisik dengan Shin-otoko adalah cara efektif untuk memproyeksikan dan memindahkan Kegare yang terdistribusi secara kolektif. Dalam keadaan kerentanan yang sama, batas-batas status sosial menjadi kabur, menggarisbawahi kohesi sosial. Proses katarsis kolektif melalui penderitaan bersama ini memastikan bahwa komunitas memulai tahun baru dengan kondisi spiritual yang bersih (Hare).

Saidai-ji Eyo Matsuri (Okayama): Paradigma Hadaka Matsuri

Saidai-ji Eyo Hadaka Matsuri, yang diselenggarakan di Kuil Saidai-ji di Okayama, adalah manifestasi festival Hadaka Matsuri yang paling dikenal secara global dan sering dijadikan sebagai model referensi. Festival ini menarik hingga 10.000 peserta pria semi-telanjang setiap tahunnya.

Tahapan Pra-Klimaks: Purifikasi Fisik dan Spiritual (Omisogi)

Festival ini berlangsung setiap tahun pada hari Sabtu ketiga bulan Februari. Persiapan ritual dimulai dengan para peserta yang disebut hadaka (walaupun mereka mengenakan mawashi atau fundoshi dan tabi putih) berkumpul. Mereka harus menyiapkan perlengkapan yang dijual di lokasi dan membayar biaya ganti pakaian.

Tahap penting dalam persiapan ini adalah Omisogi, ritual purifikasi yang dilakukan di area yang disebut Koritoriba. Di sini, para peserta mandi dengan air dingin, suatu praktik yang bertujuan membersihkan nasib buruk masa lalu dan kekotoran spiritual, mempersiapkan mereka untuk memasuki ruang suci kuil. Setelah purifikasi, peserta berbaris dan berangkulan, berlari menuju kuil utama (hondou) sambil bersorak “Wasshoi! Wasshoi!”. Di dalam kuil, mereka memberikan penghormatan kepada Senjyu Kannon (Kwan Im seribu tangan) dan Goousho Daigengen, menunjukkan penggabungan elemen Buddha dan Shinto dalam ritual.

Klimaks Kompetisi: Perebutan Shingi dan Kotak Masu

Puncak acara Hadaka Matsuri di Saidai-ji Eyo terjadi sekitar pukul 10 malam. Waktu dimulainya ritual ini telah disesuaikan dari tengah malam menjadi 10 malam di era kontemporer untuk memfasilitasi akses transportasi publik bagi peserta dan penonton. Dari jendela kuil utama, seorang pendeta melemparkan dua batang kayu suci, yang disebut shingi, bersama dengan ratusan jimat keberuntungan lainnya, ke dalam kerumunan 10.000 pria.

Intensitas perebutan ditingkatkan dengan mematikan lampu kuil sesaat sebelum shingi dilemparkan, memaksa para pria berjuang dalam kegelapan yang kacau. Tujuannya adalah menjadi orang pertama yang merebut salah satu shingi dan berhasil menancapkannya secara tegak lurus ke dalam kotak kayu yang disebut masu, yang diisi dengan beras.

Simbolisme Kemenangan: Fukuotoko dan Organisasi Tim

Pria yang sukses menancapkan shingi di kotak masu diproklamasikan sebagai Fukuotoko (Pria Beruntung) selama satu tahun penuh, yang menjanjikan keberuntungan dan kesehatan luar biasa.

Menariknya, meskipun ini adalah ritual yang berakar pada tradisi spiritual, pelaksanaan perebutan shingi di era modern sering kali sangat terorganisir. Banyak peserta berpartisipasi dalam tim yang terstruktur, yang mungkin terdiri dari rekan kerja perusahaan, tetangga, atau anggota klub olahraga, seperti klub Judo. Tim-tim ini menyusun strategi sebelum festival, sering kali menggunakan tanda tubuh, kode warna (seperti pita berwarna pada tangan), atau bahkan taktik pengalih perhatian (seperti berpura-pura terluka atau membuat umpan) untuk membantu rekan mereka memenangkan shingi.

Dinamika ini mencerminkan pergeseran yang halus namun signifikan dalam tujuan ritual. Jika pada awalnya perebutan jimat adalah murni untuk nasib baik individu , praktik kontemporer menunjukkan bahwa keberuntungan yang dicari telah meluas melampaui ranah pribadi ke tingkat kolektif dan ekonomi. Ketika perusahaan menginvestasikan upaya dan sumber daya untuk memenangkan shingi, ini menunjukkan bahwa keberuntungan spiritual diyakini dapat diterjemahkan menjadi kemakmuran bisnis dan keberhasilan korporat. Kompetisi yang terorganisir ini menyoroti bagaimana warisan spiritual diadaptasi menjadi aset yang bernilai ekonomi dalam masyarakat Jepang modern.

Analisis Simbolisme, Keagamaan, dan Fungsi Sosial

Dualisme Keagamaan dan Sinkretisme Lokal

Hadaka Matsuri adalah contoh nyata sinkretisme agama di Jepang. Kuil Saidai-ji, lokasi festival Saidai-ji Eyo, didirikan pada tahun 765 dan merupakan kuil Buddha dari sekte Shingon Risshu. Namun, ritual yang dilakukan di dalamnya, termasuk penghormatan kepada Goousho Daigengen (sebagai penghormatan kepada Go-ou sama), menunjukkan integrasi kuat kepercayaan Shinto atau kepercayaan lokal dalam praktik festival.

Keberhasilan festival ini dalam bertahan selama berabad-abad sebagian besar berasal dari kemampuannya untuk menyerap dan menyelaraskan dua tradisi keagamaan utama. Seiring dengan urbanisasi, Hadaka Matsuri berevolusi dari matsuri yang khidmat (ritual yang fokus pada pelayanan arwah leluhur dan hubungan manusia-dewa) menjadi sairei—sebuah perayaan keagamaan yang diperluas, disertai kemeriahan besar, dan disaksikan oleh banyak penonton. Perluasan fungsi dan kemeriahan ini memastikan festival tetap relevan dan menarik dalam konteks perkotaan, bergeser fokus dari ritual pertanian murni menjadi pengusiran bencana dan wabah penyakit di area perkotaan.

Simbolisme Shingi dan Masu: Kesuburan dan Pertumbuhan

Simbolisme benda-benda ritual Hadaka Matsuri sangat kaya. Shingi adalah kayu suci yang menjanjikan kesehatan dan keberuntungan. Dalam konteks ritual yang melibatkan kerumunan besar pria yang berjuang untuk sepasang benda yang kemudian ditancapkan, ada konotasi kesuburan dan vitalitas.

Aspek simbolis ini diperkuat oleh penggunaan masu, kotak kayu persegi tempat shingi ditancapkan. Masu adalah wadah suci yang digunakan untuk persembahan dan secara etimologis memiliki arti ‘pertumbuhan’ (growth) atau ‘kemungkinan’. Karenanya, masu secara luas melambangkan kemakmuran dan kebahagiaan yang melimpah. Tindakan menancapkan shingi ke dalam masu yang penuh beras—suatu simbol panen dan kelimpahan—mengkonkretkan doa peserta untuk pertumbuhan tanpa batas (prosperity) bagi diri mereka sendiri atau bagi komunitas yang mereka wakili.

Fungsi Sosiologis: Teori Hadaka no Tsukiai

Selain tujuan spiritual pemurnian, analisis sosiologis menegaskan bahwa Hadaka Matsuri memiliki fungsi vital dalam mempererat interaksi sosial di kalangan masyarakat Jepang. Fenomena ini dianalisis melalui konsep hadaka no tsukiai (gaul telanjang), yang merujuk pada interaksi sosial yang terjadi dalam keadaan polos atau tanpa filter formalitas hierarkis.

Dengan mengenakan pakaian minimal dan menghadapi kondisi fisik yang menantang (air dingin, bentrokan massa), semua peserta diletakkan pada tingkat kerentanan yang sama. Keadaan kesamaan ini menghapus garis-garis pemisah yang ada dalam kehidupan sehari-hari yang sangat terstruktur di Jepang. Kekacauan kolektif dan perjuangan bersama di tengah kuil menciptakan ikatan horizontal yang kuat. Ini adalah sarana yang efektif untuk membangun kembali dan memperkuat kohesi sosial di antara individu, kelompok, dan bahkan anggota tim perusahaan yang berpartisipasi, yang mana kohesi ini dianggap sangat penting untuk keberlangsungan komunitas.

Varian Hadaka Matsuri dan Konteks Lokal

Istilah Hadaka Matsuri adalah kategori payung yang mencakup berbagai festival purifikasi di Jepang, masing-masing disesuaikan dengan kebutuhan spiritual dan lingkungan lokal.

Konomiya Hadaka Matsuri (Inazawa, Aichi)

Konomiya Hadaka Matsuri, yang diadakan di Kuil Shinto Owari Okunitama-jinja di Inazawa, Aichi, berfokus utama pada ritual pengusiran roh jahat dan bencana. Festival ini terkenal dengan klimaksnya, Momiai, di mana ribuan pria semi-telanjang berdesak-desakan dan bentrok dengan tujuan tunggal: menyentuh Shin-otoko (Pria Pilihan atau Dewa Manusia).

Shin-otoko adalah figur sentral yang dipersiapkan melalui proses purifikasi yang sangat ketat. Ia diisolasi selama tiga hari, hanya mengonsumsi bubur beras dan air, dan mencukur seluruh rambut tubuhnya sebagai bagian dari proses pemurnian ekstrem. Shin-otoko secara simbolis bertindak sebagai wadah atau kambing hitam yang menyerap semua kegare (nasib buruk dan kekotoran) komunitas. Setelah berhasil disentuh oleh massa, yang mentransfer kegare mereka kepadanya, Shin-otoko kemudian ditarik ke kuil untuk diasingkan, sehingga roh-roh jahat dan nasib buruk dapat dibuang dari komunitas.

Warabi Hadaka Matsuri (Yotsukaido, Chiba)

Varian lain, Warabi Hadaka Matsuri, juga dikenal sebagai Doronko Matsuri (Festival Lumpur), menunjukkan adaptasi ritual terhadap kebutuhan pertanian. Festival ini diselenggarakan di sawah dekat Kuil Kosanrei di Yotsukaido, Chiba, dengan fokus utama adalah doa untuk panen yang baik dan kesuburan tanah.

Ritual ini melibatkan para pria yang mengenakan fundoshi memasuki sawah basah (lumpur) setelah upacara purifikasi awal. Klimaksnya adalah pertempuran lumpur yang kacau, termasuk ‘pertempuran kavaleri kuda manusia’ di mana tim yang terdiri dari tiga pria berhimpun sebagai ‘kuda’ yang ditunggangi oleh ‘joki’, saling bertabrakan dan tenggelam dalam lumpur.

Aspek unik dari Warabi Matsuri adalah Upacara Bayi (Infant Ceremony). Bayi di bawah usia satu tahun dibawa oleh para pria hadaka dan diolesi lumpur suci dari sawah sebagai ritual eksorsisme, yang mengaitkan festival ini dengan perlindungan anak dan kesuburan pertanian.

Komparasi Varian

Keberagaman praktik di seluruh Jepang menunjukkan bahwa Hadaka Matsuri, meskipun memiliki benang merah purifikasi kolektif melalui penderitaan fisik yang ekstrem, disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan sosial ekonomi lokal yang spesifik, baik itu memohon kemakmuran (Saidai-ji), pengusiran roh jahat (Konomiya), atau kesuburan pertanian (Warabi).

Tabel 1: Perbandingan Tiga Varian Utama Hadaka Matsuri di Jepang

Aspek Komparatif Saidai-ji Eyo (Okayama) Konomiya (Inazawa, Aichi) Warabi (Yotsukaido, Chiba)
Konteks Lokasi Kuil Buddha Saidai-ji Kannon-in Kuil Shinto Owari Okunitama-jinja Sawah dekat Kuil Kosanrei
Tanggal Kunci Sabtu Ketiga Februari Sekitar Tahun Baru Imlek (Februari) Musim Dingin
Fokus Utama Keberuntungan (Fuku) dan Kesehatan Pengusiran Roh Jahat dan Bencana Panen Baik dan Kesuburan (Doronko Matsuri)
Puncak Ritual Perebutan Shingi (Kayu Suci) Momiai untuk menyentuh Shin-otoko Pertempuran Lumpur dan Upacara Bayi
Partisipasi Wanita Non-Kontak (Penabuh Taiko) Diizinkan Berpartisipasi dalam Ritual Persembahan Terpisah (sejak 2024) Data tidak tersedia dalam ritual lumpur
Jumlah Peserta Hingga 10,000 Pria Ribuan Pria Tidak tersedia data spesifik

Hadaka Matsuri di Era Kontemporer: Isu dan Transformasi

Pelaksanaan Hadaka Matsuri di era modern menghadapi tantangan logistik, keamanan, dan tuntutan kesetaraan sosial, yang memicu adaptasi penting dalam ritual berusia berabad-abad ini.

Protokol Keamanan dan Toleransi Risiko Fisik

Salah satu aspek paling menantang dari Hadaka Matsuri, khususnya Saidai-ji Eyo, adalah intensitas fisik dan risiko cedera yang inheren dalam bentrokan 10.000 pria. Panitia penyelenggara telah menetapkan protokol keamanan yang ketat. Peserta dilarang keras mengenakan barang-barang yang dapat menyebabkan cedera, seperti kacamata atau benda logam (kalung, tindikan).

Yang sangat penting adalah pernyataan eksplisit dari penyelenggara bahwa partisipasi dilakukan atas risiko sendiri (at your own risk), dan mereka menolak pertanggungjawaban atas cedera atau bahkan kematian yang mungkin terjadi. Kenyataan bahwa peserta—termasuk puluhan orang asing yang berpartisipasi setiap tahun —bersedia menerima kondisi risiko ekstrem ini menunjukkan nilai budaya yang luar biasa yang ditempatkan pada ritual tersebut. Kehormatan menjadi Fukuotoko atau keberuntungan spiritual yang diperoleh dari purifikasi kolektif dianggap jauh melampaui bahaya fisik yang mungkin timbul. Penerimaan risiko ini merupakan penegasan kembali komitmen masyarakat terhadap bentuk katarsis ritual yang sangat intensif.

Evolusi Gender dan Perubahan Sosial

Secara tradisional, Hadaka Matsuri didominasi pria, di mana perempuan hanya memiliki peran pendukung non-kontak. Misalnya, di Saidai-ji Eyo, perempuan bertugas menabuh Eyo-taiko (gendang) sejak pukul 7 malam, sebuah peran penting yang melibatkan doa untuk kelancaran dan keberhasilan pertarungan para pria.

Namun, terjadi perubahan signifikan di Konomiya Hadaka Matsuri pada tahun 2024. Setelah 1.250 tahun sejarah, penyelenggara mengizinkan sekelompok sekitar 40 wanita untuk berpartisipasi dalam festival tersebut. Partisipasi ini berupa ritual terpisah di mana wanita, yang mengenakan pakaian lengkap, melakukan persembahan rumput bambu. Penting untuk dicatat bahwa kelompok wanita ini tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam klimaks utama, yaitu Momiai—bentrokan fisik pria yang bertujuan mentransfer kegare.

Transformasi ini dipicu oleh dua faktor utama: tekanan untuk mengakomodasi tuntutan kesetaraan gender dan kekhawatiran demografi. Seiring dengan depopulasi pedesaan, terdapat kekhawatiran bahwa festival tradisional yang sangat didominasi pria mungkin tidak dapat bertahan lama. Keputusan untuk mengizinkan partisipasi wanita dalam peran yang dimodifikasi merupakan kompromi pragmatis. Langkah ini memungkinkan festival untuk mengakui nilai-nilai modern dan memperluas basis partisipasi komunitas untuk kelangsungan hidup, sambil mempertahankan integritas inti ritual (transfer kegare melalui kontak fisik) sebagai domain eksklusif pria semi-telanjang.

Dampak Pariwisata dan Ekonomi Lokal

Hadaka Matsuri telah menarik perhatian global, dengan liputan media internasional yang luas (misalnya, BBC, TV Prancis, Jerman, dan Korea) yang telah meningkatkan jumlah peserta dan penonton asing. Di Saidai-ji Eyo, sekitar 50 orang asing secara teratur berpartisipasi dalam kompetisi shingi setiap tahun.

Festival ini menghasilkan manfaat ekonomi bagi Okayama melalui pariwisata. Penyelenggara menawarkan kursi berbayar bagi penonton (sekitar ¥5,000 untuk kursi reservasi) untuk menyaksikan pertarungan dari tribun. Peningkatan visibilitas dan partisipasi ini mengokohkan status festival sebagai aset pariwisata budaya yang signifikan. Adaptasi logistik, seperti memajukan waktu ritual utama dari tengah malam ke pukul 10 malam, juga dilakukan untuk mengakomodasi aksesibilitas bagi peserta dan penonton yang bergantung pada transportasi publik. Adaptasi ini mencerminkan upaya strategis untuk menyeimbangkan pelestarian makna ritual dengan kebutuhan logistik pariwisata kontemporer.

Kesimpulan

Hadaka Matsuri adalah salah satu ekspresi paling kuat dan hidup dari spiritualitas tradisional Jepang. Festival ini melampaui sekadar tontonan fisik; ia berfungsi sebagai mekanisme purifikasi kolektif yang mendalam, secara fisik memindahkan kegare dari komunitas dan memohon fuku (keberuntungan) melalui penderitaan fisik yang ekstrem dan ritual yang terfokus. Inti dari festival ini terletak pada konsep hadaka no tsukiai, yang menanggalkan hierarki sosial dan menyatukan komunitas dalam kerentanan yang sama, menjadikannya perekat sosial yang penting.

Perkembangan festival, terutama di Saidai-ji, mencerminkan kemampuan budaya Jepang untuk mengintegrasikan tradisi kuno dengan tuntutan modern. Transformasi dari ritual pemurnian individu menjadi kompetisi terorganisir, sering kali melibatkan kepentingan korporat, menunjukkan bagaimana nilai spiritual (keberuntungan) telah diinternalisasi sebagai aset ekonomi.

Mengingat risiko fisik yang tinggi dan perubahan sosial, pelestarian Hadaka Matsuri memerlukan pendekatan yang hati-hati:

  1. Transmisi Filosofis: Upaya pelestarian harus diperkuat melalui pendidikan yang lebih mendalam mengenai makna spiritual di balik penderitaan fisik, terutama konsep kegare, fuku, dan omisogi, untuk memastikan bahwa Hadaka Matsuri tidak hanya dilihat sebagai ‘pesta telanjang’ yang unik, tetapi dipahami sebagai ritual pembaruan suci.
  2. Keseimbangan Otentisitas dan Keselamatan: Sementara risiko fisik adalah bagian integral yang memberikan intensitas spiritual pada ritual, penyelenggara disarankan untuk terus meningkatkan koordinasi dan manajemen kerumunan yang ketat, mengakui bahwa penerimaan risiko tinggi harus dikelola di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap keselamatan.
  3. Pengelolaan Transformasi Gender: Perubahan yang terjadi di Konomiya (2024) adalah model untuk adaptasi yang hati-hati. Disarankan agar festival lain mempertimbangkan peran partisipatif yang inklusif bagi wanita, memastikan peran tersebut memiliki makna ritual yang jelas tanpa harus merusak integritas ritual inti yang secara tradisional didasarkan pada mekanisme transfer kegare eksklusif pria.