Loading Now

Mengenal Perilaku “Daddy Issues”

Istilah “Daddy Issues” (DI) telah mengakar kuat dalam percakapan sehari-hari dan budaya populer sebagai frasa informal yang sering digunakan untuk menjelaskan rangkaian perilaku wanita yang kompleks, membingungkan, atau disfungsional dalam hubungan mereka dengan pria. Frasa ini, yang pada dasarnya adalah istilah umum (catchall phrase), menyiratkan bahwa masalah harga diri, isu kepercayaan, atau kesulitan hubungan seseorang dapat disederhanakan dan disalahkan pada hubungan yang buruk atau absen dengan figur ayah mereka.

Dari perspektif klinis, istilah DI sangat bermasalah karena tidak memiliki definisi medis resmi dan tidak diakui sebagai gangguan yang dapat didiagnosis dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Sejumlah ahli menyatakan keberatan kuat terhadap penggunaannya, terutama karena istilah ini cenderung meremehkan kebutuhan kelekatan dasar yang dimiliki individu. Secara historis, DI dikaitkan secara longgar dengan konsep  Father Complex Sigmund Freud yang diperkenalkan pada tahun 1910. Namun, dalam praktiknya, istilah ini sering digunakan secara meremehkan (disparagingly) , terutama ditujukan pada wanita, sebagai cara untuk mencela dan mempermalukan mereka atas rasa sakit dan trauma masa lalu yang mereka bawa.

Penggunaan sosial istilah ini menciptakan hambatan signifikan terhadap pemulihan. Ketika perilaku yang berakar pada trauma serius, seperti pengabaian atau pelecehan, disederhanakan dan dierotisisasi oleh media atau dijadikan bahan lelucon di media sosial , hal itu mengaburkan validitas luka emosional yang sebenarnya. Proses penyederhanaan ini membuat individu kesulitan untuk mengakui bahwa mereka memerlukan bantuan klinis. Apabila luka pribadi dinormalisasi atau dijadikan objek cemoohan, individu cenderung terhambat untuk mencari bantuan terapi yang memadai, sehingga terminologi populer ini secara tidak langsung menghambat proses penyembuhan yang sah.

Kerangka Klinis: Kelekatan Tidak Aman (Insecure Attachment) sebagai Definisi Operasional

Secara klinis, perilaku yang secara populer disebut sebagai DI paling tepat didefinisikan melalui lensa Teori Kelekatan (Attachment Theory), di mana masalah tersebut diklasifikasikan sebagai Luka Kelekatan (Attachment Wounding). Inti dari permasalahan ini adalah hubungan individu dengan figur ayah atau pengasuh pria lainnya tidak mampu menawarkan cinta dan dukungan yang stabil yang dibutuhkan untuk perkembangan yang sehat.

Semua kesulitan relasional yang terkait dengan DI pada dasarnya bermuara pada masalah kelekatan (attachment issues). Kelekatan tidak aman ini timbul dari hubungan yang tidak memadai, baik melalui ketidakhadiran fisik maupun ketidaksediaan emosional figur ayah. Figur ayah memainkan peran krusial, bertindak sebagai   safe haven dan stimulus untuk eksplorasi, mengajarkan batasan dan representasi peran pria dewasa. Penting untuk ditekankan bahwa meskipun DI sering dikaitkan dengan wanita (dan memang frasa ini umumnya ditujukan pada mereka), faktanya, setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, yang tumbuh dengan figur ayah disfungsional atau absen dapat mengembangkan luka kelekatan serupa.

Untuk membedakan konstruksi klinis yang valid dari stereotip populer, diperlukan pergeseran terminologis yang tegas:

Table 1: Perbandingan Konseptual: “Daddy Issues” vs. Kelekatan Tidak Aman

Aspek Istilah Kolokial (“Daddy Issues”) Konstruk Klinis (Kelekatan Tidak Aman)
Domain Utama Hubungan disfungsi wanita dengan pria, sering seksual. Pola hubungan interpersonal akibat kegagalan kelekatan di masa kanak-kanak.
Konotasi Menghina, meremehkan, berorientasi gender. Netral, berbasis bukti, berfokus pada trauma dan kebutuhan.
Akar Masalah Masalah dengan Ayah/Figur Ayah. Interaksi pengasuh-anak yang tidak konsisten, sensitif, atau tidak responsif.
Tujuan Penggunaan Menjelaskan perilaku yang “bermasalah” secara dangkal. Memahami mekanisme psikologis dan menyediakan jalur intervensi.

Landasan Perkembangan dan Peran Paternal

Fungsi Ayah dalam Pembentukan Model Kerja Internal (IWM)

Hubungan yang dibangun seorang anak dengan ayahnya berfungsi sebagai fondasi penting bagi perkembangan psikososial dan emosional mereka. Figur ayah berkontribusi pada pembentukan batasan dan pemahaman risiko, seringkali melalui interaksi yang lebih “kasar” atau melalui pengambilan risiko, sementara tetap bertindak sebagai tempat perlindungan yang aman (safe haven). Selain itu, ayah merepresentasikan peran anggota pria dewasa dalam keluarga, yang memengaruhi cara anak laki-laki menginternalisasi perilaku pria dan bagaimana anak perempuan memandang lawan jenis di masa depan.

Hubungan ini memiliki peran besar dalam pengembangan harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri. Secara tradisional, ayah mungkin lebih sering absen dari rumah karena pekerjaan dibandingkan ibu. Akibatnya, anak seringkali secara naluriah mencari persetujuan (approval) ayah paling besar. Fenomena ini menciptakan keyakinan bawah sadar bahwa menyenangkan ayah dapat memastikan kehadirannya yang lebih lama. Kegagalan ayah dalam memberikan persetujuan atau dukungan yang konsisten dan sensitif selama tahun-tahun formatif akan menghasilkan Model Kerja Internal (IWM) yang rusak mengenai nilai diri individu (Am I worthy of love?) dan kepercayaan mereka pada keandalan orang lain.

Dua Skenario Kritis “Luka Ayah” (Paternal Wounding)

Luka kelekatan yang menghasilkan apa yang disebut DI dapat ditelusuri kembali ke dua pola pengalaman masa lalu yang mendominasi, yaitu ketidakhadiran dan disfungsi.

Ayah Absen (Physically or Emotionally Absent)

Skenario ini terjadi ketika figur ayah tidak berada di sekitar anak, baik karena bekerja keras, meninggalkan keluarga, atau tidak dapat diandalkan akibat masalah seperti penyalahgunaan zat. Bahkan ayah yang hadir secara fisik tetapi absen secara emosional akan meninggalkan luka yang substansial. Kekosongan emosional yang tercipta ini seringkali mendorong individu di masa dewasa untuk mencari perhatian dan validasi konstan dari pria lain, seringkali yang lebih tua, dalam upaya kompensasi untuk mengisi peran dan kedekatan yang mereka dambakan saat kecil. Penelitian mengkonfirmasi bahwa ketidakhadiran ayah berkorelasi dengan risiko psikososial yang lebih tinggi pada remaja, termasuk peningkatan depresi, gangguan kecemasan, kesulitan dalam regulasi emosi, dan harga diri rendah.

Ayah Disfungsional (Hadir secara Fisik tetapi Berbahaya)

Skenario kedua melibatkan ayah yang hadir secara fisik tetapi memiliki hubungan yang abnormal atau buruk dengan anak. Hubungan ini dapat melibatkan ikatan yang tidak sehat, misalnya jika ayah memperlakukan anak (terutama anak perempuan) lebih seperti pasangan romantis atau subjek pelecehan mental, emosional, atau seksual. Dalam konteks trauma, anak yang mengalami pelecehan sering menyalahkan diri mereka sendiri, yang merusak IWM dan kemampuan mereka untuk membangun kepercayaan dengan orang lain. Luka ini menyebabkan individu memproyeksikan impuls bawah sadar (baik positif seperti kekaguman, atau negatif seperti ketidakpercayaan dan ketakutan) kepada pasangan romantis di masa dewasa.

Pola pengasuhan disfungsional seringkali mencerminkan masalah kelekatan yang dimiliki oleh ayah itu sendiri. Analisis menunjukkan bahwa ketidakamanan kelekatan ayah (baik penghindaran maupun kecemasan) terkait dengan Model Kerja Internal (IWM) yang negatif terhadap anak. IWM negatif ini dapat memediasi pola pengasuhan yang maladaptif, seperti kontrol asertif kekuasaan yang berlebihan, yang kemudian membentuk siklus transmisi trauma antar generasi. Oleh karena itu, kesulitan perilaku yang muncul pada anak dewasa bukan hanya sekadar reaksi terhadap perilaku ayah yang tidak konsisten, tetapi juga replikasi dan internalisasi dari pola emosional disfungsional yang diwariskan.

Mekanisme Psikologis: Kelekatan dan Model Kerja Internal (IWM)

Teori Kelekatan sebagai Kerangka Utama

Teori Kelekatan memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami luka relasional. Prinsip dasarnya, sebagaimana ditekankan oleh Mary Ainsworth, adalah bahwa cara individu terikat pada orang tua mereka di masa kanak-kanak akan bergema dalam cara mereka berhubungan dengan pasangan di masa dewasa. Kelekatan aman terbentuk ketika pengasuh, termasuk ayah, secara responsif memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak. Kegagalan dalam proses ini menyebabkan perkembangan IWM yang tidak aman.

IWM, atau cetak biru mental, berfungsi sebagai lensa melalui mana individu menafsirkan hubungan mereka. Kelekatan tidak aman yang berasal dari figur ayah yang absen atau disfungsional akan merusak IWM individu, membuat mereka memandang diri sendiri sebagai tidak layak dicintai atau memandang orang lain sebagai tidak dapat diandalkan, tidak konsisten, atau berbahaya.

Analisis Mendalam Gaya Kelekatan Insekure

Kelekatan tidak aman yang berasal dari luka ayah secara klinis diklasifikasikan menjadi tiga gaya utama, yang masing-masing memiliki akar dalam dinamika hubungan paternal yang spesifik :

Kelekatan Cemas-Terfokus (Anxious-Preoccupied)

Gaya kelekatan ini biasanya muncul dari perawatan ayah yang inkonsisten—dimana ayah kadang memberikan perhatian yang luar biasa dan suportif, tetapi di lain waktu mengabaikan atau tidak responsif. Inkonsistensi ini menanamkan ketakutan mendalam akan ditinggalkan. Di masa dewasa, individu ini sangat mendambakan kedekatan tetapi merasa tidak aman tentang kemungkinan ditinggalkan oleh pasangan mereka. Mereka menunjukkan kebutuhan yang tidak terpuaskan untuk menerima kasih sayang, perhatian, dan persetujuan secara konstan, seringkali mengambil bentuk kecemburuan atau kecemasan berlebihan dalam hubungan.

Kelekatan Menghindar-Menolak (Dismissive-Avoidant)

Kelekatan menghindar seringkali berakar pada ayah yang secara emosional tidak tersedia atau jauh, baik secara fisik maupun psikologis. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan ini belajar bahwa mengekspresikan kebutuhan emosional tidak akan menghasilkan respons, sehingga mereka mengembangkan strategi bertahan hidup dengan menjadi mandiri berlebihan dan menekan kebutuhan kelekatan mereka. Sebagai orang dewasa, mereka cenderung memiliki kesulitan mempercayai orang lain karena takut disakiti, dan mereka secara aktif menghindari keintiman dan komitmen emosional untuk melindungi diri.

Kelekatan Menghindar-Penuh Ketakutan (Fearful-Avoidant)

Gaya kelekatan yang paling rumit ini sering dihubungkan dengan pengalaman hubungan paternal yang traumatis atau abusif. Figur ayah bertindak sebagai sumber kenyamanan dan bahaya secara bersamaan. Hal ini menciptakan konflik internal yang besar, di mana individu mendambakan kedekatan tetapi merasa sangat takut terhadapnya. Akibatnya, mereka sering lari dari keintiman atau pengalaman perasaan sulit, yang menghasilkan pola hubungan tarik-ulur (push-pull dynamics) yang tidak stabil dan sering kali traumatis.

Table 2: Hubungan Antara Luka Ayah dan Gaya Kelekatan Dewasa

Pengalaman Hubungan dengan Ayah Gaya Kelekatan Dewasa Pola Perilaku Dewasa Khas
Perawatan Tidak Konsisten/Diabaikan Cemas-Terfokus (Anxious-Preoccupied) Kebutuhan validasi konstan, cemburu, takut ditinggalkan, menuntut kedekatan/reasuransi.
Ayah Jauh/Tidak Tersedia Secara Emosional Menghindar-Menolak (Dismissive-Avoidant) Menghindari keintiman, menjaga jarak emosional, sulit percaya.
Hubungan Bermasalah/Traumatis/Abusif Menghindar-Penuh Ketakutan (Fearful-Avoidant) Kekhawatiran akan keintiman, pola tarik-ulur, menormalisasi perilaku toksik.

Manifestasi Perilaku Dewasa dalam Hubungan Intim

Luka kelekatan paternal yang tidak terselesaikan memanifestasikan dirinya dalam serangkaian pola perilaku dan emosional yang kompleks dalam hubungan dewasa.

Pencarian Figur Otoritas dan Validasi Paternal

Salah satu perilaku yang paling sering disalahpahami adalah kecenderungan individu, khususnya wanita, untuk mencari pasangan yang jauh lebih tua. Perilaku ini bukan sekadar preferensi, melainkan upaya bawah sadar untuk mencari pengganti figur ayah yang stabil, suportif, dan dewasa yang hilang di masa kecil. Individu mencari persetujuan, nasihat, atau kehadiran yang otoritatif dari pria yang lebih tua untuk mengkompensasi kurangnya kedekatan emosional yang mereka dambakan dari ayah kandung.

Dalam dinamika ini, impuls bawah sadar terhadap ayah—baik itu kekaguman positif atau ketidakpercayaan negatif—diproyeksikan kepada pasangan romantis. Kebutuhan konstan untuk mencari validasi dari luar ini juga dapat diperluas melampaui hubungan pribadi. Jika validasi relasional terasa tidak stabil (seperti pengalaman yang diajarkan oleh ayah yang tidak konsisten), maka individu dapat mengalihkan pencarian nilai diri mereka ke ranah karir dan profesional. Hal ini dapat memanifestasikan dirinya sebagai kecenderungan workaholic (gila kerja). Pencapaian profesional yang terukur dan penghargaan eksternal dari figur otoritas di tempat kerja menjadi pengganti yang tampak lebih andal untuk self-worth daripada cinta interpersonal yang rentan.

Dinamika Hubungan yang Disfungsional

Luka kelekatan paternal sering menghasilkan pola hubungan dewasa yang tidak stabil dan rentan terhadap pengulangan siklus toksik.

Kebutuhan akan Reasuransi dan Posesifitas

Berakar pada ketakutan ditinggalkan (khas Kelekatan Cemas-Terfokus), individu dapat memiliki kebutuhan yang tak terpuaskan untuk menerima kasih sayang, perhatian, atau persetujuan secara konstan. Mereka mungkin berulang kali menanyakan kepada pasangan apakah mereka marah atau selalu mempertanyakan keputusan mereka. Ketakutan ini juga memicu kecemasan atau kecemburuan yang berlebihan. Individu dapat terus-menerus khawatir pasangannya berselingkuh, atau menjadi posesif secara berlebihan terhadap pasangan mereka. Selain itu, individu dengan luka kelekatan seringkali merasa tidak suka sendirian dan mudah kesepian.

Mengulangi Pola Toksik

Fenomena mengulangi pola toksik terjadi karena individu yang terbiasa dengan hubungan disfungsional (misalnya, ayah yang kasar atau tidak stabil) cenderung secara tidak sadar mencari hubungan yang familiar, bahkan jika itu berbahaya. Ini adalah upaya untuk mereplikasi drama emosional yang dikenal. Bagi gadis remaja, misalnya, studi menunjukkan bahwa luka ayah dapat menyebabkan mereka menormalisasi perilaku toksik dalam hubungan, keliru menganggapnya sebagai romantis atau bentuk cinta yang “seharusnya”. Karena kurangnya harga diri, individu cenderung bertahan dalam hubungan yang tidak seimbang atau melelahkan secara emosional, percaya bahwa mereka tidak layak mendapatkan yang lebih baik atau bahwa cinta memang harus sulit.

Dinamika Keintiman yang Terdistorsi

Hubungan dengan keintiman dan seksualitas juga sangat dipengaruhi. Luka kelekatan dapat bermanifestasi sebagai dorongan seksual yang sangat tinggi, di mana keintiman digunakan sebagai upaya putus asa untuk mencari cinta dan validasi yang gagal mereka terima dari ayah di masa kecil. Sebaliknya, luka yang lebih parah (terutama yang melibatkan trauma atau pola Menghindar-Menolak/Menghindar-Penuh Ketakutan) dapat menyebabkan penghindaran keintiman total, kesulitan dalam mempercayai pria, atau bahkan kesulitan untuk terbuka secara emosional.

Perspektif Kritis dan Kontroversi Sosio-Kultural

Genderisasi dan Minimisasi Trauma

Istilah “Daddy Issues” merupakan contoh nyata dari genderisasi masalah psikologis. Meskipun masalah kelekatan yang disebabkan oleh figur ayah dapat memengaruhi semua jenis kelamin , frasa ini hampir secara eksklusif digunakan untuk mencap wanita. Penggunaan yang bias gender ini berfungsi untuk meremehkan kebutuhan kelekatan wanita dan mengabaikan akar masalah yang seringkali berupa trauma psikologis yang sah.

Masyarakat sering menggunakan istilah ini untuk mempermalukan wanita atas rasa sakit mereka. Dengan berfokus pada perilaku, stigma ini mengalihkan perhatian dari trauma yang mendasari, seperti pelecehan atau kehilangan prematur figur orang tua. Label ini adalah penyederhanaan yang berbahaya (oversimplification) terhadap dinamika emosional yang kompleks. Di media sosial, misalnya, DI sering digunakan sebagai lelucon untuk menyerang pendapat atau konten seseorang, menggambarkan individu sebagai terlalu emosional atau submisif, yang semakin meremehkan trauma mereka.

Erotisisasi Trauma dalam Media Populer

Kontroversi terbesar seputar istilah ini adalah erotisisasi trauma oleh media dan budaya populer. Frasa “Daddy Issues” telah dimorfosis menjadi narasi yang “seksi dan berbahaya”. Media, termasuk film, musik (misalnya, lagu “Daddy Issues” oleh The Neighbourhood atau Pouya ), dan serial televisi (seperti karakter Cassie Howard di Euphoria), sering menggunakan stereotip bahwa wanita dengan luka ayah secara inheren promiscuous, cenderung mencari pria yang lebih tua, dan secara aktif mengorbankan martabat mereka demi memuaskan pasangan pria.

Erotisisasi ini mengkomodifikasi luka pribadi. Organisasi seperti The School of Life menekankan bahwa kerinduan yang mendasari perilaku ini bukanlah keinginan seksual yang menyimpang, melainkan kerinduan yang sangat bisa dipahami akan figur ayah yang kuat, bijaksana, adil, dan suportif—seseorang yang pada akhirnya berada di pihak individu. Ketika masyarakat terus menggunakan label yang kasar dan memalukan ini, hal itu secara tidak langsung memperkuat IWM negatif yang sudah dimiliki oleh individu yang terluka. Individu yang telah belajar dari masa kecil bahwa mereka  tidak layak atau bermasalah (berdasarkan pengalaman dengan ayah mereka) menerima konfirmasi eksternal dari masyarakat. Konfirmasi negatif ini menghambat upaya mereka untuk membangun harga diri secara mandiri, menjebak mereka dalam siklus pencarian validasi eksternal yang terus-menerus.

Jalur Pemulihan dan Strategi Terapeutik Komprehensif

Pemulihan dari luka kelekatan paternal adalah proses yang menuntut deliberate effort atau usaha yang disengaja dari individu untuk memproses trauma masa lalu dan merevisi IWM mereka.

Tujuan Terapi: Restrukturisasi IWM dan Self-Worth

Tujuan utama dalam menangani luka kelekatan adalah mengalihkan sumber harga diri dan validasi diri dari eksternal (pasangan romantis, karir) ke internal. Seseorang perlu belajar menghargai diri sendiri dan membangun self-worth secara mandiri, tanpa bergantung pada pendapat atau kasih sayang dari orang lain.

Proses pemulihan klinis melibatkan pembangunan narasi yang koheren. Ini berarti individu harus mengintegrasikan dan memproses pengalaman masa lalu (termasuk pengalaman ayah yang absen, tidak konsisten, atau traumatis) ke dalam kisah hidup mereka dengan cara yang terstruktur. Perjalanan menuju hubungan yang sehat dimulai dengan pengembangan belas kasih diri (self-compassion), yang memungkinkan individu untuk mengakui rasa sakit mereka tanpa merasa malu.

Intervensi Klinis yang Direkomendasikan

Pendekatan terapeutik harus komprehensif, disesuaikan dengan kebutuhan kelekatan spesifik individu:

  1. Terapi Berfokus Kelekatan (Attachment-Focused Therapy): Pendekatan ini secara langsung menargetkan pola kelekatan yang tidak aman. Dengan memahami bagaimana IWM masa kecil memengaruhi hubungan dewasa, individu dapat bergerak menuju kelekatan yang aman (earned security).
  2. Terapi Berfokus Trauma: Jika riwayat pengabaian, konflik parah, atau pelecehan seksual ada, pendekatan berbasis trauma sangat penting. Trauma masa lalu dapat menyebabkan gangguan klinis seperti Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD). Penatalaksanaan harus multidisiplin, melibatkan psikoterapi (misalnya, EMDR, TF-CBT), obat-obatan jika perlu, dan pengupayaan dukungan sosial yang memadai.
  3. Terapi Kognitif-Perilaku (CBT): Bermanfaat untuk mengelola gejala kecemasan, ketakutan akan ditinggalkan, dan perilaku kecemburuan atau posesif yang sering muncul pada pola Cemas-Terfokus.
  4. Panduan Hubungan Pasca-Trauma: Individu perlu mempelajari cara mengelola kecemasan relasional mereka untuk dapat memulai dan mempertahankan hubungan yang sehat.

Strategi Praktis untuk Memajukan Kelekatan Aman

Selain terapi formal, strategi praktis di tingkat perilaku dan lingkungan dapat mendukung pembentukan kelekatan yang lebih aman:

  • Regulasi Diri dan Konsistensi: Individu dengan luka kelekatan, terutama pada usia dewasa, sering menunjukkan usia emosional yang lebih muda dalam menghadapi stres. Mereka dapat merasa terancam oleh transisi atau inkonsistensi. Mempertahankan rutinitas dan jadwal yang dapat diprediksi dapat memberikan kenyamanan yang stabil.
  • Mencari Dukungan Sosial yang Sehat: Lingkungan sosial yang suportif dan dapat diandalkan sangat penting untuk membantu menstabilkan emosi dan mengembangkan kemampuan regulasi diri.
  • Memutus Siklus Intergenerasional: Bagi individu yang menjadi orang tua, sangat penting untuk fokus pada peran ayah yang responsif dan terlibat. Pembentukan kelekatan yang erat dengan anak tidak ditentukan oleh durasi waktu, tetapi oleh frekuensi interaksi yang sensitif. Ayah harus sering terlibat dalam aktivitas, memberikan kontak fisik (mencium, memeluk), dan merespons isyarat anak untuk berfungsi sebagai tempat perlindungan yang aman, sehingga membantu anak mengembangkan kelekatan aman dan memutus pola luka kelekatan.

Table 3: Strategi Klinis untuk Mengatasi Pola Kelekatan Insekure

Pola Insekure Tantangan Inti Fokus Intervensi Terapeutik
Cemas-Terfokus Ketakutan Abandonment, Kebutuhan Reasuransi. Meningkatkan regulasi emosi diri; Mengembangkan self-soothing; Membangun harga diri independen.
Menghindar-Menolak Ketidakpercayaan, Menghindari Keintiman. Mengidentifikasi dan memproses emosi yang dihindari; Menurunkan mekanisme defensi (penghindaran); Mempraktikkan kerentanan yang aman.
Menghindar-Penuh Ketakutan Konflik Kebutuhan dan Ketakutan terhadap Kedekatan. Mengintegrasikan pengalaman traumatik; Membangun narasi yang koheren ; Terapi trauma spesifik (misalnya, untuk PTSD/pelecehan).

Kesimpulan

Analisis klinis perilaku yang dikenal secara populer sebagai “Daddy Issues” menggarisbawahi urgensi untuk menggeser paradigma dari cemoohan sosiokultural menuju pemahaman berbasis trauma dan kelekatan. Istilah kolokial ini gagal menangkap kedalaman luka yang sebenarnya, yaitu kegagalan hubungan paternal untuk menyediakan dasar cinta, dukungan, dan konsistensi yang dibutuhkan untuk pembentukan Model Kerja Internal yang aman. Baik melalui ayah yang absen secara fisik/emosional, atau ayah yang hadir tetapi disfungsional/abusif, dampaknya adalah IWM yang rusak, yang memanifestasikan dirinya dalam gaya kelekatan dewasa yang tidak aman (cemas, menghindar, atau penuh ketakutan).

Perilaku dewasa, mulai dari pencarian validasi yang tak henti-hentinya, kecemburuan yang berlebihan, hingga pengulangan pola hubungan toksik, adalah manifestasi dari strategi bertahan hidup yang dikembangkan di masa kecil untuk menanggapi lingkungan relasional yang tidak aman. Masyarakat yang terus meremehkan trauma ini melalui label yang bias gender dan merendahkan secara tidak sengaja memperkuat IWM negatif individu, sehingga menghambat upaya mereka untuk membangun harga diri yang mandiri.

Implikasi klinis menuntut para profesional untuk secara tegas menggunakan kerangka Teori Kelekatan sebagai dasar diagnosis dan intervensi. Pemulihan memerlukan kerja terapeutik yang mendalam untuk memproses trauma (jika ada), merevisi narasi diri, dan mengembangkan kelekatan aman yang diperoleh (earned security). Secara sosial, penekanan harus ditempatkan pada edukasi mengenai pentingnya keterlibatan ayah yang responsif dan emosional, karena peran ayah sangat penting dalam memutus siklus transmisi luka kelekatan antar generasi. Perilaku yang dihubungkan dengan “Daddy Issues” bukanlah cacat karakter, melainkan panggilan untuk empati dan intervensi yang fokus pada trauma.