Loading Now

Mengunjungi Pulau Penyengat, Kepulauan Riau : Simpul Peradaban Melayu

Pulau Penyengat, sebuah pulau kecil di jantung Kepulauan Riau, bukan sekadar destinasi wisata biasa, melainkan sebuah simpul peradaban yang menyimpan nilai sejarah, budaya, dan religi yang sangat tinggi bagi bangsa Indonesia dan masyarakat Melayu di kawasan Asia Tenggara. Meskipun ukurannya kecil—hanya sekitar dua kilometer dari pusat Kota Tanjungpinang —Pulau Penyengat berperan vital sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga, pusat literasi, serta tempat kelahiran bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia. Laporan ini bertujuan untuk mengulas secara mendalam segala aspek yang relevan bagi calon pengunjung, mulai dari latar belakang sejarah yang monumental, daya tarik destinasi, panduan logistik perjalanan, hingga kekayaan kuliner dan etika budaya yang harus dipahami.

Analisis menunjukkan bahwa kunjungan ke Pulau Penyengat adalah sebuah perjalanan napak tilas peradaban, bukan sekadar rekreasi. Pemerintah daerah dan pusat secara konsisten berinvestasi dalam perbaikan infrastruktur, seperti pelebaran jalan dan pengadaan transportasi ramah lingkungan, untuk menjembatani pengalaman historis dengan kenyamanan modern. Visi untuk menjadikan Penyengat sebagai destinasi wisata unggulan berbasis budaya dan religi tercermin dari upaya-upaya formal, seperti program inkubasi bisnis untuk produk lokal dan penetapannya sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional. Dengan memahami konteks ini, setiap kunjungan akan terasa lebih bermakna, tidak hanya sebagai penjelajahan fisik, tetapi juga penyerapan wawasan mendalam tentang warisan luhur Melayu.

Latar Belakang dan Signifikansi Sejarah Pulau Penyengat

Pusat Kekuasaan dan Politik Kesultanan Riau-Lingga

Pulau Penyengat memiliki sejarah yang panjang sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga dari abad ke-18 hingga awal abad ke-20. Kesultanan ini didirikan oleh Raja Kecil pada tahun 1719, yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Kota Tinggi, Johor, ke Riau setelah pecahnya perang saudara memperebutkan takhta Johor. Perang tersebut dimenangkan oleh Tengku Sulaiman dengan bantuan bangsawan Bugis, yang kemudian mendirikan Kerajaan Johor-Riau-Lingga pada tahun 1722. Pada masa Kerajaan Riau-Lingga, terdapat dua posisi jabatan utama: Yang Dipertuan Besar (Sultan) yang berkedudukan di Daik, Lingga, dan Yang Dipertuan Muda yang berkedudukan di Pulau Penyengat. Meskipun kedudukannya lebih rendah, Yang Dipertuan Muda memegang kendali atas pemerintahan, angkatan perang, dan perekonomian, menjadikan Penyengat sebagai pusat operasional. Sejak tahun 1900, Sultan Riau-Lingga bahkan memindahkan kedudukannya secara penuh ke Pulau Penyengat, mengukuhkan perannya sebagai pusat pemerintahan, adat istiadat, agama, dan kebudayaan Melayu yang lengkap. Kekuasaan Kesultanan ini berakhir pada tahun 1911 setelah diambil alih sepenuhnya oleh Belanda.

Simpul Peradaban dan Sastra Melayu

Lebih dari sekadar pusat politik, Pulau Penyengat juga diakui sebagai titik awal lahirnya banyak pemikiran besar yang menjadi fondasi peradaban Melayu modern. Pulau ini menjadi tempat kelahiran bahasa Melayu, yang kemudian diadopsi sebagai dasar Bahasa Indonesia, bahasa persatuan di tanah air. Keberadaan  kutub khanah atau perpustakaan pada masa lalu membuktikan bahwa pulau ini merupakan pusat pembelajaran yang maju, di mana kitab-kitab klasik dari Timur Tengah dan India dikaji secara mendalam, mencakup ilmu agama, sastra, hukum, dan filsafat. Peran ini diakui secara luas, bahkan mencatat Rekor MURI untuk kategori manuskrip terbanyak, sebuah pengakuan yang menegaskan warisan literasi yang tak ternilai.

Karya sastra monumental yang lahir di sini adalah “Gurindam Dua Belas,” sebuah karya legendaris yang ditulis oleh Raja Ali Haji, seorang tokoh intelektual terkemuka dari Kesultanan Riau-Lingga. Kehadiran karya-karya semacam ini menunjukkan bahwa pulau ini bukan hanya sekadar pusat pemerintahan, melainkan juga wadah subur bagi perkembangan intelektual dan spiritual. Pengakuan ini juga menjadi alasan mengapa pemerintah menetapkan Pulau Penyengat sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional dan mempromosikannya sebagai destinasi wisata edukatif dan religi. Pembangunan infrastruktur modern yang saat ini digalakkan adalah sebuah hasil dari pengakuan akan nilai otentik dan kedalaman historis yang dimiliki pulau ini, menjadikannya model pengembangan pariwisata yang berakar pada identitas budaya yang kuat.

Tokoh-Tokoh Sentral Bersejarah

Sejumlah tokoh penting dalam sejarah Melayu dimakamkan di Pulau Penyengat, menjadikan pulau ini tujuan ziarah dan napak tilas yang signifikan.

  • Raja Ali Haji: Dikenal sebagai seorang pujangga, ulama, dan pelopor tata bahasa Melayu, Raja Ali Haji lahir sekitar tahun 1808 dan wafat pada tahun 1873. Meskipun ada perdebatan tentang tahun kematiannya, yang menunjukkan nuansa dalam studi sejarah, makamnya tetap menjadi salah satu situs terpenting di pulau ini.
  • Raja Haji Fisabilillah: Pahlawan nasional Indonesia ini adalah kakek dari Raja Ali Haji. Beliau gugur pada tahun 1784 saat menyerang markas Belanda di Malaka. Makamnya di Pulau Penyengat memiliki status sakral dan telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya nasional oleh Pemerintah Indonesia.
  • Raja Abdurrahman: Yang Dipertuan Muda VII ini memegang peran krusial dalam renovasi Masjid Raya Sultan Riau pada tahun 1832. Makamnya terletak di atas bukit, dikelilingi oleh pagar dengan ukiran timbul yang unik, menjadi salah satu situs wisata religi yang dapat dikunjungi dengan menaiki beberapa anak tangga.

Eksplorasi Destinasi dan Daya Tarik Utama

Pulau Penyengat berfungsi sebagai museum terbuka yang kompleks, di mana puluhan situs bersejarah tersebar di seluruh areanya.

Situs Sejarah dan Religi Ikonik

  • Masjid Raya Sultan Riau: Dibangun pada tahun 1803 dan direnovasi pada tahun 1832, masjid ini adalah mahakarya arsitektur Melayu. Bangunan utamanya berukuran 18 x 20 meter, ditopang oleh empat tiang beton. Keunikan yang paling terkenal adalah penggunaan campuran putih telur, kapur, pasir, dan tanah liat sebagai bahan perekat, yang menunjukkan kecanggihan teknologi konstruksi masa lalu. Masjid ini juga kaya akan makna filosofis: 17 kubahnya melambangkan jumlah rakaat salat wajib, 7 pintunya melambangkan surah Al-Fatihah, dan 6 jendelanya melambangkan rukun iman. Di dalamnya, pengunjung dapat melihat mimbar kayu kuno dan sebuah lampu kuno hadiah dari Kerajaan Prusia.
  • Kompleks Makam Raja-Raja: Makam tokoh-tokoh penting seperti Raja Ali Haji, Raja Haji Fisabilillah, Engku Putri Raja Hamidah, dan Raja Abdurrahman adalah tujuan utama wisata ziarah di pulau ini. Kunjungan ke makam-makam ini dipandang sebagai napak tilas atas kejayaan dan peninggalan Kerajaan Melayu masa lampau.

Benteng dan Bangunan Pertahanan

Pulau Penyengat diperkuat dengan beberapa benteng strategis yang menunjukkan pentingnya pulau ini sebagai pusat pertahanan maritim. Benteng Bukit Penggawa, yang dibangun pada tahun 1808 , dan  Benteng Bukit Kursi berfungsi sebagai pos pengawasan pergerakan di laut dan memiliki meriam yang ditempatkan di setiap sudutnya untuk menghadapi musuh. Lokasi benteng yang berada di puncak bukit memberikan pemandangan panorama pulau dan perairan sekitarnya yang menakjubkan.

Peninggalan Istana dan Gedung Bersejarah Lainnya

Pulau Penyengat memiliki lebih dari 20 situs bersejarah yang dapat dikunjungi.

Istana Ali Marhum Kantor, misalnya, dulunya adalah kediaman resmi Sultan Ali Marhum dan kini berfungsi sebagai kantor pemerintah setempat. Deskripsi tentang sisa-sisa bangunan, sumur, dan pos penjagaan di pintu gerbang menunjukkan arsitektur istana pada masa itu. Terdapat pula situs-situs lain seperti  Gedung Hakim, Gedung Mesiu, Perigi Putri, dan Kolam Kecik. Pergeseran fungsional yang signifikan terlihat pada sebagian besar bangunan ini, yang kini diberikan hak guna pakai kepada masyarakat setempat. Ini merupakan sebuah strategi untuk memastikan situs-situs bersejarah tetap hidup dan terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, alih-alih hanya menjadi monumen mati. Densitas sejarah yang luar biasa di sebuah pulau sekecil ini membuat setiap sudutnya menawarkan narasi masa lalu yang kaya.

Perencanaan Perjalanan dan Logistik

4.1. Aksesibilitas dan Transportasi

Pulau Penyengat sangat mudah diakses melalui Tanjungpinang. Wisatawan dapat mencapai Tanjungpinang melalui dua rute utama:

  1. Dari Jakarta: Rute tercepat adalah dengan pesawat ke Bandara Internasional Raja Haji Fisabilillah (TNJ), yang berjarak sekitar 827 kilometer. Durasi penerbangan rata-rata adalah 1 jam 36 menit. Harga tiket berkisar antara 1,3 juta hingga 3 juta rupiah.
  2. Dari Singapura: Wisatawan dapat menggunakan feri cepat dari Terminal Feri Tanah Merah, Singapura, menuju Terminal Sri Bintan Pura, Tanjungpinang. Durasi perjalanan berkisar 1 jam 40 menit hingga 2 jam.

Setelah tiba di Tanjungpinang, wisatawan dapat menyeberang ke Pulau Penyengat menggunakan kapal pompong dari Pelabuhan Kuning. Tarif untuk wisatawan adalah Rp8.000 per orang, yang sudah termasuk asuransi Jasa Raharja. Pemerintah Provinsi juga sedang berencana untuk membangun pelabuhan khusus wisata di Kawasan Gurindam untuk meningkatkan kenyamanan turis, terutama dari Singapura dan Malaysia.  Di dalam pulau, transportasi lokal utama adalah becak motor atau kendaraan listrik roda tiga yang dikenal sebagai Gelis.  Gelis menawarkan pengalaman yang lebih tenang karena digerakkan oleh motor listrik, berbeda dengan becak motor konvensional yang berisik. Tarif sewa becak motor untuk tur keliling pulau berkisar antara Rp40.000 hingga Rp50.000 per perjalanan. Peningkatan infrastruktur jalan yang diperhalus dan diperlebar oleh pemerintah adalah upaya proaktif untuk meningkatkan kenyamanan wisatawan selama berada di dalam pulau, memastikan pengalaman berkendara yang lebih mulus.

Tabel 1: Ringkasan Transportasi Menuju dan di Pulau Penyengat

Tujuan Moda Transportasi Perkiraan Durasi Perkiraan Biaya Sumber Data
Jakarta → Tanjungpinang Pesawat (CGK → TNJ) 1 jam 36 menit Rp 1,3 juta–3 juta
Singapura → Tanjungpinang Feri (Tanah Merah → Sri Bintan Pura) 1 jam 40 menit € 30–36 (sekitar Rp 500ribu)
Tanjungpinang → Pulau Penyengat Pompong Kurang dari 15 menit Rp 8.000 (untuk wisatawan)
Transportasi Keliling Pulau Becak Motor / Gelis Tergantung rute Rp 40.000–50.000 (sekali angkut)

Waktu Terbaik untuk Berkunjung

Tanjungpinang, termasuk Pulau Penyengat, memiliki iklim tropis yang panas dan lembab sepanjang tahun. Suhu rata-rata harian berkisar antara 24°C hingga 31°C dan jarang di bawah 22°C atau di atas 33°C.

Berdasarkan analisis cuaca, waktu terbaik untuk berkunjung adalah selama musim kemarau, yang berlangsung dari Mei hingga September. Pada periode ini, cuaca cenderung lebih cerah dan ideal untuk aktivitas luar ruangan. Wisatawan disarankan untuk menghindari musim hujan yang intens, yaitu antara Oktober hingga Februari, karena curah hujan sangat tinggi dan dapat mengganggu rencana perjalanan. Meskipun demikian, bulan-bulan transisi seperti pertengahan Januari hingga akhir Maret dan pertengahan Juli hingga awal Oktober juga dianggap optimal untuk aktivitas luar ruangan karena kondisi cuaca yang lebih kondusif.

Tabel 2: Analisis Iklim dan Waktu Kunjungan Optimal

Bulan Curah Hujan Rata-rata Kondisi Cuaca Umum Rekomendasi Kunjungan
Januari – Maret Sedang – Tinggi Curah hujan mulai menurun. Kondisi ideal untuk aktivitas luar ruangan. Sangat Baik
April Tinggi Awal musim hujan, cuaca lebih berawan dan basah. Cukup Baik
Mei – September Rendah – Sedang Musim kemarau. Sangat cocok untuk wisata pantai dan festival budaya. Terbaik
Oktober – Desember Tinggi Puncak musim hujan dengan curah hujan tertinggi. Hindari bila memungkinkan

Akomodasi

Meskipun Pulau Penyengat menyediakan akomodasi lokal seperti OYO 91839 Penginapan Sulthan Penyengat Syariah , sebagian besar wisatawan memilih untuk menginap di Kota Tanjungpinang atau di Pulau Bintan yang berdekatan. Pilihan akomodasi di Tanjungpinang lebih beragam, mulai dari hotel bujet hingga hotel berbintang, seperti Alltrue Hotel Bintan – Tanjungpinang dan CK Tanjungpinang Hotel & Convention Centre. Bagi wisatawan yang mencari pengalaman resor, pilihan seperti Trikora Beach Club & Resort dan The Residence Bintan di Pulau Bintan juga tersedia.

Pengalaman Kuliner dan Ekonomi Kreatif

Pesona Kuliner Khas Pulau Penyengat dan Tanjungpinang

Kunjungan ke Pulau Penyengat dan Tanjungpinang tidak akan lengkap tanpa mencicipi kulinernya yang autentik. Di Pulau Penyengat, wisatawan dapat menikmati menu sarapan khas Melayu di Warung Pak Ali. Makanan yang disajikan tidak hanya lezat, tetapi juga sarat makna sejarah.

Nasi Malaka misalnya, disajikan dengan halba (kelabat) dari Timur Tengah, sebuah rempah yang mencerminkan sejarah perdagangan dan akulturasi budaya yang kental di masa lalu. Hidangan lain termasuk Nasi Dagang, yang dinamai demikian karena sering disajikan kepada para pedagang yang singgah di pulau. Berbagai kudapan seperti Tembosa, Karipap, dan Kue Badak yang berisi abon ikan juga tersedia.

Sementara itu, di Kota Tanjungpinang, hidangan ikonik lain menunggu untuk dijelajahi. Gonggong, sejenis siput laut yang hanya ditemukan di wilayah ini, merupakan hidangan seafood yang wajib dicoba. Biasanya disajikan dengan cara direbus dan dicocol dengan sambal. Kuliner populer lainnya termasuk  Mie Lendir, mi kuning dengan kuah kental yang manis dan gurih, serta Nasi Lemak dan berbagai kue tradisional seperti Tepung Gomak dan Bingka Pandan.

Oleh-Oleh Khas dan Potensi Ekonomi Kreatif

Kekayaan budaya Penyengat dan Tanjungpinang juga tercermin dalam produk-produk kreatifnya. Salah satu oleh-oleh yang sedang diangkat menjadi produk unggulan adalah Kue Deram-Deram. Kue tradisional berbentuk bulat yang terbuat dari tepung beras dan gula merah ini sedang dikembangkan melalui program inkubasi bisnis oleh Tim Penggerak PKK Provinsi dan Al Ahmadi Entrepreneurship Center (AEC). Program ini menunjukkan adanya pergeseran dari ekonomi subsisten menjadi ekonomi kreatif yang terorganisir, di mana warisan budaya dikelola secara profesional untuk menopang perekonomian keluarga dan mempromosikan identitas daerah di kancah nasional maupun internasional.

Selain itu, Batik Gonggong juga menjadi salah satu kerajinan tangan khas yang mencerminkan identitas maritim masyarakat Tanjungpinang. Motif cangkang siput Gonggong pada batik ini melambangkan kekayaan sumber daya laut dan kehidupan masyarakat pesisir. Oleh-oleh populer lainnya termasuk  Kue Batang Buruk, Tepung Gomak, Bingka Pandan, dan Otak-Otak khas Tanjungpinang. Menariknya, Luti Gendang, sebuah roti goreng isi abon ikan yang aslinya berasal dari Kepulauan Anambas, juga sangat populer di Tanjungpinang , menunjukkan bagaimana budaya kuliner di Kepulauan Riau saling memengaruhi dan berakulturasi.

Tabel 3: Panduan Kuliner dan Oleh-Oleh Khas

Nama Item Deskripsi Asal/Lokasi Harga Sumber Data
Roti Pratha Kue Melayu dari tepung gandum, disajikan dengan kari ikan/ayam. Pulau Penyengat Mulai dari Rp 15.000
Kue Deram-Deram Kudapan bulat dari tepung beras dan gula merah. Pulau Penyengat, Tanjungpinang Rp 7.000 (ukuran sedang)
Otak-Otak Olahan ikan berbumbu kuat, dibungkus daun pisang, berwarna cokelat kemerahan. Tanjungpinang Bervariasi
Kue Batang Buruk Kue kering bulat memanjang, berisi aneka rasa, tahan lama. Tanjungpinang Mulai dari Rp 25.000/150g
Luti Gendang Roti goreng isi abon ikan. Berasal dari Anambas, populer di Tanjungpinang. Anambas, populer di Tanjungpinang Rp 3.000-Rp 4.000/buah

Etika, Wawasan, dan Rekomendasi Kunjungan

Etika dan Aturan Kunjungan yang Bernuansa Budaya

Pulau Penyengat dianggap sakral oleh masyarakat setempat karena nilai-nilai Islam dan adat leluhur yang sangat kental. Oleh karena itu, pengunjung diharapkan untuk menghormati tradisi dan menjaga etika selama berada di pulau. Aturan berpakaian adalah salah satu aspek terpenting; wisatawan tidak diperbolehkan menggunakan pakaian minim atau celana pendek yang memperlihatkan lekuk tubuh. Khususnya saat memasuki Masjid Raya Sultan Riau, pengunjung perempuan diwajibkan mengenakan selendang atau hijab untuk menutupi kepala.

Selain itu, norma sosial juga harus diperhatikan. Pasangan dilarang bermesraan di ruang publik, terutama di situs-situs religi, karena hal ini dapat menyinggung perasaan warga. Membawa atau mengonsumsi minuman beralkohol di pusat wisata budaya juga dilarang. Memahami dan mematuhi etika ini bukan sekadar mengikuti aturan, tetapi juga merupakan wujud partisipasi dalam menjaga keutuhan identitas budaya lokal.

Rekomendasi Praktis untuk Pengunjung

Untuk mendapatkan pengalaman yang maksimal, disarankan untuk mengalokasikan setidaknya satu hari penuh guna menjelajahi semua situs bersejarah di pulau. Menggunakan jasa pemandu lokal atau kendaraan

Gelis dapat sangat membantu untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang setiap situs dan kisah di baliknya. Dengan begitu, setiap langkah di Pulau Penyengat akan menjadi perjalanan yang sarat akan makna sejarah.

 Pelestarian dan Visi Masa Depan

Penyengat adalah contoh nyata dari upaya pelestarian budaya yang berkelanjutan. Berbagai inisiatif pemerintah, seperti proyek pengembangan wisata halal sejak 2018 dan perbaikan infrastruktur jalan , menunjukkan komitmen serius untuk menjadikan warisan masa lalu sebagai fondasi pembangunan pariwisata masa depan. Festival tahunan seperti  Penyengat Heritage Fest adalah contoh bagaimana tradisi terus dihidupkan. Melalui acara-acara seperti lomba gasing tradisional dan Penyengat Night Run 5K, tradisi lokal diperkenalkan kepada generasi baru dengan cara yang inovatif. Ini adalah sinergi antara pelestarian dan pariwisata modern yang menjadikan Pulau Penyengat sebuah destinasi yang terus relevan dan memikat.