Diplomasi Paspor: Saat Politik Menentukan Ke mana Anda Boleh Berlibur
Dalam dinamika hubungan internasional kontemporer, paspor tidak lagi sekadar dipandang sebagai dokumen perjalanan administratif yang memfasilitasi pergerakan individu melintasi batas-batas negara. Sebaliknya, paspor telah bertransformasi menjadi instrumen kedaulatan yang sangat terpolitisasi, sebuah artefak yang memanifestasikan hierarki kekuasaan global dan ambisi geopolitik suatu negara. Memasuki tahun 2025, aksesibilitas global seseorang—kemampuan untuk menentukan ke mana mereka boleh berlibur, bekerja, atau sekadar transit—semakin bergantung pada jalinan aliansi strategis, ketegangan diplomatik, dan kalkulasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah di balik layar. Fenomena yang dikenal sebagai diplomasi paspor ini menunjukkan bahwa pergerakan manusia kini menjadi “mata uang transaksional” yang digunakan untuk menghargai kawan, menghukum lawan, atau merespons tekanan domestik terkait migrasi dan keamanan nasional.
Evolusi Paspor sebagai Instrumen Negara dan Kedaulatan
Secara historis, paspor merupakan simbol kedaulatan yang paling nyata yang dibawa individu dalam saku mereka. Asal-usul etimologis kata “diplomasi” sendiri berakar dari tradisi Kekaisaran Romawi, di mana istilah diploma merujuk pada dokumen jalan atau paspor yang dicetak di atas pelat logam ganda yang dilipat dan dijahit. Dalam pengertian ini, diplomasi sejak awal telah terikat secara intrinsik dengan pengaturan mobilitas manusia. Pada era modern, paspor berfungsi sebagai cara negara untuk memaksakan identitas hukum pada warganya, menjadikan mereka “terbaca” (legible) oleh otoritas domestik maupun asing. Melalui standarisasi identitas yang mencakup nama, asal-usul, dan gender, negara menjalankan kontrol atas populasi yang bergerak maupun yang menetap, menempatkan pemegang paspor dalam hierarki hak, kewajiban, dan liabilitas global.
Teori hubungan internasional melihat paspor sebagai bagian dari global mobility assemblage, sebuah perangkat yang menghubungkan tubuh fisik individu dengan berkas data digital (data-doubles). Mark Salter dalam analisisnya mengenai “Thing-Power-Politics” menyatakan bahwa paspor bukan sekadar tanda kewarganegaraan, melainkan objek material yang memiliki agensi untuk memvalidasi klaim seseorang atas hak-hak tertentu. Tanpa dokumen ini, posisi tawar individu di hadapan kedaulatan negara lain menjadi tidak ada. Proses ini menciptakan apa yang disebut sebagai “subjek neurotik”—warga negara yang terus-menerus merasa cemas apakah identitas mereka dapat dibaca dan diotentikasi oleh mesin atau petugas perbatasan. Penggunaan biometrik dan sistem pengenalan wajah yang semakin masif pada tahun 2025 memperkuat peran paspor sebagai alat pengawasan vigilansi di era globalisasi.
Diplomasi paspor juga merupakan bagian integral dari kebijakan luar negeri yang menggunakan soft power untuk membentuk citra negara. Pemberian fasilitas bebas visa sering kali digunakan sebagai upaya memperbaiki kualitas komunikasi suatu negara dengan masyarakat dunia, yang pada akhirnya memberikan dampak signifikan terhadap sektor politik, ekonomi, dan sosial. Namun, kebijakan ini tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu diatur oleh prinsip resiprositas atau timbal balik yang menjadi fondasi hukum internasional. Melalui asas ini, negara memastikan bahwa perlakuan yang diberikan kepada warga negaranya di luar negeri setara dengan perlakuan yang ia berikan kepada warga negara asing di wilayahnya.
Analisis Kekuatan Paspor Global dan Hierarki Mobilitas 2025
Lanskap kekuatan paspor pada tahun 2025 menunjukkan adanya stratifikasi global yang semakin tajam. Berdasarkan data terbaru dari Henley Passport Index dan Passport Index, terdapat jurang mobilitas yang sangat lebar antara negara-negara di Global North dengan negara-negara yang dilanda konflik di Global South. Singapura secara konsisten mempertahankan posisinya sebagai paspor paling kuat di dunia, mencerminkan stabilitas ekonomi, keterbukaan perdagangan, dan keberhasilan diplomasi luar negerinya yang sangat pragmatis.
Peringkat Kekuatan Paspor Dunia 2025
Tabel berikut menyajikan peringkat paspor berdasarkan jumlah destinasi yang dapat diakses tanpa visa atau dengan visa saat kedatangan (Visa on Arrival/VoA):
| Peringkat | Negara Issuing | Jumlah Destinasi Bebas Visa |
| 1 | Singapura | 195 |
| 2 | Jepang, Korea Selatan | 193 |
| 3 | Denmark, Irlandia, Finlandia, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol | 192 |
| 4 | Austria, Belgia, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Portugal, Swedia, Swiss | 191 |
| 5 | Yunani, Selandia Baru | 190 |
| 6 | Australia | 189 |
| 7 | Kanada | 188 |
| 8 | Britania Raya, Polandia | 187 |
| 9 | Amerika Serikat, Uni Emirat Arab | 186 |
| 10 | Malaysia, Islandia, Lithuania | 185 |
(Data disintesis dari laporan Henley Passport Index dan Passport Index per Januari – Oktober 2025).
Keberhasilan Singapura mencapai 195 destinasi bebas visa dari total 227 destinasi di seluruh dunia merupakan manifestasi dari strategi diplomasi yang berfokus pada pembangunan hubungan internasional yang kuat dan stabilitas ekonomi yang diakui secara global. Sebaliknya, Amerika Serikat mengalami penurunan posisi yang signifikan, jatuh dari peringkat kedua pada tahun 2015 menjadi peringkat kesembilan pada tahun 2025. Para pakar geopolitik mengaitkan penurunan ini dengan tren politik yang cenderung “melihat ke dalam” (inward-looking) dan kebijakan isolasionis, termasuk ancaman pengenaan tarif dan kebijakan larangan perjalanan yang kembali mengemuka.
Di sisi lain spektrum, paspor dari negara-negara seperti Afghanistan, Suriah, dan Somalia tetap berada di posisi terbawah, dengan akses kurang dari 30 negara. Afghanistan, misalnya, hanya memiliki akses ke 26 destinasi, menciptakan kesenjangan mobilitas sebesar 169 destinasi dibandingkan dengan Singapura. Ketimpangan ini menciptakan apa yang disebut sebagai “lotere kelahiran” (birthright lottery), di mana peluang hidup, akses ekonomi, dan kebebasan bergerak seseorang ditentukan sepenuhnya oleh faktor keberuntungan tempat kelahiran yang tidak dapat dikendalikan.
Fenomena “Visa Racism” dan Penolakan Berbasis Identitas
Temuan dalam Henley Global Mobility Report 2025 menyoroti masalah yang lebih dalam dari sekadar peringkat, yaitu apa yang disebut sebagai “visa racism” atau diskriminasi visa terhadap warga negara dari benua Afrika. Meskipun rata-rata penolakan visa global adalah satu dari enam aplikasi, angka penolakan bagi warga negara Afrika mencapai satu dari dua aplikasi. Negara-negara dengan tingkat penolakan visa Schengen tertinggi didominasi oleh negara-negara Afrika seperti Komoro (61,3%) dan Guinea-Bissau (51%).
Diskriminasi ini sering kali didasarkan pada persepsi mengenai kelemahan ekonomi dan kebijakan yang bersifat identitas atau budaya, yang pada akhirnya memerangkap individu-individu paling miskin di dasar “tangga mobilitas”. Kondisi ini tidak hanya menghambat pariwisata, tetapi juga membatasi akses masyarakat Global South terhadap peluang ekonomi internasional, pendidikan tinggi, dan layanan kesehatan global.
Diplomasi Visa China: Strategi Keterbukaan Unilateral (2024-2026)
Salah satu perkembangan paling mencolok dalam diplomasi paspor kontemporer adalah langkah strategis China untuk memberikan pembebasan visa sepihak (unilateral) kepada puluhan negara di seluruh dunia. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya China untuk membangun citra sebagai negara yang tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan modal manusia dan pertukaran budaya.
Ekpansi Kebijakan Bebas Visa Sepihak China (2025)
Hingga akhir tahun 2025, China telah menerapkan kebijakan bebas visa 30 hari untuk tujuan bisnis, pariwisata, kunjungan keluarga, dan transit bagi warga negara dari daftar negara yang terus bertambah.
| Kelompok Regional | Negara Penerima Fasilitas (Sebagian) | Efektivitas |
| Uni Eropa | Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Belanda, Austria, Belgia, Luksemburg, Hungaria, Irlandia, Polandia, Swedia (Baru) | Berlaku hingga 31 Desember 2026. |
| Oceania | Australia, Selandia Baru | Berlaku hingga 31 Desember 2026. |
| Asia Timur | Korea Selatan | Berlaku hingga 31 Desember 2026. |
| Amerika Latin | Brazil, Argentina, Chili, Peru, Uruguay | Efektif mulai Juni 2025. |
| Eropa Timur/Lainnya | Rusia (Kebijakan Khusus), Norwegia, Islandia, Monako | Berbagai skema durasi 30 hari. |
Langkah unilateral ini menunjukkan pergeseran dari prinsip resiprositas kaku menuju diplomasi pragmatis yang berorientasi pada pemulihan ekonomi. Data menunjukkan bahwa pada kuartal ketiga tahun 2025, terdapat 7,25 juta warga asing yang masuk ke China di bawah skema bebas visa, mencatatkan pertumbuhan sebesar 48,3% dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Entri bebas visa ini menyumbang 72,2% dari total kedatangan warga asing ke China, membuktikan bahwa kemudahan akses adalah pendorong utama pertumbuhan pariwisata dan interaksi bisnis.
Secara geopolitik, diplomasi visa ini bertujuan untuk memperkuat soft power China di kawasan kunci seperti Asia Tengah dan ASEAN. Dengan memfasilitasi perjalanan bagi pengusaha dan wisatawan dari Kazakhstan, Uzbekistan, hingga Thailand, China berupaya membangun rasa percaya dan ketergantungan ekonomi yang lebih dalam, sekaligus meredam kekhawatiran publik mengenai pengaruh ekonomi China yang semakin besar di kawasan tersebut.
Mekanisme “Bargaining Chip” dan Sanksi Perjalanan dalam Hubungan Internasional
Kebijakan visa sering kali digunakan sebagai “alat tawar” (bargaining chip) dalam negosiasi diplomatik tingkat tinggi. Doktrin ini melihat sanksi dan pembatasan perjalanan bukan sebagai hukuman statis, melainkan sebagai instrumen fleksibel yang dapat disesuaikan untuk memengaruhi perilaku negara lain.
Model Tekanan Tiga Tahap dalam Diplomasi Paspor
Amerika Serikat, melalui kerangka hukum seperti International Emergency Economic Powers Act (IEEPA), menerapkan model tekanan yang cermat dalam penggunaan pembatasan perjalanan :
- Deterrence (Pencegahan): Mengirimkan sinyal bahwa perilaku berbahaya akan memicu pembekuan aset dan larangan perjalanan, sehingga mencegah tindakan tersebut sebelum terjadi.
- Coercion (Pemaksaan): Ketika pencegahan gagal, pembatasan pergerakan internasional digunakan untuk memaksa perubahan perilaku atau melumpuhkan jaringan yang melanggar hukum, seperti yang terlihat dalam sanksi terhadap pejabat elit di Venezuela, Iran, dan Rusia.
- Incentivization (Pemberian Insentif): Menawarkan pencabutan sanksi atau pelonggaran aturan visa ketika target menunjukkan perubahan perilaku yang nyata, seperti reformasi kepatuhan atau dukungan terhadap proses demokrasi.
Sebagai contoh, dalam kasus Venezuela, Amerika Serikat menawarkan pelonggaran bersyarat—termasuk fleksibilitas terkait perjalanan—sebagai imbalan atas jaminan pemilu yang demokratis dan pembebasan tahanan politik. Sebaliknya, sanksi Uni Eropa terhadap Rusia telah mencapai 15 paket sanksi yang mencakup penutupan wilayah udara, pelabuhan, dan larangan masuk bagi hampir 2.400 individu yang terkait dengan elit politik dan ekonomi Rusia. Sanksi ini dirancang untuk melemahkan basis ekonomi Rusia dan membatasi akses mereka terhadap komponen militer serta teknologi canggih.
Integrasi Regional dan Sistem Visa Terpadu: GCC vs. ASEAN vs. Uni Afrika
Tahun 2025 menandai perlombaan blok-blok regional untuk menciptakan zona mobilitas yang mulus guna meningkatkan daya saing ekonomi mereka. Terinspirasi oleh model Schengen di Eropa, kawasan Teluk, Asia Tenggara, dan Afrika tengah mengembangkan sistem visa terpadu mereka masing-masing.
GCC Grand Tours Visa: Lompatan Strategis Kawasan Teluk
Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) secara resmi memperkenalkan kerangka kerja “GCC Grand Tours Visa” atau Visa Teluk Terpadu yang diharapkan mulai beroperasi penuh pada akhir 2025 atau awal 2026. Sistem ini memungkinkan wisatawan untuk mengunjungi enam negara anggota (Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab) dengan satu izin masuk tunggal.
| Komponen | Rincian Sistem GCC Grand Tours Visa |
| Negara Anggota | UAE, Saudi Arabia, Qatar, Kuwait, Oman, Bahrain |
| Durasi Tinggal | 30 – 90 Hari |
| Format Aplikasi | Portal Digital Terpusat (Paperless) |
| Tujuan Utama | Mengalihkan ketergantungan ekonomi dari minyak ke pariwisata |
| Estimasi Biaya | Proyeksi USD 90 – 130 (Sekitar 1,4 – 2 Juta Rupiah) |
(Data diolah dari sumber resmi otoritas pariwisata GCC per Oktober 2025).
Inisiatif ini dipandang sebagai “game changer” bagi pariwisata regional, mengubah enam destinasi menjadi satu rencana perjalanan yang terhubung. Tantangan utama dalam implementasi ini adalah penyelarasan kebijakan imigrasi, keamanan, dan berbagi data antar enam negara yang berdaulat, yang memerlukan integrasi penuh basis data nasional untuk pertukaran data wisatawan secara real-time.
ASEAN Connectivity 2025 dan Ambisi Afrika
Di Asia Tenggara, Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC) 2025 terus berupaya menyederhanakan proses aplikasi visa dan memperkenalkan visa elektronik untuk menetapkan ASEAN sebagai satu destinasi wisata tunggal. Meskipun ASEAN belum mencapai tahap visa tunggal yang mencakup seluruh warga negara non-ASEAN seperti model GCC, kemajuan dicapai melalui otorisasi perjalanan elektronik (e-visa) dan pengakuan kualifikasi profesional untuk mobilitas tenaga kerja terampil.
Di benua Afrika, Uni Afrika (AU) melalui Agenda 2063 telah meluncurkan proyek Paspor Uni Afrika untuk menghapuskan hambatan perjalanan bagi warga negara Afrika di seluruh benua. Namun, implementasi Protokol Pergerakan Bebas Orang masih menghadapi hambatan besar berupa fragmentasi hukum, kerangka institusional yang lemah, dan kekhawatiran keamanan di wilayah konflik seperti Sahel. Hingga tahun 2025, integrasi manusia di Afrika masih dianggap moderat namun belum lengkap, dengan tantangan besar pada pendaftaran penduduk yang lemah di banyak negara anggota.
Pasar Kedaulatan: Investasi Migrasi dan Komodifikasi Paspor
Kesenjangan dalam kekuatan paspor telah menciptakan pasar komersial yang disebut dengan “Citizenship by Investment” (CBI) atau “Golden Passport”, dan “Residence by Investment” (RBI) atau “Golden Visa”. Dalam sistem ini, kedaulatan negara diperlakukan sebagai aset ekonomi yang dapat diperjualbelikan kepada individu kaya yang mencari mobilitas, keamanan, dan stabilitas politik.
Dinamika Golden Passport dan Golden Visa 2025
Hingga tahun 2025, lebih dari 100 negara di seluruh dunia secara aktif mempromosikan atau mengoperasikan program investasi migrasi. Program-program ini memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB negara-negara tersebut, terutama negara-negara kecil di Karibia atau anggota Uni Eropa yang mencari aliran modal asing.
| Negara | Jenis Program | Minimal Investasi | Manfaat Strategis |
| Malta | Golden Passport | Kontribusi Langsung ~€738,000 | Hak tinggal, kerja, dan studi di 27 negara UE. |
| Yunani | Golden Visa | Properti ~€250,000 – €800,000 | Izin tinggal permanen dan akses bebas visa Schengen. |
| Portugal | Golden Visa | Dana Investasi ~€500,000 | Jalur cepat menuju kewarganegaraan Eropa. |
| UAE | Golden Visa | Talenta/Investasi Profesional | Izin tinggal 10 tahun tanpa sponsor nasional. |
| USA | Trump Gold Card | Investasi ~USD 1.000.000 | Jalur cepat menuju residensi dan kewarganegaraan. |
(Analisis berdasarkan laporan LSE dan World Bank mengenai migrasi investasi).
Salah satu fenomena menarik pada tahun 2025 adalah munculnya warga negara Amerika Serikat sebagai pemohon terbesar untuk program-program ini, mencakup 21% dari total aplikasi global. Hal ini mencerminkan penggunaan kewarganegaraan kedua sebagai “asuransi risiko politik” di tengah ketidakpastian domestik. Di sisi lain, Uni Eropa memberikan tekanan besar untuk meregulasi atau menghentikan program-program ini karena kekhawatiran akan korupsi dan “pencucian identitas”.
Digitalisasi Perbatasan: Biometrik dan Kedaulatan Data
Transisi menuju perbatasan digital semakin cepat pada tahun 2025, di mana data biometrik seperti sidik jari dan pemindaian wajah menggantikan stempel paspor tradisional. Digitalisasi ini tidak hanya bertujuan untuk efisiensi, tetapi juga sebagai alat pengawasan yang lebih ketat dan manifestasi kedaulatan teknologi.
Implementasi EES dan ETIAS di Uni Eropa (2025-2026)
Uni Eropa mulai menerapkan Entry/Exit System (EES) secara bertahap sejak Oktober 2025. Sistem ini berdampak besar bagi warga negara non-Uni Eropa, termasuk pemegang paspor Britania Raya.
- Perekaman Biometrik Mandatori: Pada kunjungan pertama setelah peluncuran EES, pelancong diwajibkan memberikan data biometrik (sidik jari dan foto wajah) di kios-kios otomatis perbatasan.
- Pelacakan Otomatis 90/180 Hari: Sistem secara elektronik mencatat setiap masuk dan keluar, serta secara otomatis menghitung kepatuhan terhadap aturan tinggal 90 hari dalam periode 180 hari.
- ETIAS (2026): Mulai akhir tahun 2026, warga negara bebas visa harus mendapatkan otorisasi perjalanan elektronik (ETIAS) seharga €20 yang berlaku selama tiga tahun sebelum berangkat ke wilayah Schengen.
Digitalisasi ini membawa tantangan baru dalam hal “kedaulatan data”. Presiden Perancis, Emmanuel Macron, dalam AI Action Summit 2025, memperingatkan bahwa ketergantungan pada infrastruktur data milik perusahaan asing merupakan bentuk “vassalage” (penghambaan) digital yang harus dihindari demi kepentingan publik Eropa. Sementara itu, bagi individu, sistem biometrik multimodal yang menggabungkan berbagai parameter fisik dan perilaku menjanjikan keamanan yang lebih tinggi namun sekaligus meningkatkan risiko pengawasan otoritarian dan bias algoritma.
Diplomasi Paspor Indonesia: Menavigasi Manfaat dan Resiprositas
Indonesia terus memperkuat fungsi keimigrasiannya sebagai instrumen pembangunan nasional dan penegakan kedaulatan. Hingga tahun 2025, Indonesia berada di peringkat ke-74 secara global, memberikan akses bebas visa ke 76 negara.
Upaya Peningkatan Kekuatan Paspor Indonesia (2024-2025)
Pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Imigrasi, menerapkan kebijakan bebas visa kunjungan (BVK) secara selektif berdasarkan “asas manfaat” dan “asas timbal balik”. Melalui Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2024, Indonesia menetapkan daftar negara penerima BVK dengan tujuan meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara, yang ditargetkan tumbuh antara 5% hingga 25% per tahun.
Indonesia juga telah meluncurkan berbagai produk imigrasi strategis:
- Golden Visa Indonesia: Menarik investor berkualitas tinggi dan talenta global melalui izin tinggal jangka panjang.
- Modernisasi Perbatasan: Pemasangan autogate biometrik di bandara-bandara internasional utama seperti Soekarno-Hatta dan I Gusti Ngurah Rai untuk mempercepat proses pemeriksaan tanpa mengurangi aspek keamanan.
- Evaluasi Resiprositas: Indonesia terus melakukan evaluasi terhadap negara-negara yang mendapatkan fasilitas bebas visa namun belum memberikan perlakuan yang sama bagi warga negara Indonesia, guna memastikan keseimbangan dalam diplomasi paspor.
Meskipun terdapat upaya peningkatan, masih terdapat ketidakproporsionalan antara jumlah negara yang diberikan fasilitas bebas visa oleh Indonesia (pernah mencapai 169 negara) dibandingkan dengan jumlah negara yang memberikan akses bebas visa bagi pemegang paspor Indonesia. Ketimpangan ini menjadi fokus utama diplomasi luar negeri Indonesia untuk memperkuat posisi tawar di forum internasional.
Dampak Ekonomi dari Hambatan Visa pada Pariwisata dan Layanan Global
Hambatan visa bukan hanya masalah birokrasi, tetapi memiliki dampak ekonomi yang nyata dan terukur. Visa memperkirakan bahwa pada tahun 2025, hampir setengah dari seluruh rumah tangga di dunia akan menjadi bagian dari “kelas pelancong” internasional, dengan total belanja mencapai USD 1,5 triliun.
Statistik Dampak Kebijakan Visa terhadap Ekonomi Global
Hambatan masuk yang tinggi dapat mengurangi potensi pendapatan dari pariwisata, perdagangan, dan investasi.
| Sektor | Dampak Hambatan Visa |
| Kedatangan Wisatawan | Kebijakan visa yang ketat secara konsisten berkolerasi dengan penurunan aliran wisatawan internasional, terutama menuju negara berkembang. |
| Belanja Wisatawan | Wisatawan dari pasar berkembang (seperti China) diperkirakan akan menyumbang sepertiga dari total belanja global pada 2025. Hambatan visa berisiko mengalihkan belanja ini ke negara lain yang lebih terbuka. |
| Pariwisata Medis | Proses visa yang lambat sering kali menghambat pasien mendapatkan perawatan medis kritis di luar negeri, mengancam pasar pariwisata medis yang bernilai miliaran dolar. |
| Ekspor Jasa | Rezim visa yang ketat merusak efisiensi pengiriman layanan lintas batas dan menciptakan dilema administratif bagi tenaga kerja profesional. |
Di Amerika Serikat, terdapat tanda-tanda perlambatan pariwisata internasional pada tahun 2025, dengan penurunan kedatangan sebesar 2,4% hingga Mei 2025. Kelompok industri perjalanan AS mengaitkan hal ini dengan waktu tunggu wawancara visa yang panjang dan kebijakan perbatasan yang lebih ketat, yang menyebabkan Amerika Serikat kehilangan posisinya sebagai destinasi wisata nomor satu di dunia. Kerugian belanja pengunjung internasional di AS diperkirakan mencapai USD 12 miliar pada tahun 2025 dibandingkan tahun sebelumnya.
Kesimpulan: Masa Depan Mobilitas Global (2026 dan Seterusnya)
Diplomasi paspor pada tahun 2025 telah mengukuhkan peran paspor sebagai lebih dari sekadar identitas; ia adalah kunci akses menuju sumber daya, keamanan, dan kebebasan di panggung global. Politik telah secara aktif menentukan ke mana seseorang boleh berlibur, dan tren ini diprediksi akan semakin kuat menuju tahun 2026 dengan beberapa pergeseran kunci:
- Fragmentasi Melalui Teknologi: Sementara sistem digital seperti EES dan GCC Visa bertujuan menyederhanakan perjalanan, mereka juga menciptakan hambatan baru bagi warga negara dari negara-negara yang tidak memiliki infrastruktur digital yang kompatibel, memperlebar jurang mobilitas antara negara kaya dan miskin.
- Unilateralisme sebagai Senjata Ekonomi: Langkah China memberikan bebas visa sepihak akan menjadi model bagi negara-negara lain yang ingin memulihkan ekonomi mereka dengan cepat tanpa menunggu proses negosiasi bilateral yang panjang.
- Nasionalisme Data vs. Globalisasi: Ketegangan antara keinginan untuk memfasilitasi perjalanan global dengan kebutuhan untuk melindungi kedaulatan data nasional akan mendominasi perdebatan mengenai identitas digital dan biometrik di masa depan.
- Komodifikasi Kewarganegaraan: Pasar untuk “Golden Passport” akan terus tumbuh seiring meningkatnya ketidakstabilan geopolitik, namun akan menghadapi regulasi yang jauh lebih ketat dari blok-blok besar seperti Uni Eropa guna mencegah risiko keamanan lintas batas.
Pada akhirnya, di dunia di mana politik menentukan perbatasan, paspor tetap menjadi instrumen kekuasaan yang paling dinamis. Kemampuan suatu negara untuk menegosiasikan kekuatan paspornya bukan hanya masalah kenyamanan bagi warganya yang ingin berlibur, melainkan refleksi dari posisi tawar dan martabat negara tersebut dalam tatanan dunia yang terus berubah. Sebagaimana sejarah menunjukkan, paspor yang kita bawa dalam saku adalah bukti bahwa kedaulatan negara selalu menyertai setiap langkah perjalanan kita melintasi batas-batas dunia.