Geliat ‘Local-Core’: Mengapa Kita Kembali Mencintai Musik Berbahasa Daerah?
Fenomena “Local-Core” mewakili sebuah pergeseran tektonik dalam lanskap sosiologi musik global, di mana dominasi bahasa Inggris sebagai lingua franca industri hiburan mulai terkikis oleh kebangkitan identitas linguistik lokal yang autentik. Perubahan ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan manifestasi dari proses de-monopolisasi budaya yang didorong oleh demokratisasi teknologi distribusi digital dan perubahan mendasar dalam perilaku konsumsi Generasi Z serta Milenial. Analisis mendalam terhadap data pasar tahun 2024 hingga 2025 menunjukkan bahwa audiens global kini lebih memprioritaskan resonansi emosional dan kejujuran artistik dibandingkan pemahaman lirik secara literal, menciptakan ruang bagi musik alternatif berbahasa ibu—mulai dari dialek Jepang, Korea, hingga bahasa daerah di Indonesia—untuk menduduki posisi sentral dalam ekosistem musik dunia.
Dekonstruksi Hegemoni Global: Runtuhnya Monopoli Bahasa Inggris
Selama beberapa dekade, industri musik global beroperasi di bawah asumsi bahwa keberhasilan internasional mensyaratkan penggunaan bahasa Inggris. Namun, data terbaru dari Luminate dan Spotify mengonfirmasi bahwa narasi ini telah usang. Pada tahun 2023, pangsa pasar musik berbahasa Inggris di Amerika Serikat mengalami penurunan sebesar 3,8%, sementara musik berbahasa Spanyol tumbuh dengan angka yang sama. Penurunan ini menandai tahap baru dalam evolusi industri musik yang lebih beragam dan mencerminkan dunia secara lebih akurat.
Pertumbuhan ini tidak terbatas pada bahasa Spanyol. Bahasa-bahasa lain seperti Hindi, Korea, Jepang, Indonesia, dan Portugis menunjukkan peningkatan jumlah pendengar yang signifikan. Lebih dari setengah dari 66.000 artis yang menghasilkan setidaknya US$10.000 di Spotify pada tahun 2023 berasal dari negara-negara yang bahasa utamanya bukan bahasa Inggris. Hal ini mengindikasikan bahwa ambang batas keberhasilan komersial kini dapat dicapai melalui keterikatan mendalam dengan basis pendengar lokal dan diaspora yang kemudian meluas ke audiens global yang “buta bahasa” namun “peka nada”.
Statistik Pertumbuhan Konsumsi Musik Non-Inggris (2023-2025)
| Bahasa | Pertumbuhan/Status | Peringkat Global | Faktor Pendorong |
| Inggris | Turun 3,8% (di AS) | 1 | Saturasi pasar dan pergeseran selera Gen Z. |
| Spanyol | Naik 3,8% (di AS) | 2 | Ekspansi genre Urban dan Latin Pop. |
| Hindi | Pertumbuhan Pesat | 3 | Integrasi Bollywood dengan musik independen. |
| Korea | Stabil di Puncak | 4 | Globalisasi K-Pop dan kebangkitan K-Indie. |
| Jepang | Pertumbuhan Digital | 5 | Transisi dari fisik ke streaming dan pengaruh anime. |
| Indonesia | Emerging Trend | Top 10 | Viralitas di media sosial dan kebangkitan ‘Local-Core’. |
Pertumbuhan ini didorong oleh apa yang disebut sebagai “borderless listeners,” yakni pendengar yang tidak lagi mempedulikan batasan bahasa atau lokasi geografis dalam memilih musik. Fenomena ini mempercepat laju genre regional untuk melintasi perbatasan negara lebih cepat daripada era sebelumnya.
Transformasi Pasar Jepang: Melampaui “Galapagos Syndrome”
Jepang, sebagai pasar musik terbesar kedua di dunia, secara historis dikenal dengan “Galapagos Syndrome”—sebuah kondisi di mana industri musiknya berkembang secara terisolasi dengan fokus eksklusif pada konsumen domestik dan media fisik seperti CD. Namun, antara tahun 2024 dan 2025, Jepang mengalami transformasi digital yang signifikan. Meskipun penjualan fisik masih memegang porsi sekitar 60%, layanan streaming kini menyumbang 34,5% dari total penjualan musik, meningkat drastis dibandingkan satu dekade lalu.
Kebangkitan artis alternatif seperti Vaundy, King Gnu, dan Mrs. GREEN APPLE menunjukkan bagaimana musik berbahasa Jepang dapat mencapai status superstar global tanpa harus mengorbankan identitas linguistiknya. Keberhasilan mereka sering kali dikaitkan dengan kedalaman budaya fandom Jepang, yang dikenal sebagai oshikatsu. Penggemar di Jepang tidak sekadar menjadi konsumen, melainkan “pendukung” yang memiliki rasa kepemilikan terhadap perjalanan karier sang artis, sebuah model yang kini mulai diadopsi oleh pasar Barat melalui platform seperti Weverse.
Komposisi Pendapatan Industri Musik Jepang (2023)
| Sektor | Pendapatan (US$) | Tren Utama |
| Hiburan Langsung | >3,2 Miliar | Jumlah pertunjukan meningkat tiga kali lipat dalam 20 tahun. |
| Industri Rekaman | 2,15 Miliar | Dominasi fisik (60%) mulai tergeser oleh digital (40%). |
| Penerbitan Musik | 975 Juta | Stabil melalui hak siar, karaoke, dan sinkronisasi iklan. |
| Layanan Streaming | Bagian dari Rekaman | Tumbuh pesat dengan adopsi akun premium oleh Gen Z. |
Strategi promosi musik Jepang di kancah internasional kini tidak hanya bergantung pada tie-up anime, meskipun kolaborasi seperti lagu “Kick Back” dari Kenshi Yonezu untuk Chainsaw Man tetap menjadi katalisator utama. Artis seperti Yuki Chiba (sebelumnya dikenal sebagai KOHH) menunjukkan bahwa rap berbahasa Jepang dapat menembus tangga lagu global melalui viralitas di platform media sosial dan apresiasi terhadap estetika visual serta produksi suara yang unik.
K-Indie: Melawan Arus Dominasi Sistem Idol
Sementara dunia terpaku pada kemilau K-Pop yang diproduksi secara masal oleh sistem manajemen totaliter, arus bawah musik independen Korea (K-Indie) menawarkan narasi yang berbeda. Band-band seperti Say Sue Me dari Busan dan Hyukoh dari Seoul mewakili inti dari gerakan “Local-Core” di Korea Selatan. Mereka menolak formula koreografi dan pemasaran agresif, memilih untuk menulis lirik dalam campuran bahasa Korea dan Inggris yang mencerminkan realitas kehidupan sehari-hari dan hubungan interpersonal.
Say Sue Me, sebuah kuartet indie rock dari Busan, menjadi ikon global melalui estetika surf rock dan shoegaze yang mereka sebut terinspirasi oleh lanskap laut dan pegunungan di kota asal mereka. Keberhasilan mereka memenangkan penghargaan di Korean Music Awards dan tampil di festival internasional seperti Fuji Rock (Jepang) dan berbagai tur Amerika Utara membuktikan bahwa identitas regional—bukan hanya identitas nasional—memiliki daya tarik universal.
Analisis Komparatif: K-Pop vs. K-Indie dalam Konteks Global
| Fitur | K-Pop (Idol System) | K-Indie (Alternative/Local-Core) |
| Fokus Produksi | Visual, koreografi, narasi transnasional. | Tekstur sonik, lirik introspektif, identitas regional. |
| Penggunaan Bahasa | Campuran strategis bahasa Inggris untuk pasar global. | Dominasi bahasa Korea sebagai alat ekspresi emosional yang jujur. |
| Model Bisnis | Manajemen korporat besar dengan dukungan pemerintah. | Mandiri, didukung label indie seperti Electric Muse atau Damnably. |
| Sumber Inspirasi | Tren pop Barat, futurisme, dan dunia virtual. | Alam (misalnya laut Busan), hubungan personal, nostalgia indie 90-an. |
Keberhasilan K-Indie menandakan bahwa audiens global mulai mencari alternatif dari kesempurnaan artifisial pop mainstream. Kejujuran vokal Sumi Choi dari Say Sue Me, yang merasa lebih “terpapar” secara emosional saat bernyanyi dalam bahasa Korea, justru menjadi faktor yang membangun koneksi lebih dalam dengan pendengar asing yang mencari autentisitas.
Fenomena Indonesia: Kebangkitan Bahasa Daerah dalam Estetika Modern
Di Indonesia, tren “Local-Core” mewujud dalam kebangkitan musisi yang secara sadar menggunakan bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, dan Batak dalam genre musik modern. Berbeda dengan era “Pop Daerah” konvensional, gelombang baru ini mengintegrasikan bahasa ibu ke dalam aransemen indie folk, alternative rock, hingga metal, menjadikannya bagian dari gaya hidup modern bagi Generasi Z.
Para ahli bahasa dan budaya mencatat bahwa fenomena ini merupakan bentuk pelestarian budaya yang positif, di mana bahasa daerah tidak lagi dianggap kuno tetapi sebagai simbol kebanggaan dan identitas unik di tengah arus globalisasi. Di kota-kota seperti Medan, gerakan ini sangat terasa di komunitas musik underground dan independen. Penggunaan dialek lokal “Bahasa Medan” atau bahasa Batak dalam lirik lagu bukan hanya soal komunikasi, melainkan pernyataan sikap terhadap dominasi budaya pusat.
Dinamika Musik Independen Regional: Fokus Sumatera Utara
| Unsur Budaya/Artis | Peran dalam Tren “Local-Core” | Implikasi Sosiologis |
| Bahasa Batak (Toba, Karo, dll.) | Digunakan dalam band seperti Fingerprint (“Dongan Sahuta”). | Membangun solidaritas komunitas dan kebanggaan etnik. |
| TobaRock | Eksperimen penggabungan musik tradisional Batak dengan modern rock. | Menciptakan estetika baru yang menghargai warisan tanpa terjebak masa lalu. |
| Rendy Pandugo | Musisi asal Medan yang mencapai sukses nasional. | Menunjukkan mobilitas talenta dari daerah ke pusat dan global. |
| Bahasa Medan | Dialek khas yang digunakan dalam interaksi harian dan lirik. | Representasi identitas urban yang multikultural namun spesifik. |
Industri rekaman regional di Sumatera memiliki sejarah panjang, bermula dari piringan hitam dan kaset pada tahun 1930-an dan 1970-an, yang memediasi budaya etnik ke dalam format populer. Saat ini, dengan kehadiran platform streaming global, musik berbahasa daerah dari Medan atau daerah lain di Indonesia memiliki peluang yang sama untuk ditemukan oleh pendengar di seluruh dunia, sejajar dengan musik dari Jepang atau Korea.
Sosiologi Rasa: Mengapa Bahasa Ibu Menjadi Tren Global?
Kembalinya minat terhadap musik berbahasa daerah dapat dijelaskan melalui teori modal budaya dan kekuasaan simbolik. Musik adalah medan di mana kelas dan posisi sosial ditentukan bukan hanya oleh keindahan, melainkan oleh rasa atau taste. Penggunaan bahasa daerah dalam musik alternatif modern bertindak sebagai strategi konsensus yang memungkinkan musisi untuk membangun prestise melalui keunikan identitas mereka.
Secara psikologis, bahasa ibu membawa muatan emosional yang sering kali hilang dalam terjemahan. Dalam genre seperti indie rock atau folk, di mana narasi adalah kunci, penggunaan bahasa daerah memungkinkan penyampaian nuansa perasaan yang sangat spesifik—seperti kerinduan akan tempat asal atau ekspresi cinta yang menggunakan idiom lokal. Hal ini menciptakan resonansi emosional yang kuat bagi pendengar asli, sekaligus menawarkan pengalaman “wisata auditif” yang autentik bagi pendengar luar.
Faktor Pendorong Psikologis dan Sosial Tren “Local-Core”
- Pencarian Autentisitas: Di dunia yang dibanjiri oleh konten yang dihasilkan oleh algoritma dan AI, pendengar mendambakan sesuatu yang “nyata” dan berakar pada tradisi manusia yang konkret.
ï‚·Â ï‚·Â Identitas dalam Globalisasi: Musik berbahasa daerah memberikan perasaan memiliki (sense of belonging) di tengah homogenisasi budaya global.
ï‚·Â ï‚·Â Estetika Sonik Non-Inggris: Banyak pendengar mengapresiasi musikalitas bahasa non-Inggris (seperti intonasi bahasa Jepang atau rima bahasa Spanyol) sebagai instrumen tambahan dalam komposisi musik.
Aksesibilitas Tanpa Batas: Teknologi streaming telah menurunkan hambatan masuk, memungkinkan lagu dari sudut terpencil dunia masuk ke dalam playlist “Global Top 100”.
Peran Teknologi: Algoritma sebagai Kurator Kebudayaan
Platform streaming bukan sekadar distributor, melainkan kurator aktif yang membentuk selera pendengar. Melalui inisiatif seperti playlist “African Heat”, “Desi Hits”, dan “Gacha Pop”, platform seperti Spotify dan Apple Music secara aktif mempromosikan musik regional kepada audiens internasional. Playlist ini bertindak sebagai gerbang masuk bagi pendengar untuk mengeksplorasi genre yang sebelumnya tidak terjangkau.
Lebih jauh lagi, kemajuan teknologi seperti AI mulai digunakan untuk menjembatani hambatan bahasa tanpa menghilangkan esensi vokal asli artis. Contohnya adalah artis HYBE, Midnatt, yang menggunakan AI untuk merilis lagu dalam berbagai bahasa dengan tetap mempertahankan timbre suaranya sendiri. Meskipun kontroversial, teknologi ini menawarkan potensi bagi musisi lokal untuk memperluas jangkauan mereka tanpa harus belajar bahasa asing secara fasih.
Masa Depan Distribusi Musik dan Dampaknya terhadap Musisi Independen
| Tahun | Inovasi Teknologi | Dampak pada Musik Daerah |
| 2023 | Peningkatan fusi Afro-Latin (Afro-Ritmo) | Kolaborasi lintas bahasa menjadi standar baru. |
| 2024 | Dominasi algoritma berbasis preferensi | Musik indie mendapatkan porsi pendapatan lebih besar (US$4,5M). |
| 2025 | Integrasi AI dalam penerjemahan real-time | Pendengar dapat memahami makna lirik tanpa mengubah bunyi bahasa ibu. |
| 2026 (Prediksi) | Penguatan komunitas superfans digital | Model bisnis bergeser dari jumlah aliran (streams) ke loyalitas penggemar. |
Data industri menunjukkan bahwa pendapatan dari musisi independen telah meningkat empat kali lipat sejak 2017, mencapai hampir US$4,5 miliar pada tahun 2023. Ini membuktikan bahwa ekosistem musik saat ini sangat mendukung artis yang memilih untuk tetap berada di jalurnya sendiri, menggunakan bahasa ibunya, dan membangun basis penggemar secara organik.
Analisis Regional: Kekuatan Komunitas di Medan dan Sumatera Utara
Medan, sebagai metropolis multikultural di Indonesia Barat, menawarkan studi kasus yang menarik tentang bagaimana “Local-Core” berinteraksi dengan dinamika urban. Dengan 60% ekonomi Sumatera Utara didorong oleh perdagangan dan pertanian, Medan menjadi hub finansial yang juga memfasilitasi pertukaran budaya. Musik di sini bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari diplomasi ekspedisi dan komunikasi antar-budaya.
Komunitas musik underground di Medan telah lama menggunakan identitas lokal sebagai bentuk perlawanan simbolik. Band hardcore Fingerprint, dengan lagu “Dongan Sahuta”, menggunakan bahasa Batak untuk menceritakan rintangan hidup dan persaudaraan. Ini adalah contoh nyata bagaimana “Local Core wisdom”—seperti nilai gotong royong—diintegrasikan ke dalam ekspresi musik modern yang keras. Melalui musik, identitas kedaerahan dipertahankan dan ditransmisikan kepada generasi baru di tengah arus modernisasi yang dikontrol.
Struktur Ekosistem Musik Indie di Medan (2024-2025)
| Komponen | Status/Kondisi | Relevansi dengan “Local-Core” |
| Infrastruktur | Venue kecil dan informal, studio rekaman lokal. | Memungkinkan produksi mandiri yang autentik. |
| Media | Radio komunitas dan platform digital lokal. | Ruang publik bagi musik non-mainstream. |
| Bahasa | Dominasi Bahasa Medan dan dialek etnik. | Instrumen utama pembentuk karakter musik. |
| Kolaborasi | Fusi antara rock modern dengan instrumen tradisional (Uning-uningan). | Menciptakan keunikan sonik yang tidak dimiliki daerah lain. |
Keberhasilan musisi dari Medan untuk menembus pasar nasional, seperti Rendy Pandugo melalui kemitraan dengan Universal Music Indonesia, menunjukkan bahwa talenta regional memiliki daya saing yang tinggi ketika diberikan platform yang tepat. Namun, bagi banyak musisi “Local-Core”, tujuan utamanya bukan sekadar popularitas nasional, melainkan pengakuan akan identitas dan keberadaan komunitas mereka.
Masa Depan ‘Local-Core’: Menuju Dunia Musik yang Terdesentralisasi
Tren global saat ini menunjukkan bahwa kita sedang menuju masa depan musik yang terdesentralisasi. Hegemoni budaya Barat yang bersifat satu arah telah digantikan oleh jaringan pengaruh yang saling bersilangan. Musik alternatif dari Jepang, Korea, Amerika Latin, dan Indonesia kini saling berinteraksi dalam satu ruang digital yang sama.
Kita kembali mencintai musik berbahasa daerah karena di dalamnya kita menemukan kembali kemanusiaan yang beragam, yang tidak bisa diseragamkan oleh satu bahasa tunggal. Geliat “Local-Core” adalah pengingat bahwa di era digital yang semakin canggih, akar budaya tetap menjadi kompas yang menentukan ke mana arah rasa kita akan berlabuh. Dengan terus tumbuh dan berkembangnya apresiasi terhadap bahasa ibu, industri musik global bukan hanya menjadi lebih kaya secara ekonomi, tetapi juga lebih dalam secara spiritual dan budaya.
Ke depan, tantangan bagi para pemangku kepentingan industri adalah memastikan bahwa ekosistem ini tetap inklusif dan memberikan perlindungan bagi hak-hak seniman lokal dari eksploitasi. Jika dikelola dengan prinsip keberlanjutan dan rasa hormat terhadap keragaman, gerakan “Local-Core” akan menjadi fondasi bagi masa depan kebudayaan dunia yang lebih harmonis dan autentik.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis komprehensif terhadap pergeseran pasar musik global 2024-2025, dapat disimpulkan bahwa kebangkitan musik berbahasa daerah atau “Local-Core” didorong oleh sinergi antara kemajuan teknologi distribusi, kejenuhan audiens terhadap pop homogen, dan pencarian identitas yang autentik. Dari kesuksesan artis alternatif Jepang yang merangkul digitalisasi, keteguhan band K-Indie dalam mengekspresikan realitas regional, hingga geliat musisi indie di Medan yang menghidupkan kembali bahasa Batak dan Jawa dalam aransemen modern, semua menunjukkan bahwa bahasa daerah adalah aset kreatif yang paling berharga di masa depan. Kita tidak hanya sedang mendengarkan musik; kita sedang mendengarkan kembali suara dunia dalam segala keberagaman dialek dan rasanya.