Loading Now

Transformasi dan Relevansi Gotong Royong di Tengah Arus Individualisme Urban: Analisis Sosio-Kultural, Yuridis, dan Ekologis pada Hunian Vertikal di Indonesia

Gotong royong bukan sekadar sebuah aktivitas fisik kolektif yang termanifestasi dalam kerja bakti, melainkan sebuah konstruksi ontologis yang mendasari eksistensi jati diri bangsa Indonesia. Secara filosofis, konsep ini merupakan perwujudan dari semangat solidaritas dan persatuan yang diadopsi sebagai cara hidup menyeluruh bagi rakyat Indonesia. Dalam diskursus sejarah, Presiden Soekarno memposisikan gotong royong sebagai intisari atau “perasan” dari Pancasila. Jika kelima sila tersebut diperas menjadi satu prinsip tunggal, maka yang tersisa adalah gotong royong—sebuah paham yang dinamis, lebih kuat daripada sekadar ikatan kekeluargaan yang bersifat statis. Gotong royong menggambarkan amal, pekerjaan, dan perjuangan bersama yang dalam istilah lokal disebut sebagai “holopis-kuntul-baris” demi kepentingan umum.

Dalam masyarakat agraris tradisional, gotong royong berakar pada sistem kerjasama tolong-menolong yang mencakup berbagai dimensi kehidupan, mulai dari bercocok tanam, pembangunan rumah, hingga penanganan musibah secara spontan. Koentjaraningrat mengklasifikasikan praktik ini ke dalam dua kategori utama: gotong royong untuk fasilitas pribadi (jaminan sosial) dan gotong royong untuk fasilitas umum (pekerjaan umum). Pada era kepemimpinan selanjutnya, nilai ini dilembagakan melalui program penghayatan dan pengamalan Pancasila, memperkuat posisi gotong royong sebagai legitimasi kultural bagi pembentukan dan keberlangsungan negara-bangsa.

Ditinjau dari perspektif psikologi sosial melalui Basic Human Values Theory yang dikembangkan oleh Shalom Schwartz, gotong royong mencakup sepuluh nilai dasar manusia dengan penekanan pada lima pilar utama: universalisme, keamanan, tradisi, stimulasi, dan kebaikan (benevolence). Kolektivisme yang melekat pada masyarakat Indonesia menunjukkan kepercayaan mendalam pada kekuatan kelompok, di mana keberhasilan kolektif dinilai lebih krusial dibandingkan pencapaian individu.

Dimensi Nilai (Schwartz) Manifestasi Kultural dalam Gotong Royong Implikasi Terhadap Stabilitas Sosial
Universalisme Penghargaan terhadap toleransi dan perlindungan kesejahteraan seluruh umat manusia tanpa memandang latar belakang. Mendorong terciptanya musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaian konflik komunitas.
Keamanan Fokus pada stabilitas hubungan antarmanusia, keharmonisan lingkungan, dan rasa aman kolektif. Menjaga perdamaian nasional dan ketertiban lingkungan sesuai nilai Pancasila.
Tradisi Penghormatan terhadap tata krama, pandangan budaya, dan aturan kelompok yang diwariskan secara turun-temurun. Melestarikan identitas nasional di tengah gempuran nilai-nilai asing dari globalisasi.
Kebaikan (Benevolence) Upaya meningkatkan kesejahteraan orang-orang dalam lingkaran sosial terdekat melalui bantuan tanpa pamrih. Mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi di tingkat mikro melalui mekanisme tolong-menolong.
Stimulasi Pemberian dorongan bagi individu untuk berkontribusi secara optimal demi kebahagiaan bersama. Meningkatkan inovasi sosial dalam memecahkan masalah lingkungan secara partisipatif.

Tantangan Sosiologis di Era Individualisme dan Dinamika Perkotaan

Transisi dari struktur masyarakat agraris menuju masyarakat urban yang kompleks membawa tantangan besar bagi keberlangsungan semangat gotong royong. Di kota-kota besar, kearifan lokal ini mulai jarang terlihat akibat meningkatnya sikap individualistik, rutinitas yang padat, dan perubahan prioritas hidup masyarakat modern. Kehidupan perkotaan yang sering kali dianggap impersonal menciptakan rasa keterasingan di antara warga, di mana interaksi sosial menjadi terbatas dan dukungan lingkungan sekitar melemah.

Fenomena lunturnya gotong royong di daerah perkotaan dipicu oleh faktor-faktor sistemik dan kultural:

  1. Urbanisasi dan Kepadatan Penduduk: Kepadatan penduduk yang tinggi di kota besar sering kali tidak berkorelasi positif dengan kedalaman interaksi sosial. Sebaliknya, hal ini dapat memicu persaingan sumber daya dan stres yang justru mendorong individu untuk menarik diri dari lingkungan sosial guna menjaga privasi mereka.
  2. Globalisasi dan Kompetisi: Arus globalisasi membawa nilai-nilai yang menekankan pencapaian individu dan kompetisi ekonomi. Hal ini sering kali menggantikan paradigma kolaboratif dengan pola pikir transaksional, di mana waktu dinilai sebagai komoditas ekonomi yang sangat terbatas untuk digunakan dalam kegiatan sosial non-profit.
  3. Fragmentasi Sosial: Perbedaan status sosial-ekonomi yang mencolok di perkotaan menciptakan hambatan komunikasi. Masyarakat cenderung berinteraksi hanya dengan kelompok yang memiliki latar belakang serupa, sehingga semangat gotong royong yang bersifat inklusif menjadi sulit diimplementasikan pada skala lingkungan yang luas.4

Ketidakefisienan dalam penyelesaian masalah bersama menjadi dampak langsung dari hilangnya semangat kebersamaan ini. Tanpa koordinasi kolektif, isu-isu seperti kemacetan, banjir, dan pengelolaan sampah menjadi sulit ditangani karena kurangnya partisipasi aktif warga dalam memberikan nilai tambah bagi lingkungannya.4 Kehilangan solidaritas kolektif ini tidak hanya mengancam keutuhan nilai budaya lokal, tetapi juga memperlemah ketahanan komunitas terhadap berbagai krisis.8

Faktor Penghambat Mekanisme Pelemahan Gotong Royong Konsekuensi Sosial-Lingkungan
Mobilitas Tinggi Rutinitas pekerjaan yang menyita waktu mengurangi frekuensi pertemuan fisik antar tetangga. Hilangnya kesempatan untuk membangun kepercayaan (trust) dan keakraban.
Paradigma Individualistik Fokus pada keberhasilan pribadi membuat individu abai terhadap kebutuhan kolektif di sekitarnya. Munculnya rasa keterasingan dan melemahnya sistem pendukung sosial.
Privatisasi Ruang Desain hunian modern yang sangat tertutup membatasi peluang terjadinya interaksi sosial spontan. Ruang publik menjadi sekadar jalur sirkulasi tanpa fungsi sosial yang mendalam.

Implementasi Gotong Royong pada Hunian Vertikal: Perspektif Yuridis dan Organisasional

Apartemen dan rumah susun merupakan representasi fisik dari tantangan gotong royong di era modern. Secara arsitektural, hunian vertikal dirancang untuk memaksimalkan privasi, yang secara alami sering kali menjadi hambatan bagi interaksi komunal. Namun, secara regulatif, pemerintah Indonesia telah menetapkan landasan kuat bagi praktik gotong royong yang terlembaga melalui pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS atau PPPSRS).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, pembentukan P3SRS adalah kewajiban hukum bagi para pemilik unit untuk mengelola kepentingan bersama, memelihara fasilitas, dan mengatur tata tertib kehidupan bertingkat. P3SRS berfungsi sebagai wadah bagi penghuni untuk menyuarakan kebutuhan, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan memastikan lingkungan hunian tetap kondusif.

Struktur dan Fungsi P3SRS sebagai Gotong Royong Modern

Dalam konteks apartemen, gotong royong bertransformasi dari kerja fisik manual menjadi tanggung jawab administratif dan partisipasi demokratis. Anggota P3SRS bekerja sama melalui pengawas dan pengurus yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan pengawas pengelolaan. Tugas utama mereka meliputi:

  • Pengelolaan Fasilitas Umum: Menjamin ketersediaan dan pemeliharaan kolam renang, taman, ruang serbaguna, dan fasilitas olahraga agar dapat dinikmati bersama oleh seluruh penghuni.
  • Penyusunan Tata Tertib (House Rules): Menginisiasi peraturan mengenai kebisingan, penggunaan area umum, dan keamanan guna menciptakan harmoni sosial.
  • Manajemen Keuangan Kolektif: Mengelola Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) sebagai bentuk kontribusi finansial bersama untuk biaya operasional gedung, yang mencerminkan semangat berbagi beban ekonomi dalam pemeliharaan aset bersama.

P3SRS juga berperan sebagai jembatan antara penghuni dengan Badan Pengelola (BP) profesional. Partisipasi aktif penghuni dalam rapat umum anggota (RUA) menjadi esensi dari gotong royong di hunian vertikal, di mana setiap keputusan besar—seperti peningkatan fasilitas atau perubahan iuran—harus disetujui secara kolektif.

Dinamika dan Konflik dalam Pengelolaan Apartemen

Meskipun landasan yuridisnya jelas, implementasi P3SRS sering kali diwarnai oleh konflik kepentingan. Terdapat fenomena di mana pengembang berusaha mempertahankan kontrol atas pengelolaan gedung untuk kepentingan profit, yang memicu perebutan kekuasaan dengan para pemilik unit. Masalah transparansi keuangan, penjualan listrik dan air tanpa izin oleh pengelola, hingga manipulasi dalam pembentukan pengurus menjadi tantangan serius bagi semangat gotong royong di apartemen

Oleh karena itu, keterlibatan pemerintah daerah (seperti Gubernur di DKI Jakarta atau Walikota di daerah lain) sangat krusial untuk mengesahkan dan membina P3SRS agar berjalan sesuai undang-undang. Kesadaran hukum penghuni untuk memperjuangkan hak-hak kolektif mereka adalah bentuk nyata dari gotong royong modern yang bertujuan menciptakan lingkungan hidup yang nyaman, tenteram, dan beradab.

Digitalisasi Gotong Royong: Peran Media Sosial dan Teknologi di Perkotaan

Di tengah keterbatasan waktu dan ruang di kota besar, gotong royong telah mengalami evolusi ke dalam bentuk digital. WhatsApp Group (WAG) kini menjadi infrastruktur sosial yang dominan di lingkungan RT/RW dan apartemen di Indonesia. Platform ini memungkinkan penyebaran informasi secara real-time, mempermudah koordinasi kegiatan, dan membuka ruang diskusi partisipatif yang tidak terbatas oleh pertemuan fisik.

WhatsApp dikategorikan sebagai media dengan kekayaan informasi (media richness) yang menengah, mampu mendukung komunikasi dua arah melalui teks, foto, video, dan dokumen. Dalam lingkungan dengan mobilitas tinggi, WAG membantu warga yang sering pulang malam atau bekerja di luar kota untuk tetap terhubung dengan kegiatan kampung atau apartemen mereka.

Dampak Positif Komunikasi Digital terhadap Kohesi Sosial

Penggunaan media digital terbukti meningkatkan efektivitas koordinasi lingkungan. Data dari pengurus lingkungan menunjukkan adanya peningkatan kehadiran fisik warga dalam kegiatan seperti kerja bakti setelah adanya koordinasi rutin melalui WAG—dari rata-rata partisipasi sebesar 40% meningkat menjadi 65%. Selain itu, interaksi digital juga mempererat ikatan emosional melalui:

  • Dukungan Sosial Spontan: Informasi mengenai warga yang sakit atau kabar duka dapat disebarkan lebih cepat, memicu bantuan sosial yang lebih responsif dari sesama warga.
  • Transparansi Informasi: Pengurus dapat mengunggah laporan keuangan atau notulen rapat secara terbuka, yang meningkatkan kepercayaan warga terhadap pengelolaan lingkungan.
  • Ruang Partisipasi Dialogis: Warga merasa lebih dihargai karena dapat menyampaikan aspirasi, kritik, atau ide terkait pengelolaan lingkungan kapan saja tanpa menunggu rapat formal.

Siskamling Digital dan Keamanan Berbasis Komunitas

Transformasi digital juga menyentuh aspek keamanan. Pemerintah mendorong gerakan “Siskamling Digital” untuk memperkuat keamanan lingkungan dan siber secara kolektif. Di berbagai wilayah, penggunaan CCTV yang dapat diakses bersama melalui ponsel dan koordinasi pengamanan melalui grup pesan instan telah menjadi standar baru dalam menjaga ketertiban umum. Integrasi teknologi ini memungkinkan respon cepat terhadap potensi gangguan keamanan, sekaligus menghidupkan kembali nilai kepedulian sosial di tengah kesibukan masyarakat urban.

Aspek Komunikasi Media Konvensional (Papan Pengumuman/Surat) Media Digital (WhatsApp Group)
Kecepatan Lambat, sering kali informasi sudah basi saat dibaca. Seketika (real-time), menjangkau seluruh warga dalam hitungan detik.
Interaktivitas Satu arah, sulit bagi warga untuk memberi umpan balik. Dua arah, memungkinkan diskusi dan klarifikasi instan.
Aksesibilitas Terbatas pada lokasi fisik tertentu. Dapat diakses di mana saja melalui perangkat gawai.
Dokumentasi Mudah hilang atau rusak secara fisik. Arsip digital dapat disimpan dan dicari kembali dengan mudah.

Studi Kasus: Gotong Royong dalam Pengelolaan Sampah dan Urban Farming di Surabaya

Relevansi gotong royong di kota besar paling nyata termanifestasi dalam inisiatif lingkungan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara kolektif. Kota Surabaya menonjol sebagai pemimpin dalam pengelolaan sampah berbasis komunitas dan pertanian perkotaan yang berkelanjutan.

Pengelolaan Sampah Mandiri dan Kewargaan Ekologis

Di Kelurahan Jambangan, Surabaya, semangat gotong royong telah berevolusi menjadi praktik ecological citizenship (kewargaan ekologis). Warga tidak hanya melihat pengelolaan sampah sebagai kewajiban pemerintah, tetapi sebagai tanggung jawab etis bersama. Melalui bank sampah, teknologi komposter, dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) mandiri, warga berhasil mereduksi timbulan sampah yang dibuang ke TPA secara signifikan.

Salah satu program yang sangat transformatif adalah “Gerakan Balik Kanan” (Geblak), di mana warga secara kolektif mengubah orientasi rumah yang awalnya membelakangi sungai menjadi menghadap ke sungai. Perubahan fisik ini mencerminkan perubahan paradigma sosiokultural: sungai yang sebelumnya dianggap sebagai tempat sampah diubah menjadi ruang hidup, sumber air bersih, dan area edukatif yang asri. Keberhasilan ini didukung oleh peran Kader Surabaya Hebat (KSH) yang secara rutin mengedukasi warga tentang pemilahan sampah dan gaya hidup bersih.

Urban Farming sebagai Gerakan Sosial Modern

Urban farming atau pertanian perkotaan telah menjadi tren gaya hidup sehat sekaligus solusi ketahanan pangan di berbagai kota besar di Indonesia. Di Surabaya dan Jakarta, komunitas urban farming seperti “Jakarta Berkebun” dan kelompok tani di tingkat RW memanfaatkan lahan terbatas dan teknologi hidroponik untuk menghasilkan pangan segar.

Praktik ini menunjukkan bahwa gotong royong dapat diadaptasi menjadi aktivitas yang rekreatif namun produktif. Keberadaan kebun komunitas menjadi titik temu interaksi antar warga dari berbagai latar belakang usia, yang secara tidak langsung memperkuat ikatan sosial di tengah lingkungan perkotaan yang padat. Penggunaan teknologi cerdas berbasis IoT dalam sistem hidroponik (Smart Urban Farming) juga menarik minat generasi muda untuk terlibat dalam kegiatan komunal.

Parameter Keberhasilan Statistik/Data Pengelolaan Sampah Surabaya
Reduksi Volume Sampah Bank sampah mampu mereduksi sekitar 81,50% volume sampah per bulan di tingkat lokal.
Jumlah Infrastruktur Komunal Terdapat 600 bank sampah dan 27 rumah kompos yang aktif beroperasi.
Kapasitas Pengolahan TPA Gasifikasi power plant di TPA Benowo mengelola 1.000 ton, sisanya 800 ton harus direduksi di sumber.
Dampak Ekonomi Nilai ekonomis dari sampah yang dipilah melalui bank sampah menciptakan pendapatan tambahan bagi warga.

Kaitan Gotong Royong dengan Kesehatan Mental dan Resiliensi Masyarakat Kota

Permasalahan kesehatan mental di kota-kota besar Indonesia bukanlah isu yang sepele. Pesatnya urbanisasi sering kali diikuti oleh peningkatan prevalensi depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi suara, dan ketimpangan sosial-ekonomi merupakan faktor risiko utama yang membayangi masyarakat urban.

Data menunjukkan bahwa sekitar 6% penduduk Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, dengan prevalensi yang meningkat tajam di kalangan anak muda dan populasi perkotaan selama masa krisis seperti pandemi. Dalam konteks ini, gotong royong memiliki fungsi terapeutik dan preventif yang sangat krusial.

Dukungan Sosial sebagai Pelindung Psikologis

Interaksi sosial yang nyaman dan menyenangkan merupakan faktor kunci yang membantu penduduk kota bertahan di tengah tekanan hidup yang tinggi. Gotong royong, baik dalam bentuk kerja bakti fisik maupun diskusi di ruang digital, membangun sistem pendukung sosial (social support system) yang efektif untuk:

  • Mengurangi Stres dan Kecemasan: Keanggotaan dalam komunitas yang aktif memberikan rasa aman dan dihargai, yang secara psikologis menurunkan tingkat kecemasan akibat isolasi sosial.
  • Membangun Resiliensi Komunitas: Masyarakat yang terbiasa bergotong royong lebih mampu menghadapi trauma kolektif, seperti bencana alam atau krisis ekonomi, melalui mekanisme bantuan timbal balik yang responsif.
  • Pengurangan Stigma: Program kesehatan mental berbasis komunitas terbukti berhasil meningkatkan keterlibatan masyarakat dan mengurangi stigma terhadap gangguan jiwa, mempermudah akses warga yang membutuhkan bantuan profesional.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menegaskan bahwa upaya meningkatkan kesehatan jiwa adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat. Dengan demikian, menghidupkan kembali semangat gotong royong bukan sekadar melestarikan tradisi, melainkan sebuah strategi kesehatan masyarakat yang mendasar untuk membangun kota yang lebih manusiawi dan berdaya tahan.

Strategi Membangun Komunitas di Apartemen dan Kota Masa Depan

Masa depan pembangunan perkotaan di Indonesia harus mengarah pada konsep “kota kompak” yang tidak hanya efisien secara fisik, tetapi juga inklusif secara sosial. Apartemen dan rumah susun akan terus menjadi pilihan utama untuk mengatasi keterbatasan lahan, namun desain hunian vertikal tersebut harus mempertimbangkan aspek sosiokultural secara mendalam.

Rekomendasi untuk Pembangunan Hunian Vertikal yang Sosialis

Sebuah apartemen yang ideal harus mampu menjamin privasi keluarga sekaligus menyediakan sarana interaksi masyarakat yang memadai. Beberapa strategi yang dapat diterapkan meliputi:

  1. Optimalisasi Ruang Komunal: Perencanaan ruang terbuka hijau, taman bermain anak, rumah ibadah, dan ruang serbaguna harus dilakukan secara matang sejak tahap desain awal. Ruang-ruang ini harus mudah dicapai, memberikan rasa aman, dan menjaga privasi komunitas dari gangguan luar agar interaksi sosial dapat tumbuh secara alami.
  2. Kepemimpinan yang Kuat dan Adil: Keberhasilan gotong royong di tingkat lokal sangat bergantung pada figur pemimpin (Lurah, Ketua RT/RW, atau Pengurus P3SRS) yang mampu menjadi role model dan menggerakkan partisipasi warga secara transparan.
  3. Integrasi Teknologi Cerdas: Implementasi sistem otomatisasi rumah (smart home system) dan aplikasi komunitas harus digunakan untuk meningkatkan kenyamanan dan mempermudah warga dalam bergotong royong secara digital.
  4. Kebijakan Guna Lahan Campuran: Mendorong pembangunan apartemen yang terintegrasi dengan pusat kegiatan ekonomi dan layanan publik guna menciptakan lingkungan yang “walkable” dan mendorong pertemuan antar warga di ruang publik.
Karakteristik Ideal Ruang Komunal Deskripsi Fungsi bagi Gotong Royong
Wadah Kegiatan Sosial Menyediakan tempat fisik bagi pertemuan rutin dan perayaan komunitas.
Kemudahan Aksesibilitas Jarak tempuh singkat dari unit hunian (idealnya < 5 menit) untuk mendorong penggunaan rutin.
Rasa Aman dan Privasi Dilengkapi sistem keamanan yang baik namun tetap terasa inklusif bagi penghuni.
Kenyamanan Fasilitas Perawatan yang baik agar warga betah berlama-lama melakukan interaksi sosial.

Sintesis dan Rekomendasi Strategis bagi Keberlangsungan Gotong Royong

Semangat gotong royong di era individualis bukan hanya masih relevan, tetapi merupakan syarat mutlak bagi ketahanan dan kemajuan masyarakat perkotaan. Meskipun bentuk praktiknya mengalami transformasi—dari cangkul ke gawai, dari kerja bakti fisik ke iuran kolektif P3SRS—esensi dari solidaritas sosial tetap menjadi perekat utama kehidupan berbangsa.

Kesimpulan Relevansi Gotong Royong

Gotong royong di lingkungan apartemen dan kota besar dapat tetap efektif apabila:

  • Dilembagakan secara Yuridis: P3SRS harus diperkuat sebagai badan hukum yang mandiri dan berpihak pada kepentingan penghuni, didukung oleh pengawasan ketat dari pemerintah daerah.
  • Diadaptasi secara Teknologi: Media digital harus digunakan sebagai alat koordinasi yang meningkatkan efisiensi tanpa menghilangkan nilai-nilai kehangatan hubungan antar tetangga.
  • Dikontekstualisasikan dengan Isu Urban: Menghubungkan gotong royong dengan kebutuhan nyata warga kota, seperti pengelolaan sampah, keamanan digital, dan ketahanan pangan melalui urban farming.
  • Didukung Arsitektur yang Manusiawi: Desain hunian vertikal harus memberikan ruang yang cukup bagi terjadinya interaksi sosial yang berkualitas tanpa mengorbankan privasi individu.

Secara keseluruhan, tantangan individualisme di perkotaan dapat diatasi dengan menciptakan ekosistem yang memberikan insentif bagi warga untuk saling peduli. Masyarakat Indonesia memiliki memori kolektif yang kuat tentang nilai-nilai kebersamaan; tugas kita di era modern adalah menyediakan infrastruktur sosial, hukum, dan fisik yang memungkinkan memori tersebut mewujud kembali dalam aksi nyata yang relevan dengan dinamika zaman. Gotong royong adalah jati diri yang akan memastikan Indonesia tetap bertahan dan harmonis di masa depan, baik di desa-desa pedalaman maupun di tengah hutan beton kota metropolitan.