Loading Now

Upacara Kedewasaan: Signifikansi Ritual Transisi dalam Mendukung Kesehatan Mental dan Konsolidasi Identitas Remaja di Berbagai Belahan Dunia

Upacara kedewasaan, atau yang secara teknis disebut sebagai rites of passage, merupakan mekanisme universal yang digunakan oleh masyarakat manusia untuk menandai transisi kritis dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam perspektif antropologi klinis dan psikologi perkembangan, tradisi-tradisi ini bukan sekadar perayaan budaya, melainkan intervensi psikososial yang terstruktur untuk mengelola gejolak kognitif, emosional, dan biologis yang terjadi selama masa remaja. Pentingnya upacara ini berakar pada kebutuhan evolusioner manusia untuk menciptakan makna melalui simbol, metafora, dan gerakan tubuh, yang memungkinkan pikiran dan emosi menemukan tempatnya dalam kesadaran individu yang sedang berkembang. Tanpa adanya penanda transisi yang jelas, individu muda sering kali terperangkap dalam kondisi disorientasi eksistensial, kehilangan arah dalam perjalanan hidup mereka, dan mengalami peningkatan risiko patologi mental.

Struktur fundamental dari upacara kedewasaan secara konsisten mengikuti pola tripartit yang pertama kali diformalkan oleh Arnold van Gennep, yang mencakup tahap separasi (separation), transisi atau liminalitas (liminality), dan inkorporasi atau reintegrasi (incorporation). Tahap separasi melibatkan detasemen simbolis dari identitas lama sebagai anak-anak, yang sering kali ditandai dengan pemisahan fisik dari keluarga atau pembersihan simbolis. Fase kedua, liminalitas, merupakan zona “di antara” di mana inisiat kehilangan status sosial lamanya tetapi belum mendapatkan status baru. Dalam fase ini, inisiat berada dalam kondisi kerentanan psikologis yang tinggi namun juga keterbukaan maksimal terhadap pembelajaran nilai-nilai etika dan tanggung jawab komunitas. Tahap terakhir, inkorporasi, adalah momen ketika individu diterima kembali ke dalam masyarakat dengan identitas baru sebagai orang dewasa yang telah bertransformasi, sering kali melalui perayaan publik yang mengonfirmasi perubahan status tersebut secara sosial.

Fase Ritus Transisi Karakteristik Psikologis Mekanisme Transformasi
Separasi Pelepasan ketergantungan kanak-kanak, kecemasan perpisahan. Pemutusan ikatan emosional dengan status ketergantungan lama.
Liminalitas Ketidakpastian status, stres melalui ujian, pembelajaran intensif. Dekonstruksi identitas lama dan internalisasi nilai-nilai komunitas.
Inkorporasi Penyatuan kembali, pengakuan publik, tanggung jawab baru. Stabilisasi identitas dewasa dan penguatan ikatan sosial.

Arsitektur Neurobiologis Masa Remaja dan Fungsi Penyangga Ritual

Masa remaja merupakan periode perubahan struktur dan fungsi otak yang mendalam, yang berlangsung dari pubertas hingga sekitar usia 25 tahun. Selama jendela perkembangan ini, terjadi ketidakseimbangan temporer antara sistem limbik yang mengatur emosi dan reaktivitas terhadap penghargaan dengan korteks prefrontal (PFC) yang bertanggung jawab atas kontrol kognitif dan regulasi emosi. Upacara kedewasaan berfungsi sebagai kerangka kerja eksternal yang membantu otak remaja mengelola ketidakseimbangan ini dengan menyediakan struktur, batasan, dan dukungan sosial yang jelas.

Secara spesifik, stres berlebihan selama masa remaja dapat mengubah ekspresi gen di otak, khususnya gen yang terkait dengan fungsi bioenergi mitokondria di korteks prefrontal. Gangguan pada respirasi seluler di PFC ini berkorelasi kuat dengan gangguan kognitif, kecemasan, dan penurunan kemampuan sosial di masa dewasa. Ritual yang melibatkan dukungan komunitas bertindak sebagai mekanisme social buffering, yang secara fisiologis mampu memblokir atau mengurangi respons kortisol terhadap stresor evaluatif sosial. Menariknya, efektivitas orang tua sebagai penyangga stres cenderung menurun seiring dengan kematangan pubertas, sementara peran teman sebaya dan tetua komunitas menjadi lebih dominan. Upacara kedewasaan tradisional secara strategis memanfaatkan pergeseran ini dengan menempatkan tetua atau mentor sebagai figur otoritas yang memberikan bimbingan dan perlindungan selama fase inisiasi.

Penyelarasan antara tuntutan sosial dan kapasitas biologis ini menciptakan apa yang disebut sebagai “peta jalan eksperiensial” bagi pengembangan diri. Melalui partisipasi dalam ritual, remaja dapat mengeliminasi disonansi kognitif dengan mendapatkan informasi yang konsisten tentang peran baru mereka, sehingga mengurangi kebingungan mental yang sering kali memicu depresi. Integrasi antara perubahan hormonal, perkembangan saraf, dan pengakuan sosial dalam ritual membantu memastikan bahwa transisi menuju kemandirian tidak dialami sebagai krisis yang merusak, melainkan sebagai evolusi personal yang memberdayakan.

Eksplorasi Tradisi Inisiasi Suku Maasai: Prajurit Menuju Kedewasaan Sosial

Suku Maasai di Kenya dan Tanzania menyediakan salah satu model upacara kedewasaan pria yang paling kompleks dan terstruktur di dunia, yang dikenal melalui tiga rangkaian ritus: EnkipaataEunoto, dan Olng’esherr. Proses ini bukan sekadar pergantian status, melainkan sistem pendidikan berkelanjutan yang mentransfer pengetahuan adat tentang peternakan, manajemen konflik, dan kepemimpinan dari generasi tua ke muda. Enkipaata menandai induksi anak laki-laki ke dalam inisiasi, di mana mereka harus tinggal di pemukiman terisolasi yang disebut Manyatta untuk belajar hidup mandiri dari keluarga inti namun dalam kohesi kelompok sebaya.

Inti dari ritus Maasai adalah pembentukan identitas kolektif yang kuat. Pemuda yang disebut moran atau prajurit junior, menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam tugas melindungi komunitas dan hewan ternak sebelum menjalani upacara Eunoto. Upacara Eunoto melibatkan pencukuran rambut panjang mereka oleh para tetua, sebuah simbol pelepasan status prajurit muda dan transisi menuju kedewasaan senior yang memungkinkan mereka untuk menikah dan memikul tanggung jawab ayah. Kehadiran tetua dalam proses ini memberikan validasi spiritual dan sosial yang krusial; bimbingan mereka berfungsi sebagai jangkar psikologis yang mencegah disorientasi identitas.

Rangkaian Ritus Maasai Target Usia Fokus Utama Simbolisme Utama
Enkipaata 14 – 16 tahun Induksi inisiasi, pembentukan kelompok sebaya. Tinggal di Manyatta, pakaian tradisional merah.
Eunoto ~10 tahun pasca-prajurit Kematangan senior, izin menikah. Pencukuran rambut, penyerahan senjata baru.
Olng’esherr Dewasa Akhir Transisi menjadi tetua senior. Upacara makan daging komunal, otoritas penuh.

Kesehatan mental para inisiat didukung melalui penguatan harga diri dan rasa memiliki yang mendalam. Dengan melewati ujian ketahanan fisik dan disiplin selama masa prajurit, mereka membuktikan kompetensi diri yang nyata di mata komunitas. Meskipun praktik-praktik tradisional ini mengalami tekanan dari modernisasi dan penyusutan lahan budaya, nilai-nilai inti seperti rasa hormat, kerendahan hati, dan tanggung jawab tetap menjadi fondasi bagi kesehatan mental dan stabilitas sosial masyarakat Maasai.

Kekuatan Feminin dan Ketahanan dalam Upacara Sunrise Apache dan Dipo Ghana

Dalam banyak kebudayaan, upacara kedewasaan bagi perempuan sering kali berfokus pada kekuatan spiritual, ketahanan fisik, dan kesiapan untuk peran sosial dewasa. Suku Apache di Amerika Utara merayakan Sunrise Ceremony (Na’ii’ees) selama empat hari di musim panas setelah menstruasi pertama seorang gadis. Upacara ini melibatkan tantangan fisik yang berat, seperti menari selama berjam-jam dan mengikuti aturan diet ketat, di bawah bimbingan wanita yang lebih tua yang telah mempersiapkan mereka selama setahun. Secara psikologis, ritual ini menghubungkan gadis tersebut dengan legenda White Painted Woman, memungkinkan mereka untuk menginternalisasi kekuatan penyembuhan dan keberanian primordial, yang memperkuat ikatan emosional mereka dengan komunitas wanita.

Di Ghana, suku Krobo melaksanakan ritus Dipo yang memiliki tujuan serupa dalam mempersiapkan gadis remaja untuk peran dewasa dan pernikahan. Selama Dipo, para gadis diajarkan nilai-nilai kesucian, keterampilan domestik, dan etika berperilaku oleh tetua perempuan. Ritus ini berfungsi sebagai penanda sosial yang jelas; seorang gadis yang belum menjalani Dipo sering kali tidak diakui sebagai wanita dewasa yang siap menikah oleh keluarganya. Transformasi ini melibatkan penggunaan pakaian tradisional yang indah, manik-manik, dan perhiasan, yang memberikan pengalaman kegembiraan dan pencerahan yang meningkatkan kesejahteraan psikososial inisiat.

Pentingnya ritus perempuan ini terletak pada kemampuannya untuk membangun otonomi emosional sambil tetap mempertahankan keterhubungan keluarga. Penelitian pada remaja Latina yang menjalani Quinceañera menunjukkan bahwa ritual ini memfasilitasi perubahan dinamika hubungan ibu-anak dari ketergantungan menjadi kemitraan dewasa yang lebih otonom. Dengan memberikan ruang publik untuk merayakan kematangan perempuan, masyarakat membantu remaja putri mengembangkan citra tubuh yang positif dan harga diri yang kuat, yang merupakan faktor pelindung utama terhadap gangguan makan dan kecemasan yang umum terjadi pada masa transisi ini.

Rasa Sakit dan Ordeal sebagai Katalis Transformasi: Sateré-Mawé dan Aboriginal

Beberapa kebudayaan menggunakan tingkat stres atau rasa sakit fisik yang ekstrem sebagai bagian dari “ordeal” inisiasi untuk memaksa perubahan kesadaran dan membuktikan kesiapan mental. Suku Sateré-Mawé di Amazon mewajibkan remaja putra untuk memasukkan tangan mereka ke dalam sarung tangan yang diisi dengan semut peluru (bullet ants). Sengatan semut ini menyebabkan rasa sakit yang luar biasa, paralisis sementara, dan getaran hebat, namun inisiat harus menahannya tanpa bersuara sebagai bukti keberanian. Secara neurobiologis, pengalaman traumatis yang terkendali ini dapat memicu fungsi katarsis dan pelepasan endorfin yang mendalam, yang secara kognitif “mencap” identitas baru ke dalam ingatan inisiat.

Suku Aboriginal di Australia memiliki tradisi Walkabout, di mana remaja putra berusia 10 hingga 16 tahun dikirim ke alam liar sendirian untuk bertahan hidup hingga enam bulan. Dalam isolasi total ini, mereka harus menempuh jarak hingga 1.000 mil dan membuktikan kemampuan mereka untuk berkomunikasi dengan alam dan roh leluhur. Tujuan utamanya bukan sekadar kelangsungan hidup fisik, tetapi penemuan diri secara spiritual dan kemandirian emosional. Keberhasilan dalam ujian ini memberikan rasa efikasi diri yang tak tergoyahkan, yang sangat penting bagi ketangguhan mental di masa dewasa.

Budaya Jenis Ordeal Durasi/Metode Hasil Psikologis
Sateré-Mawé Sengatan Semut Peluru 10 menit dalam sarung tangan khusus. Penguasaan diri, pengakuan sebagai prajurit.
Aboriginal Walkabout 6 bulan isolasi di alam liar. Penemuan diri, koneksi spiritual dengan tanah.
Pueblo Indian Cambukan Seremonial Ritual fisik tanpa meneteskan darah. Pengelolaan rasa takut, ketangguhan mental.
Inuit Berburu di Arktik Ekspedisi berburu bersama ayah/tetua. Transmisi keterampilan hidup, ketahanan iklim.

Analisis terhadap praktik-praktik ini menunjukkan bahwa “ordeal” berfungsi untuk menghancurkan ego kanak-kanak dan membangun kembali struktur kepribadian yang lebih kuat dan berorientasi pada komunitas. Dengan menghadapi ketakutan dan rasa sakit dalam konteks yang disetujui secara sosial, remaja belajar bahwa mereka mampu mengatasi kesulitan besar, sebuah pelajaran yang secara fundamental memperkuat kesehatan mental dan kemampuan adaptasi mereka terhadap stresor kehidupan di masa depan.

Signifikansi Kognitif dan Sosial dalam Bar/Bat Mitzvah dan Quinceañera

Dalam tradisi keagamaan yang lebih urban, upacara kedewasaan sering kali menekankan pada kematangan kognitif dan tanggung jawab moral. Tradisi Yahudi melalui Bar Mitzvah (laki-laki) dan Bat Mitzvah (perempuan) pada usia 12 atau 13 tahun menuntut remaja untuk belajar bahasa Ibrani Alkitabiah, membaca Taurat, dan memberikan pidato publik. Proses persiapan yang memakan waktu berbulan-bulan ini merupakan latihan fungsi eksekutif otak yang signifikan, yang membangun kompetensi intelektual dan rasa integritas diri. Ritual ini bukan sekadar seremoni perayaan, melainkan kontrak sosial di mana remaja secara resmi diakui mampu membedakan antara yang benar dan yang salah serta memikul tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri.

Quinceañera dalam budaya Amerika Latin menandai ulang tahun ke-15 seorang gadis sebagai transisi menuju kedewasaan sosial. Meskipun pesta besar sering menjadi sorotan, komponen ritual seperti misa keagamaan dan simbolisme “pergantian sepatu” dari sepatu datar ke sepatu hak tinggi melambangkan perubahan peran dari anak-anak menjadi wanita dewasa. Ritual ini memperkuat ikatan kekeluargaan melalui keterlibatan orang tua baptis (godparents) dan pemberian hadiah simbolis seperti tiara dan Alkitab. Secara psikologis, ini memberikan rasa memiliki dan stabilitas identitas etnis yang kuat, terutama bagi remaja yang hidup dalam konteks migrasi atau marginalisasi.

Partisipasi dalam ritus-ritus ini telah terbukti secara empiris meningkatkan kesejahteraan emosional remaja. Di tengah pandemi COVID-19, gangguan terhadap ritual seperti Quinceañera atau Bar Mitzvah menyebabkan peningkatan stres dan rasa kehilangan di kalangan remaja, karena mereka kehilangan momen pengakuan sosial yang krusial untuk proses berduka atas masa kanak-kanak yang berakhir. Keberadaan ritual ini memberikan struktur bagi pemrosesan emosi yang kompleks, mengurangi perasaan isolasi, dan memperkuat kohesi sosial yang merupakan fondasi kesehatan mental yang positif.

Seijin-no-Hi di Jepang: Antara Kebebasan Baru dan Tekanan Konformitas

Di Jepang, upacara kedewasaan yang dikenal sebagai Seijin-no-Hi atau Hari Kedewasaan merupakan hari libur nasional yang dirayakan setiap bulan Januari. Sejarahnya berakar pada upacara Genpuku dari abad ke-8, namun bentuk modernnya dimulai setelah Perang Dunia II sebagai cara untuk memberi semangat kepada generasi muda dalam membangun kembali negara. Para pemuda yang baru mencapai usia dewasa—yang kini diturunkan menjadi 18 tahun sejak 2022—berkumpul mengenakan pakaian tradisional yang rumit, seperti furisode bagi wanita, untuk mendengarkan pidato resmi dan merayakan status baru mereka sebagai warga negara yang memiliki hak pilih dan tanggung jawab hukum penuh.

Namun, Seijin-no-Hi juga mencerminkan tantangan kesehatan mental yang unik dalam masyarakat Jepang yang kaku. Tekanan untuk segera menyesuaikan diri dengan norma-norma kedewasaan yang produktif sering kali menimbulkan kecemasan dan resistensi. Beberapa individu mengekspresikan pemberontakan mereka melalui perilaku gaduh selama upacara, yang oleh para ahli diinterpretasikan sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan individu di tengah tekanan sosial yang luar biasa. Selain itu, fenomena hikikomori atau isolasi sosial di Jepang menunjukkan bahwa transisi menuju kedewasaan dapat menjadi sangat menakutkan bagi mereka yang merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat.

Elemen Seijin-no-Hi Fungsi Sosial Dampak Psikologis
Pakaian Furisode/Hakama Simbol status lajang dan kesiapan dewasa. Rasa bangga budaya dan keindahan visual.
Pidato Pemerintah Pengakuan hak pilih dan tanggung jawab hukum. Kesadaran akan kewarganegaraan aktif.
Reuni Teman Sekolah Penguatan jaringan dukungan sosial. Mengurangi rasa kesepian masa transisi.
Tekanan Konformitas Integrasi ke dalam struktur kerja/masyarakat. Risiko stres, kecemasan, dan resistensi sosial.

Meskipun demikian, bagi mayoritas remaja Jepang, upacara ini tetap menjadi tonggak sejarah yang memberikan rasa pencapaian dan harapan untuk masa depan. Pendidikan kewarganegaraan yang menyertai perayaan ini membantu mereka memahami peran mereka dalam masyarakat, yang jika diseimbangkan dengan dukungan emosional yang tepat, dapat memitigasi risiko kesehatan mental terkait tekanan kerja dan tanggung jawab orang dewasa di masa depan.

Kekosongan Ritual di Dunia Barat dan Munculnya Perilaku Berisiko

Berbeda dengan masyarakat yang memiliki tradisi kedewasaan yang kuat, masyarakat Barat modern sering kali mengalami “kekosongan ritual” (ritual vacuum). Meskipun ada penanda hukum seperti hak untuk mengemudi, memilih, atau minum alkohol, penanda-penanda ini bersifat fragmentaris dan sering kali tidak disertai dengan transformasi psikologis atau bimbingan mentor yang mendalam. Kondisi ini berkontribusi pada kemunculan fase perkembangan yang disebut emerging adulthood, di mana individu merasa terjebak dalam ambiguitas antara masa remaja dan dewasa selama bertahun-tahun.

Ketiadaan ritual formal mendorong remaja untuk menciptakan inisiasi mereka sendiri, yang sering kali bermanifestasi dalam perilaku berisiko tinggi seperti penyalahgunaan zat, kekerasan geng, atau aktivitas berbahaya lainnya sebagai cara untuk membuktikan keberanian atau kemandirian mereka. Psikolog mencatat bahwa perilaku ini merupakan bentuk “inisiasi mandiri” yang tidak sehat, yang muncul karena kebutuhan biologis akan pengakuan transisi tidak terpenuhi oleh struktur sosial yang ada. Tanpa adanya “peta jalan” yang jelas, banyak orang dewasa muda mengalami disorientasi, kecemasan eksistensial, dan depresi yang berkepanjangan.

Dampak Kekosongan Ritual Konsekuensi Psikologis Manifestasi Perilaku
Ambiguitas Status Kebingungan identitas, kecemasan masa depan. Penundaan tanggung jawab dewasa.
Kurangnya Mentor Perasaan terisolasi, kurangnya bimbingan nilai. Ketergantungan berlebih pada opini teman sebaya.
Inisiasi Mandiri Kebutuhan akan ujian transisi yang tidak terarah. Binge drinking, penggunaan narkoba, kekerasan.
Erosi Komunitas Kehilangan rasa memiliki dan tujuan kolektif. Peningkatan tingkat kesepian dan rasa hampa.

Data menunjukkan bahwa tingkat kesepian di kalangan individu dalam fase emerging adulthood telah meningkat secara signifikan selama empat dekade terakhir, mencapai 0,56 standar deviasi pada Skala Kesepian UCLA. Fenomena ini memperkuat argumen bahwa ritual kedewasaan bukan sekadar “pemanis” budaya, melainkan kebutuhan kesehatan masyarakat yang krusial untuk memastikan transisi yang sukses dan sehat secara mental.

Revitalisasi Ritual sebagai Intervensi Kesehatan Mental Kontemporer

Menyadari dampak negatif dari hilangnya ritual, saat ini muncul gerakan global untuk menghidupkan kembali upacara kedewasaan dalam bentuk yang lebih modern dan inklusif. Program-program seperti Imani Rites of Passage (IROP) di Amerika Serikat telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan identitas rasial, kompetensi sosial, dan mengurangi risiko kekerasan pada remaja kulit hitam melalui kurikulum yang berakar pada nilai-nilai Afrika. Program berbasis sekolah lainnya yang fokus pada tanggung jawab, komunitas, dan identitas maskulin yang positif telah terbukti meningkatkan persepsi diri dan partisipasi sipil pada remaja putra.

Di Kanada, program-program yang dipimpin oleh masyarakat adat, seperti program Rediscovery, menggunakan kegiatan luar ruangan dan bimbingan tetua untuk membantu pemuda menyembuhkan trauma sejarah dan membangun ketangguhan mental. Intervensi ini sering kali menggunakan pendekatan “Dua Mata Melihat” (Two-eyed Seeing), yang menggabungkan kearifan tradisional dengan psikologi modern untuk memberikan dukungan holistik bagi kesehatan mental pemuda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi dalam ritual budaya ini berkorelasi dengan penurunan skor depresi dan peningkatan koneksi budaya yang berfungsi sebagai faktor pelindung terhadap bunuh diri.

Program Revitalisasi Fokus Intervensi Hasil Terukur
Imani Rites (IROP) Identitas Afrisentrik, keterampilan koping. Pengurangan risiko kekerasan, identitas kuat.
Rediscovery Pendidikan luar ruangan, bimbingan tetua. Penyembuhan trauma, pemberdayaan diri.
Making of Men Hubungan ayah-anak, komunikasi terbuka. Penurunan konformitas norma maskulin kaku.
Land-based Healing Koneksi dengan tanah, tradisi leluhur. Penurunan tingkat bunuh diri dan depresi.

Elemen kunci dalam revitalisasi ritual ini adalah keterlibatan mentor dewasa yang terlatih dan penciptaan lingkungan yang aman untuk refleksi diri. Dengan memberikan ruang bagi remaja untuk mengeksplorasi nilai-nilai pribadi mereka dalam konteks dukungan komunitas, program-program ini mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh sekularisasi masyarakat modern. Ritual kedewasaan modern menawarkan kerangka kerja yang stabil untuk mengelola kecemasan transisi, membangun modal sosial, dan mempromosikan kesehatan mental yang berkelanjutan bagi generasi masa depan.

Kesimpulan: Ritual sebagai Fondasi Kesejahteraan Psikososial Remaja

Secara keseluruhan, analisis terhadap berbagai upacara kedewasaan di seluruh dunia menegaskan bahwa tradisi menandai transisi usia memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung kesehatan mental remaja. Melalui struktur tiga tahap van Gennep—separasi, liminalitas, dan inkorporasi—ritual-ritual ini memberikan penanda psikologis yang jelas bagi akhir masa kanak-kanak dan awal tanggung jawab dewasa. Secara neurobiologis, ritual berfungsi sebagai mekanisme penyangga stres yang membantu menstabilkan perkembangan otak remaja dan melindungi individu dari dampak buruk kortisol selama periode kerentanan tinggi.

Tradisi-tradisi ini, baik yang melibatkan ordeal fisik seperti suku Sateré-Mawé, tantangan spiritual seperti suku Apache, maupun pencapaian kognitif seperti Bar Mitzvah, secara konsisten membangun efikasi diri dan identitas yang stabil. Sebaliknya, ketiadaan ritual formal dalam masyarakat modern telah berkontribusi pada meningkatnya fenomena emerging adulthood, kesepian yang meningkat, dan perilaku berisiko sebagai bentuk inisiasi mandiri yang tidak sehat. Oleh karena itu, integrasi kembali nilai-nilai ritual melalui program inisiasi modern yang terstruktur bukan hanya merupakan upaya pelestarian budaya, melainkan kebutuhan klinis yang mendesak untuk memperkuat ketangguhan emosional, kohesi sosial, dan kesehatan mental remaja secara global. Dengan memberikan pengakuan sosial dan bimbingan mentor yang tepat, masyarakat dapat memastikan bahwa transisi menuju kedewasaan dialami sebagai perjalanan yang bermakna, memberdayakan, dan aman secara psikologis.