Pusat dan Pinggiran: Mengapa Beberapa Negara Tetap Kaya Sementara yang Lain Terjebak dalam Kemiskinan?
Memetakan Ketidaksetaraan Struktural Global
Disparitas kekayaan dan kemiskinan antar negara merupakan salah satu tantangan paling mendesak dalam studi ekonomi politik global. Alih-alih menyempit seiring berjalannya globalisasi, jurang pemisah ini—antara sekelompok kecil negara kaya yang berteknologi maju dan mayoritas negara miskin yang bergantung pada ekstraksi sumber daya—tampak semakin menguat. Pola ini secara fundamental menantang narasi pembangunan linear yang sering diasumsikan oleh teori-teori awal, yang mengklaim bahwa semua negara pada akhirnya akan mencapai status “modern” jika mereka mengikuti jalur kebijakan yang tepat. Kenyataannya, kemiskinan yang terus-menerus dialami oleh negara-negara di Dunia Selatan menunjukkan adanya hambatan struktural yang bersifat eksternal, bukan sekadar kegagalan internal.
Rasionalitas Penggunaan Teori Sistem Dunia (WST) Immanuel Wallerstein
Untuk memahami sifat struktural ketidaksetaraan global yang persisten ini, laporan ini menggunakan kerangka Teori Sistem Dunia (World-Systems Theory, disingkat WST) yang dikemukakan oleh Immanuel Wallerstein. WST menyediakan lensa makro-historis yang komprehensif, berbeda dengan analisis yang berfokus semata-mata pada dinamika politik domestik atau kebijakan nasional. WST berpendapat bahwa unit analisis sosiologis primer bukanlah negara-bangsa (nation states) melainkan “sistem dunia” yang terintegrasi secara inter-regional dan transnasional melalui pembagian kerja.
Wallerstein mendefinisikan sistem dunia modern sebagai ekonomi dunia kapitalis (modern world-economy), yang didorong oleh logika tunggal: akumulasi modal tanpa akhir (endless accumulation of capital). Dalam sistem ini, negara-negara dikelompokkan ke dalam hierarki fungsional—Pusat (Core), Semi-Pinggiran (Semi-Periphery), dan Pinggiran (Periphery)—yang menghasilkan dan mereproduksi ketidaksetaraan melalui mekanisme pertukaran dan ekstraksi nilai yang sistematis.
Tesis Utama Laporan dan Struktur Pembahasan
Tesis utama yang diangkat dalam laporan ini adalah bahwa kemiskinan persisten negara-negara Pinggiran bukanlah kecelakaan atau kegagalan pembangunan, melainkan hasil dari dinamika struktural yang sengaja diciptakan dan dipertahankan. Negara-negara Inti dan agen korporat mereka secara aktif mempertahankan hierarki ini melalui mekanisme pertukaran yang tidak setara (unequal exchange) dan penetrasi politik yang mendalam.
Laporan ini akan mengelaborasi bagaimana struktur hierarkis ini bekerja, menganalisis instrumen utama yang melanggengkan ketergantungan (yaitu eksploitasi sumber daya dan peran korporasi multinasional), dan kemudian menilai peluang serta tantangan bagi negara Pinggiran untuk bergerak menuju status Semi-Pinggiran.
Kerangka Teori Sistem Dunia: Struktur Fungsional dan Logika Kapitalis
Definisi dan Unit Analisis WST
Wallerstein menekankan bahwa WST adalah pendekatan multidisiplin terhadap sejarah dunia dan perubahan sosial yang menempatkan sistem dunia sebagai unit utama analisis sosial. Sistem dunia kapitalis modern yang dimaksud berciri khas oleh pembagian kerja yang hirarkis dan bersifat transnasional. Perbedaan ini adalah hasil dari cara pasar dunia berfungsi untuk mempertahankan sistem tersebut dan mengamankan akumulasi modal bagi segelintir aktor tertentu. Logika akumulasi modal ini menentukan bagaimana barang dipertukarkan dalam pasar dunia, seringkali dalam ketentuan yang tidak setara, yang menjadi inti dari sistem.
Kontras Teoretis: WST vs. Paradigma Lain
WST muncul sebagai kritik tajam terhadap Teori Modernisasi, yang menganggap perubahan sosial terjadi secara bertahap dan linier, bergerak dari masyarakat primitif menuju model modern ala Amerika Serikat atau Eropa Barat. Teori Modernisasi berfokus pada variabel internal negara seperti budaya atau kebijakan untuk menjelaskan kemiskinan.
Sebaliknya, WST memiliki kedekatan dengan Teori Ketergantungan (Dependency Theory), yang sudah lebih dulu menekankan pengaruh struktur ekonomi global yang tidak seimbang. Teori Ketergantungan menyoroti penetrasi finansial dan teknologi negara Core ke negara Pinggiran dan Semi-Pinggiran, yang menghasilkan struktur ekonomi yang tidak seimbang di dalam masyarakat Pinggiran. Ketidakseimbangan ini membatasi pertumbuhan mandiri di negara Pinggiran. Namun, WST menawarkan kerangka yang lebih canggih dan historis, menambahkan dimensi waktu yang panjang (longue durée) dan struktur tiga zona yang lebih dinamis, yang memungkinkan analisis mobilitas dan peran geopolitik yang lebih kaya.
Struktur Tiga Zona Fungsional Global
Pembagian kerja internasional dalam sistem dunia Wallerstein membagi negara-negara menjadi tiga zona utama, di mana setiap zona memainkan peran fungsional yang berbeda untuk mempertahankan keseluruhan sistem kapitalis.
Negara Inti (Core)
Negara Inti adalah negara kapitalis dominan yang menguasai industri padat modal (capital-intensive) dan keterampilan tinggi (higher-skill), mengendalikan teknologi canggih, dan menguasai keuangan global. Negara Inti secara sistematis mengeksploitasi negara Pinggiran dengan mengambil tenaga kerja dan bahan mentah dari mereka. Monopoli Inti atas barang manufaktur dan kontrol atas upah global secara terus-menerus memperkuat dominasinya. Selama beberapa abad terakhir, status hegemoni global telah berpindah dari Belanda ke Inggris, dan baru-baru ini ke Amerika Serikat.
Negara Pinggiran (Periphery)
Negara Pinggiran berada di posisi terbawah hierarki, dicirikan oleh industri padat karya (low-skill, labor-intensive) dan, yang paling penting, ekstraksi bahan mentah, seperti tanaman komoditas (cash crops). Negara Pinggiran bergantung sepenuhnya pada negara Inti dalam hal modal dan teknologi. Ketergantungan ini, yang jelas terlihat dalam Teori Ketergantunga, menghasilkan keterbelakangan dan sangat tidak menguntungkan bagi negara-negara ini, membatasi pembentukan modal dan perkembangan ekonomi yang pesat. Negara-negara Pinggiran berfungsi sebagai pasar bagi barang manufaktur yang diproduksi oleh Core.
Negara Semi-Pinggiran (Semi-Periphery)
Negara Semi-Pinggiran menempati posisi tengah, bertindak sebagai penyangga struktural yang sangat penting bagi stabilitas sistem. Secara ekonomi, negara-negara ini menawarkan peluang ekonomi yang relatif beragam kepada warga negaranya, namun pada saat yang sama, mereka dicirikan oleh kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin.
Secara fungsional, Semi-Pinggiran dibutuhkan untuk menstabilkan sistem dunia, memfasilitasi interaksi, dan menyediakan koneksi antara negara Pinggiran berpendapatan rendah dan negara Inti berpendapatan tinggi. Posisi ini adalah ambivalen: Negara Semi-Pinggiran dapat dianggap sebagai negara Inti yang mengalami penurunan atau negara Pinggiran yang berhasil meningkatkan posisinya. Negara-negara ini melakukan sub-eksploitasi terhadap negara Pinggiran sambil juga dieksploitasi oleh negara Inti.
Peran ganda ini memiliki konsekuensi politik yang mendalam yang menopang kelangsungan kapitalisme global. Jika sistem hanya terdiri dari Inti dan Pinggiran, potensi front persatuan anti-Core dari Pinggiran akan jauh lebih jelas. Namun, dengan adanya Semi-Pinggiran yang juga mengeksploitasi Pinggiran, konflik terpecah; sebagian negara Pinggiran memiliki harapan untuk mobilitas ke atas (menjadi Semi-Pinggiran), sementara yang lain melihat Semi-Pinggiran sebagai penindas lokal. Struktur yang ambigu ini memecah potensi polarisasi ekstrem dan revolusi struktural, sehingga menjaga sistem secara politik agar tidak runtuh.
Tabel II-1: Perbedaan Struktural Tiga Zona Sistem Dunia (Fungsionalitas dan Peran)
| Zona Sistem Dunia | Karakteristik Ekonomi Utama | Peran Fungsional dalam Sistem | Mekanisme Eksploitasi yang Dijalankan |
| Inti (Core) | Industri padat modal, teknologi tinggi, kontrol finansial. | Monopoli produksi manufaktur, akumulasi kapital, penentuan upah global. | Pertukaran tidak setara melalui kontrol paten, harga tinggi barang jadi, dan kekuatan politik/militer |
| Semi-Pinggiran (Semi-Periphery) | Ekonomi diversifikasi, mix Core/Periphery, kesenjangan kaya-miskin ekstrem. | Penstabil sistem, penyerap guncangan politik/ekonomi, jembatan interaksi. | Dieksploitasi oleh Core; bertindak sebagai sub-eksploitator terhadap Pinggiran . |
| Pinggiran (Periphery) | Ekstraksi bahan mentah, industri padat karya, skill rendah. | Pemasok bahan mentah dan tenaga kerja murah, pasar untuk barang Core | Ketergantungan modal dan teknologi, keterbatasan pertumbuhan mandiri |
Mekanisme Ketergantungan: Logika Eksploitasi dan Pertukaran yang Tidak Setara
Analisis Mendalam Pertukaran yang Tidak Setara (Unequal Exchange)
Pertukaran yang tidak setara adalah mekanisme sentral yang mendefinisikan hubungan antara Inti dan Pinggiran, memastikan bahwa surplus nilai terus mengalir dari negara-negara yang kurang kuat ke negara-negara yang dominan. Wallerstein menyebut ekonomi dunia kapitalis sebagai mekanisme apropriasi surplus yang canggih dan efisien. Mekanisme ini bergantung pada penciptaan surplus melalui produktivitas yang terus berkembang, di mana surplus ini kemudian diekstrak untuk kepentingan elit Inti melalui penciptaan profit.
Pertukaran tidak setara mengacu pada proses atau mekanisme yang secara inheren mereproduksi pembagian kerja Inti-Pinggiran. Sifat sistem kapitalis yang dinamis berarti negara Inti terus-menerus mengembangkan cara-cara baru untuk mengekstraksi keuntungan dari negara atau kawasan miskin.
Instrumentasi Kekuatan dan Dumping
Logika pasar bebas dan persaingan seringkali dipatahkan oleh kenyataan politik yang keras dalam WST. Negara-negara Inti memiliki kekuasaan politik, ekonomi, dan militer yang diperlukan untuk memberlakukan tingkat pertukaran yang tidak setara. Kekuatan ini memungkinkan Core untuk mendikte harga di pasar global, memastikan bahwa negara Pinggiran menjual bahan mentah dengan harga yang lebih rendah daripada yang mungkin terjadi di pasar yang benar-benar bebas.
Lebih jauh, instrumentasi kekuatan ini juga memungkinkan negara Inti untuk mengeksploitasi negara Pinggiran untuk mendapatkan tenaga kerja murah dan menimbun (dump) barang-barang yang tidak aman atau bahkan limbah di lingkungan negara Pinggiran, serta menegakkan paten dan hambatan perdagangan yang melindungi keuntungan Inti. Eksploitasi tenaga kerja murah ini, melalui upah minimum yang rendah, berkontribusi pada hambatan pembentukan modal di tingkat rumah tangga dan memperkuat kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin di negara-negara Pinggiran .
Evolusi Mekanisme Eksploitasi: Dari Komoditas Mentah ke Perangkap Teknologi
Meskipun eksploitasi bahan mentah tetap fundamental, mekanisme eksploitasi telah berevolusi seiring dengan meningkatnya penetrasi finansial dan teknologi Core ke negara Pinggiran dan Semi-Pinggiran. Penetrasi ini menghasilkan struktur ekonomi yang tidak seimbang yang membatasi kemampuan negara-negara Pinggiran untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan mandiri.
Mekanisme modern yang paling penting adalah Perangkap Teknologi Permanen. Ketika investasi asing langsung (FDI) atau Korporasi Multinasional (MNC) masuk ke negara Pinggiran, mereka seringkali membawa produktivitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan rekan domestik mereka. Namun, dalam banyak kasus, MNC enggan memproduksi atau membeli produk setengah jadi dari pasar domestik. Sebaliknya, untuk mempertahankan produksi, komponen utama harus diimpor atau dipasok dari pabrik/perusahaan induk asalnya.
Sebagai contoh, PT Astra International, perusahaan otomotif terintegrasi besar di Indonesia, harus mengimpor mesin dari Jepang, sementara PT Boma-Visma Indra mengimpor suku cadang utama mesin diesel dari Jerman. Kenyataan ini menunjukkan bahwa MNC secara struktural menahan transfer teknologi penuh dan pengembangan rantai pasokan domestik. Ini mengunci negara Pinggiran dalam ketergantungan abadi pada modal dan paten Core, memastikan aliran pendapatan residual yang berulang dan berkelanjutan ke Core melalui penjualan komponen penting dan lisensi teknologi. Alih-alih mendapatkan satu kali transfer surplus melalui penjualan barang jadi yang mahal, Core memastikan transfer surplus yang berulang dan berkelanjutan melalui penjualan input produksi yang diperlukan, menempatkan Pinggiran pada posisi yang tidak menguntungkan dalam Rantai Nilai Global (Global Value Chain, GVC).
Tabel III-2: Mekanisme Modern Ekstraksi Surplus (Pertukaran yang Tidak Setara)
| Mekanisme Modern Eksploitasi | Deskripsi dan Implementasi | Dampak Utama pada Negara Pinggiran |
| Kontrol GVC dan Teknologi | MNC mengendalikan tahapan kritis produksi, memposisikan Pinggiran sebagai pemasok input/tenaga kerja murah | Ketergantungan struktural pada desain dan proses Core; pembatasan diversifikasi ekonomi. |
| Ketergantungan Input/Impor Kunci | MNC enggan melokalisasi rantai pasokan, mewajibkan impor komponen utama dari negara induk | Pengurasan modal melalui impor; hilangnya kesempatan untuk pengembangan industri komponen lokal (Backward Linkages). |
| Eksploitasi Tenaga Kerja Murah | Menggunakan upah rendah dan kondisi pasar tenaga kerja yang kompetitif sebagai alat untuk meningkatkan profit Core | Hambatan pembentukan modal di tingkat rumah tangga; kesenjangan ekstrem antara kaya dan miskin |
| Pengekangan Paten/IPR | Inti menegakkan paten dan hak kekayaan intelektual (IPR) secara agresif | Pencegahan alih teknologi; monopoli harga untuk produk inovatif (farmasi, perangkat lunak, dll.). |
Peran Korporasi Multinasional (MNCs) dalam Politik dan Ekonomi Lokal
MNCs sebagai Katalisator FDI dan Struktur Ekonomi
Masuknya Korporasi Multinasional ke negara-negara berkembang bukanlah fenomena baru. Negara-negara seperti Indonesia memiliki daya tarik tinggi bagi investor asing karena kekayaan sumber daya alam, jumlah penduduk yang besar, serta posisi geografis yang strategis. Periode 1967 hingga 1974 ditandai sebagai periode masuknya perusahaan multinasional dalam skala besar ke Indonesia
Meskipun investasi asing langsung (FDI) yang dibawa MNC dapat memberikan kontribusi signifikan, produktivitas MNC yang relatif tinggi dibandingkan perusahaan domestik tidak selalu berkorelasi positif dengan manfaat pembangunan lokal yang setara. Selain itu, kebijakan dan peraturan pemerintah yang sering berubah dapat mengirimkan sinyal yang ambigu, yang pada akhirnya membatasi jumlah investasi asing yang masuk.
Kontrol Regulasi dan Intervensi Politik
Hubungan antara MNC dan negara tuan rumah (host country) secara inheren bersifat tegang dan tidak selalu selaras. Negara tuan rumah sering kali menuntut persekutuan atau kerja sama dalam berbagai bentuk, seperti usaha joint venture. Tuntutan ini bertujuan untuk mengurangi persaingan dan memastikan manfaat mengalir ke mitra lokal.
Raymond Vernon berpendapat bahwa seiring meningkatnya operasi MNC, tuntutan dari pemerintah negara tuan rumah untuk bekerja sama dengan mitra lokal juga meningkat. Apabila tuntutan kerja sama ini kurang ditanggapi oleh MNC, pemerintah tuan rumah dapat mendorong perusahaan lokal untuk bersaing secara langsung dengan MNC yang bersangkutan. Meningkatnya intervensi ini, baik dari pemerintah tuan rumah maupun negara asal MNC, menimbulkan permasalahan yurisdiksi ganda (multiple jurisdiction) yang kompleks, yang menyulitkan upaya regulasi nasional terhadap kekuatan korporat transnasional.
Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Resource Curse
Salah satu dampak paling nyata dari dominasi MNC di negara Pinggiran adalah eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang berujung pada fenomena Resource Curse (Kutukan Sumber Daya). Resource Curse terjadi ketika kekayaan alam, alih-alih menjadi modal pembangunan, justru menjadi sumber korupsi dan kehancuran .
Contoh kontemporer menunjukkan bagaimana over-eksploitasi SDA, seperti nikel di Sulawesi, dapat menyebabkan kehancuran lingkungan dan sosial. Meskipun konstitusi dan regulasi seyogianya mengatur tata kelola SDA yang dilatari kondisi riil kekayaan negara, pada praktiknya, kekuatan lobi korporat sering kali mengikis perlindungan hukum ini.
Fenomena ini bukan sekadar kegagalan tata kelola atau korupsi lokal semata; ia merupakan Pabrikasi Kelemahan Negara (State Weakness) yang didukung secara struktural. Kekuatan lobi Korporasi Multinasional mempengaruhi kebijakan dan peraturan pemerintah terkait investasi. Melalui mekanisme ini, negara Inti menggunakan MNC sebagai agen untuk menekan kedaulatan regulasi negara Pinggiran. Mereka secara aktif memanfaatkan, atau bahkan membiayai, kelemahan institusional lokal (seperti korupsi) untuk memastikan peraturan yang menguntungkan mereka—yaitu, akses SDA yang terjamin, cepat, dan murah. Dalam konteks WST, korupsi dan kegagalan tata kelola di Pinggiran secara sistematis menjadi mekanisme untuk mempertahankan struktur ketergantungan yang menguntungkan Core, yang selaras dengan pandangan Wallerstein mengenai kekuatan politik dan militer Core yang digunakan untuk menegakkan tingkat pertukaran tidak setara.
Dinamika Mobilitas dan Transisi: Jalan dari Pinggiran ke Semi-Pinggiran
Ambisi Mobilitas dan Regulasi Pasar Domestik
Meskipun WST menekankan sifat struktural hierarki, ia juga mengakui dinamika yang memungkinkan mobilitas vertikal. Negara Semi-Pinggiran adalah contoh paling jelas, berfungsi sebagai “negara pinggiran yang berusaha meningkatkan posisi dalam sistem ekonomi dunia”. Pergerakan dari Pinggiran ke Semi-Pinggiran biasanya tidak terjadi secara pasif melalui integrasi pasar semata, melainkan melalui Industrialisasi Dipimpin Negara (State-Led Industrialization – SLI).
Sebuah langkah kunci dalam strategi mobilitas ini adalah kepentingan langsung negara Semi-Pinggiran untuk mengatur dan mengawasi pertumbuhan pasar dalam negeri. Hal ini seringkali melibatkan kebijakan substitusi impor dan fokus pada pemrosesan bahan mentah menjadi barang jadi, sebuah tantangan yang masih dihadapi oleh negara-negara kaya SDA seperti Indonesia (misalnya, kebutuhan untuk mengolah nikel menjadi baterai).
Jalur Pembangunan Otonom dan Tantangan GVC
Agar mobilitas menjadi berkelanjutan, negara Pinggiran harus mengembangkan strategi yang mampu meningkatkan kapasitas teknologi dan inovasi lokal, sehingga negara tersebut tidak hanya menjadi penyedia tenaga kerja murah. MNC dapat menjadi mitra strategis melalui inisiatif seperti program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), pelatihan tenaga kerja, dan transfer teknologi. Namun, keberhasilan sinergi ini sangat bergantung pada dua faktor kritis: regulasi pemerintah yang kuat dan kapasitas negosiasi daerah yang efektif, serta komitmen MNC terhadap pembangunan berkelanjutan.
Jika regulasi tidak efektif, negara Pinggiran akan tetap terjebak dalam posisi struktural yang rendah dalam Rantai Nilai Global, di mana MNC mengendalikan tahapan penting produksi, sementara keuntungan tertinggi tetap berada di Inti yang memegang kendali atas paten dan teknologi.
Studi Kasus Kontemporer: China dan BRICS sebagai Kekuatan Semi-Pinggiran
Analisis terhadap munculnya China dan kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) menawarkan studi kasus yang paling relevan mengenai dinamika mobilitas dalam sistem dunia kontemporer.
Ketahanan Ekonomi dan Status Inti-In-Waiting
China telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk menyerap tekanan dan beradaptasi terhadap turbulensi global, seperti dampak tarif Amerika Serikat, gangguan rantai pasokan, dan meningkatnya ketegangan geopolitik. Ketahanan ekonomi ini, yang sering terlewatkan dalam komentar Barat, adalah karakteristik yang lebih sesuai dengan Negara Inti yang mapan daripada negara Pinggiran. Bersama dengan BRICS, China telah menciptakan kekuatan kerja sama kelompok baru yang memberikan peluang ekonomi dan menantang kekuatan Amerika Serikat.
Strategi Geopolitik BRICS
China memanfaatkan kerja sama BRICS untuk tujuan ganda: memperkuat identitasnya sebagai negara berkembang dan membangun citra global melalui bantuan kepada negara berkembang lainnya, sekaligus memperkuat posisi ekonomi dan politiknya di pentas internasional
Mengendalikan GVC Masa Depan (Transisi Hijau)
Strategi utama yang dilakukan oleh Tiongkok menunjukkan upaya untuk mendefinisikan ulang struktur Inti dengan mendominasi sektor teknologi tinggi berikutnya. Tiongkok memanfaatkan kerja sama BRICS untuk memperluas pengaruhnya di bidang energi hijau melalui investasi strategis, alih teknologi, dan kebijakan berorientasi keberlanjutan [18]. Melalui inisiatif seperti BRICS Energy Research Cooperation Platform dan New Development Bank, Tiongkok mendorong proyek energi terbarukan di negara-negara anggota dan negara mitra.
Pendekatan ini melibatkan pembentukan aliansi dan transfer teknologi yang memungkinkan negara-negara BRICS memperoleh manfaat dari keunggulan teknologi Tiongkok [18]. Dengan membangun jaringan manufaktur dan distribusi energi hijau global yang dipimpin oleh Tiongkok, negara ini secara fundamental berusaha meniru strategi hegemonik masa lalu—menciptakan ketergantungan struktural baru pada teknologi dan modalnya sendiri. Ini adalah upaya untuk bertransisi dari sub-eksploitator Semi-Pinggiran menjadi hegemoni baru, yang menantang arsitektur institusional yang didominasi oleh negara Inti yang sudah ada.
Tabel V-1: Strategi Mobilitas Ekonomi: Upaya Transisi ke Status Inti (Berdasarkan Pengalaman Semi-Pinggiran)
| Strategi Mobilitas | Deskripsi dan Fokus | Contoh/Mekanisme WST | Tantangan Struktural Utama |
| Industrialisasi Dipimpin Negara (SLI) | Pengaturan dan pengawasan ketat terhadap pasar domestik; investasi pada industri kunci | Negara Asia Timur Pasca-Perang; kontrol modal asing dan substitusi impor. | Menghadapi tekanan sanksi dan hambatan dagang dari Core yang ada |
| Pengendalian GVC (Teknologi Masa Depan) | Menginvestasikan dan mendominasi sektor teknologi tinggi yang baru muncul (misalnya, energi hijau, AI) | Strategi China melalui BRICS: Alih teknologi strategis dan investasi langsung. | Membutuhkan modal masif dan kemampuan inovasi yang tinggi; risiko menjadi Inti-in-waiting yang meniru eksploitasi. |
| Pembentukan Institusi Paralel | Menciptakan aliansi politik dan keuangan alternatif di luar Inti (IMF, World Bank) | New Development Bank (NDB) BRICS; memperkuat identitas global Selatan. | Membutuhkan waktu untuk membangun kredibilitas dan skala yang sebanding dengan institusi yang ada. |
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Rekapitulasi: Logika Struktural Kemiskina
Analisis melalui lensa Teori Sistem Dunia Immanuel Wallerstein secara tegas menunjukkan bahwa ketidaksetaraan global yang persisten—perbedaan antara negara Pusat yang kaya dan negara Pinggiran yang miskin—adalah hasil yang inheren dan terstruktur dari ekonomi dunia kapitalis modern. Kemiskinan di Pinggiran merupakan fungsi struktural dari pembagian kerja transnasional yang tidak setara, yang direproduksi melalui mekanisme unequal exchange. Mekanisme ini didukung dan ditegakkan oleh kekuatan politik, ekonomi, dan militer negara-negara Inti serta agen operasional mereka, Korporasi Multinasional (MNCs). Logika ini menempatkan kemiskinan sebagai prasyarat bagi kemakmuran Inti.
Relevansi WST di Abad ke-21
Di era yang dicirikan oleh globalisasi yang intens, di mana modal dan korporasi transnasional memiliki kemampuan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk melintasi batas-batas nasional, WST tetap menjadi kerangka analitis yang sangat relevan. Kekuatan korporasi transnasional seringkali melampaui kemampuan kontrol negara-bangsa, bahkan negara yang kaya. WST menyediakan lensa yang kuat untuk memahami ketidakberdayaan relatif negara-negara miskin dalam menghadapi kapital global yang dominan. Ketergantungan struktural pada modal, teknologi (termasuk melalui perangkap teknologi komponen impor), dan pasar Core memastikan bahwa akumulasi surplus nilai terus berlanjut ke atas, melanggengkan hierarki tiga tingkat.
Untuk negara-negara Pinggiran dan Semi-Pinggiran yang bertujuan untuk mencapai otonomi ekonomi sejati, diperlukan intervensi kebijakan yang secara langsung menantang struktur sistem dunia:
- Penguatan Kedaulatan Regulasi dan Kapasitas Negosiasi: Pemerintah harus membangun kapasitas negosiasi yang kuat agar FDI dari MNC dapat bersinergi dengan agenda pembangunan daerah. Regulasi harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan transfer teknologi. Selain itu, diperlukan upaya untuk membentuk rejim internasional yang dapat mengakomodasi kepentingan negara tuan rumah, sebagai solusi potensial untuk masalah yurisdiksi ganda yang disebabkan oleh intervensi MNC dan negara asal mereka.
- Mitigasi Resource Curse: Tata kelola Sumber Daya Alam harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang ketat untuk mencegah korupsi dan over-eksploitasi Kekayaan alam harus diolah menjadi modal domestik melalui industrialisasi hulu ke hilir yang dipimpin negara, meminimalkan peluang bagi MNC untuk menciptakan lingkungan kebijakan yang lemah dan menguntungkan mereka.
- Diversifikasi Ketergantungan dan Aliansi Strategis: Negara-negara Pinggiran harus secara proaktif mencari aliansi strategis dan sumber modal yang dapat menawarkan jalur mobilitas teknologi alternatif, mengambil pelajaran dari strategi BRICS. Dengan mendiversifikasi sumber teknologi dan pasar, mereka dapat mengurangi risiko terperangkap dalam ketergantungan tunggal pada hegemon Core yang ada, meskipun harus tetap waspada terhadap model eksploitasi baru yang mungkin muncul dari kekuatan Semi-Pinggiran yang sedang naik daun.

