Loading Now

Warisan Tradisi Kuno dalam Hukum Modern: Dari Hukum Hammurabi hingga Konstitusi

Urgensi Historis: Kontinuitas dalam Diskursus Konstitusi

Sistem hukum kontemporer sering dipandang sebagai puncak perkembangan rasionalitas pasca-Pencerahan. Namun, analisis filsafat hukum dan perbandingan yurisprudensi mengungkapkan bahwa struktur fundamental, prinsip-prinsip keadilan, dan mekanisme tata kelola yang kita anut saat ini berakar kuat pada solusi-solusi hukum yang dikembangkan oleh peradaban kuno, mulai dari Mesopotamia hingga Mediterania. Sistem hukum modern bukanlah entitas yang sepenuhnya baru, melainkan akumulasi dan reformasi sistematis dari solusi-solusi hukum kuno terhadap masalah universal: mencapai stabilitas sosial, mendefinisikan dan melindungi hak-hak dasar, serta membatasi kekuasaan pemerintahan.

Hipotesis sentral dalam laporan ini adalah bahwa kontinuitas dalam diskursus hukum dipertahankan melalui tiga warisan utama: inisiatif kodifikasi untuk menciptakan kepastian hukum, abstraksi konsep hak perdata, dan penetapan landasan filosofis universalitas hukum. Warisan ini secara struktural paling mendasar dan memengaruhi Konstitusi modern.

Fondasi stabilitas kuno terletak pada inisiatif kodifikasi. Kodifikasi Babilonia, terutama melalui Hukum Hammurabi (sekitar 1792–1750 SM), dan upaya sistematik di Roma, khususnya implikasi dari Corpus Juris Civilis , secara historis menetapkan bahwa hukum tertulis dan sistematis adalah prasyarat yang tidak dapat diganggu gugat bagi kepastian hukum dan stabilitas sosial. Raja Hammurabi sendiri mengklaim bahwa hukumnya diberikan oleh para dewa untuk mencegah yang kuat menindas yang lemah. Pengakuan awal ini, bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi (sebelum hukum) adalah bahaya utama, membentuk pola pikir yang berkelanjutan hingga era konstitusionalisme. Kodifikasi—tindakan menuliskan hukum—adalah langkah fungsional pertama yang diambil oleh negara (Babilonia, Roma) untuk menahan potensi tirani kekuasaan sewenang-wenang.

Oleh karena itu, Konstitusi modern melanjutkan tradisi struktural ini. Konstitusi adalah bentuk kodifikasi tertinggi, dirancang untuk memastikan bahwa penguasa (eksekutif, legislatif) terikat oleh norma yang mereka tetapkan sendiri, menjadikannya warisan struktural yang vital bagi konsep Rule of Law. Laporan ini akan berpusat pada evolusi Prinsip Keadilan (Lex Talionis ke Proporsionalitas), Arsitektur Hukum Perdata (kodifikasi Jus Civile), dan Landasan Filosofis Pemerintahan (Hukum Alam ke Konstitusionalisme).

Metodologi Analisis Komparatif dan Filsafat Hukum

Analisis dalam laporan ini menggunakan pendekatan komparatif historis dan filsafat hukum, yang memungkinkan penelusuran jalur transmisi dan evolusi konsep. Pendekatan ini melihat warisan kuno sebagai “cermin kritis” bagi sistem modern. Warisan ini tidak hanya diterima secara pasif, tetapi juga secara radikal ditolak, terutama mengenai praktik prosedural yang melanggar hak asasi dan hukuman yang diterapkan secara diskriminatif berdasarkan status sosial.

Penolakan radikal terhadap praktik-praktik kuno yang tidak etis, seperti retribusi kaku berbasis kelas atau praktik prosedural seperti trial by ordeal, menandai kemenangan hak individu universal. Evolusi yurisprudensial dari retribusi kaku menuju konvergensi rehabilitasi dan keadilan restoratif mencerminkan pematangan moral yang dilakukan oleh peradaban selama ribuan tahun. Dengan demikian, hukum modern harus secara konstan menyeimbangkan kebutuhan akan kepastian hukum—warisan struktural kuno—dengan tuntutan keadilan substantif yang berpusat pada pemulihan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.

Pilar Keadilan: Dari Retribusi Absolut menuju Proporsionalitas dalam Hukum Pidana

Kodifikasi Babilonia: Ketertiban Melalui Hukum Kasuistik dan Retribusi

Kontribusi peradaban Mesopotamia, khususnya melalui Raja Hammurabi, adalah meletakkan dasar bagi hukum pidana melalui kodifikasi pertama yang komprehensif. Hukum Hammurabi, yang berlaku sekitar 1792 hingga 1750 SM di Mesopotamia (sekarang Irak), dikenal karena sifatnya yang casuistic. Hukum ini diungkapkan dalam bentuk kalimat kondisional “jika-maka” (if-then), yang merupakan kontribusi awal yang signifikan pada kepastian hukum: menetapkan konsekuensi spesifik dan terprediksi untuk tindakan spesifik.

Doktrin sentral dalam Kode Hammurabi adalah Lex Talionis, sebuah frasa Latin yang berarti hukum pembalasan (law of retaliation). Prinsip ini, yang juga hadir dalam Hukum Musa (Mosaic Law) sebagai “mata ganti mata,” memindahkan sanksi pembalasan dari korban atau keluarganya ke negara. Namun, meskipun Lex Talionis memberikan batasan keras terhadap pembalasan yang berlebihan (bahwa hukuman tidak boleh lebih berat daripada kerugian yang ditimbulkan), ia secara inheren bersifat retributif. Sebagai contoh, jika seseorang menyebabkan orang berpangkat kehilangan mata, mata orang tersebut harus dicungkil.

Analisis kritis menunjukkan bahwa meskipun Hammurabi berupaya menstabilkan masyarakat, Lex Talionis diterapkan berdasarkan status sosial atau kelas (stratifikasi). Hukumannya berbeda untuk kelas sosial yang berbeda (misalnya, bangsawan, orang bebas, atau budak). Ini secara inheren melanggar prinsip kesetaraan universal yang menjadi inti konstitusi modern. Hukum kuno berfungsi sebagai peringatan keras terhadap bahaya stratifikasi sosial dan hukuman berbasis status, yang menandai mengapa sistem hukum modern secara radikal menolak aspek ini dari warisan kuno.

Evolusi Kritis: Prinsip Proporsionalitas sebagai Pengendali Keadilan Substantif

Penolakan terhadap retribusi kaku kuno membuka jalan bagi pengembangan Prinsip Proporsionalitas dalam hukum pidana modern. Prinsip Proporsionalitas, yang berevolusi sebagai filter konstitusional, jauh melampaui perhitungan kerugian fisik kuno. Proporsionalitas merujuk pada hubungan antara hukuman yang dijatuhkan dengan tindak pidana dan kesalahan (culpability) yang dilakukan oleh pelaku.

Hukum modern secara eksplisit menolak interpretasi tekstual dan absolut dari Lex Talionis. Pemahaman kontekstual diperlukan, bukan hanya pemahaman tekstual semata dari prinsip “mata ganti mata.” Alasannya adalah bahwa jika dipahami secara tekstual, asas kuno tersebut gagal mengukur berat suatu kesalahan yang disebabkan oleh kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Hukum Pidana modern, sebaliknya, berfokus pada mens rea (niat jahat) dan tingkat keseriusan kejahatan secara operasional.

Proporsionalitas secara filosofis adalah aplikasi spesifik dari Konstitusionalisme dalam ranah pidana. Prinsip ini berfungsi sebagai batas kekuasaan negara untuk menjatuhkan berat ringannya sanksi pidana, dengan mempertimbangkan kepentingan individu dan pertimbangan politik. Dalam konteks konstitusionalisme—pemerintahan yang tunduk pada serangkaian batasan yang memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan —Proporsionalitas adalah mekanisme paling penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan sanksi, suatu penyalahgunaan yang dalam sejarah kuno diwakili oleh hukuman berbasis status yang sewenang-wenang.

Oleh karena itu, evolusi yurisprudensial menunjukkan pematangan moral, bergerak dari batasan pembalasan fisik menuju uji konstitusional yang kompleks terhadap pembatasan hak. Transformasi ini menunjukkan pergeseran paradigma dari retribusi kaku berbasis kelas menuju konvergensi rehabilitasi dan keadilan restoratif, yang mencerminkan tuntutan keadilan substantif.

Tabel Komparatif: Transformasi Prinsip Keadilan dan Hukum dari Kuno ke Kontemporer

Perbandingan evolusi prinsip keadilan dari tradisi kuno hingga hukum kontemporer menyoroti pergeseran mendasar dalam fokus dan filosofi.

Transformasi Prinsip Keadilan: Kuno vs. Kontemporer

Aspek Hukum Hukum Kuno (Hammurabi) Hukum Modern (Konstitusional)
Fokus Utama Stabilitas sosial dan Retribusi Kaku (Casuistic) Keadilan Substantif dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Prinsip Hukuman Lex Talionis (Pembalasan setara) Proporsionalitas (Hukuman setara dengan kesalahan dan dampak)
Penerapan Hukum Stratifikasi Sosial (Hukuman bervariasi berdasarkan status) Kesetaraan di depan hukum (Non-Diskriminasi Universal)
Pengendalian Kekuasaan Kodifikasi untuk membatasi pembalasan sewenang-wenang (batas pertama) Uji Konstitusional dan Proporsionalitas (membatasi kekuasaan negara menjatuhkan sanksi)

Pilar Hukum Perdata: Arsitektur Sistem Civil Law Romawi

Kontribusi yang paling luas dan abadi dari peradaban kuno terhadap struktur hukum modern datang dari Hukum Romawi, yang membentuk tulang punggung sistem Civil Law yang diadopsi oleh sebagian besar negara di Eropa Kontinental, Amerika Latin, dan Asia, termasuk Indonesia. Warisan Romawi bukanlah hanya tentang substansi hukum, tetapi terutama tentang metodologi dan sistematika.

Signifikansi Kodifikasi Yustinianus dan Abstraksi Hukum

Puncak dari upaya kodifikasi Romawi adalah Corpus Juris Civilis (CJC), atau Body of Civil Law, yang diberlakukan di Kekaisaran Romawi Timur pada tahun 534 M oleh Kaisar Yustinianus. CJC adalah upaya sistematis yang tak tertandingi untuk mengkompilasi, menyaring, dan memurnikan hukum Romawi yang telah berkembang selama berabad-abad. Karya ini menjadi cetak biru utama untuk sistem Civil Law modern, yang berfokus pada supremasi hukum tertulis yang sistematis.

Meskipun sistem Civil Law modern menekankan bahwa tugas utama hakim adalah menafsirkan hukum secara tekstual dan sistematis, tanpa kebebasan untuk menciptakan preseden baru seperti dalam sistem Common Law , kontribusi paling revolusioner Romawi adalah metodologi pengembangan hukum yang mendahului kodifikasi ini. Inilah peran sentral para jurisconsults (ahli hukum Romawi). Para jurisconsults kuno bertanggung jawab untuk menciptakan abstraksi konsep hukum yang memungkinkan sistematika dan kodifikasi tersebut. Mereka mengembangkan responsa (pendapat hukum) yang kemudian diintegrasikan ke dalam teks hukum.

Sistem Romawi, melalui CJC, memberikan “metode sistematis untuk pengembangan hukum” , yang menggarisbawahi pentingnya hukum tertulis dan interpretasi yang terstruktur, seperti interpretasi gramatikal (memahami makna teks berdasarkan kata-kata yang digunakan). Warisan ini mengajarkan bahwa kerangka hukum yang stabil harus dapat diakses, terorganisir, dan dapat diinterpretasikan secara konsisten.

Warisan Hak Milik (Dominium) dan Hukum Kontrak

Hukum Romawi Pra-Modern berperan krusial dalam mengembangkan arsitektur Hukum Perdata modern, khususnya dalam mendefinisikan dan melindungi hak milik. Hukum Romawi memformalkan konsep kepemilikan individu (dominium) dan menetapkan prinsip perlindungan hukum untuk hak-hak individu atau entitas hukum.

Namun, kontribusi intelektual yang paling mendalam terletak pada kemampuan ahli hukum Romawi untuk mengabstraksi konsep hukum yang kompleks. Hal ini terlihat jelas dalam pengembangan hukum kontrak dan hak kebendaan, seperti kontrak emphyteose—sewa jangka panjang untuk pengelolaan tanah. Analisis emphyteose menunjukkan proses revolusioner di mana ahli hukum beralih dari sekadar tindakan hukum menjadi definisi hak yang abstrak. Mereka mengembangkan konsep dominium ganda (dual dominium), membagi kepemilikan antara dominium langsung (milik tuan tanah) dan dominium yang berguna (utile dominium—milik penyewa jangka panjang).

Proses intelektual Romawi ini—mengubah tindakan spesifik menjadi hak abstrak, membagi hak properti, dan menetapkan kategori hukum—adalah fondasi konseptual bagi seluruh Hukum Perdata modern, mulai dari hukum kontrak, agraria, hingga hak kebendaan. Kemampuan untuk menciptakan abstraksi hukum memungkinkan prinsip-prinsip hukum Romawi untuk “diangkat” dari konteks sosial spesifiknya dan diterapkan secara universal di berbagai budaya dan waktu (misalnya, transformasi Hukum Romawi ke dalam praktik hukum Perancis oleh Jacques de Révigny). Abstraksi inilah yang menjadi kunci keberhasilan Civil Law sebagai sistem hukum global, dan yang kemudian memengaruhi Konstitusi modern yang juga harus menggunakan bahasa yang universal dan abstrak (misalnya, hak atas properti).

Kepastian Hukum (Legal Certainty) sebagai Nilai Konstitusional

Warisan kodifikasi Romawi, yang didahului oleh tradisi Babilonia, adalah penetapan Kepastian Hukum (Legal Certainty) sebagai nilai fundamental. Kepastian hukum memastikan bahwa hukum tidak diterapkan secara retroaktif dan selaras dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa yang beradab. Prinsip ini kini diakui secara universal sebagai nilai konstitusional yang vital, menjamin bahwa individu dapat merencanakan tindakan mereka dengan pengetahuan yang jelas tentang konsekuensi hukumnya.

Kodifikasi Romawi dan kuno lainnya menyediakan fondasi metodologis dan struktural untuk mencapai kepastian hukum. Ini menjadi prasyarat penting dalam Konstitusionalisme, di mana penafsiran hukum yang sistematis dan konsisten diperlukan untuk membatasi kekuasaan negara.

Landasan Filosofis: Hukum Alam dan Konstitusi Hak Asasi Manusia

Warisan yang paling mendalam dan berpengaruh pada substansi konstitusi modern, terutama mengenai hak individu, berasal dari filsafat Hukum Alam, yang dikembangkan secara signifikan oleh pemikiran Yunani Kuno dan Roma, terutama kaum Stoa.

Rasionalitas Universal Stoa dan Konsep Ius Naturale

Filsafat Stoisisme, dengan tokoh-tokoh seperti Zeno dari Citium, Seneca, dan Cicero, memiliki kontribusi penting dalam perkembangan konsep hukum alam dan hak asasi manusia. Kaum Stoa mendefinisikan Hukum Alam (ius naturale) sebagai hukum yang universal dan abadi, bersumber dari rasionalitas universal (logos) yang mengatur alam semesta.

Hukum Alam Stoik secara fundamental menegaskan nilai moral yang sama bagi semua manusia, tanpa memandang status sosial. Filsafat ini mengatasi pembedaan status sosial yang dilegitimasi oleh sistem hukum yang lebih tua (seperti Hukum Hammurabi), memberikan landasan etis bagi kesetaraan manusia. Keadilan, menurut aliran ini, bersifat absolut dan abadi, timbul dari kegagalan manusia mencari keadilan mutlak dalam hukum positif.

Konsep ini kemudian diangkat oleh ahli hukum Romawi menjadi Ius Gentium (Hukum Bangsa-Bangsa). Ius Gentium adalah sistem hukum yang dikembangkan untuk mengatur hubungan antara warga Romawi dan orang non-Roma (peregrini). Meskipun pada awalnya bersifat praktis, prinsip ini didasarkan pada akal alami yang universal, yang diakui sebagai titik awal pergeseran fundamental menuju kesetaraan manusia. Prinsip ini menjadi inti dari Hukum Internasional dan prinsip jus cogens (norma wajib yang tidak dapat disimpangi) dalam konteks kontemporer.

Transformasi Menuju Hak Asasi Manusia (HAM) Modern

Filosofi Hukum Alam, yang kemudian dipopulerkan kembali oleh pemikir modern seperti John Locke, menyediakan kerangka kerja untuk formulasi hak-hak alamiah (natural rights). Teori ini mengatasi persaingan kekuasaan antarmanusia dengan merumuskan hak-hak alamiah yang melekat pada setiap individu sejak lahir, tidak dapat diambil, dan bersifat universal.

Hak-hak alamiah ini memiliki tujuan sentral: menjamin martabat dan kesetaraan manusia, serta membatasi kekuasaan negara. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) yang termuat dalam Konstitusi modern adalah manifestasi tertinggi dari warisan ini. HAM bertujuan melindungi martabat dan status manusia, menjamin kebebasan, dan kemerdekaan individu.

Konstitusi modern bergantung pada Hukum Alam untuk legitimasinya. Hasil kajian menunjukkan bahwa Hukum Alam, baik dalam bentuk irasional yang bersumber dari nilai ketuhanan maupun rasional yang berasal dari akal budi manusia, memiliki potensi besar untuk memperkuat legitimasi hukum positif. Hukum Alam menyediakan landasan moral yang universal bagi Konstitusi, terutama dalam konteks perlindungan HAM dan penguatan regulasi berbasis keadilan substantif.

Garis kausalitas filosofis dari Stoisme menuju non-diskriminasi modern sangat jelas: Stoisisme menciptakan premis bahwa hukum sejati adalah universal dan berbasis akal. Pengaplikasiannya oleh Roma sebagai Ius Gentium  menciptakan mekanisme hukum yang mengakomodasi orang non-Roma. Pergeseran kritis ini—dari landasan etis universalitas (Stoa) ke prinsip hukum praktis (Ius Gentium)—akhirnya bermetamorfosis menjadi Prinsip Non-Diskriminasi dan HAM Universal dalam Konstitusi modern.

Tabel Genealogi: Evolusi Konsep Hukum Alam Menuju Hak Asasi Manusia

Era/Konsep Filsuf Kunci/Peradaban Prinsip Utama Warisan pada Hukum Modern
Stoisisme Kuno Zeno, Seneca, Cicero Logos (Rasionalitas Universal) dan Keadilan Abadi Landasan Etis untuk Kesetaraan Universal
Hukum Romawi Klasik Jurisconsults Ius Gentium (Hukum Bangsa-Bangsa) Prinsip Awal Hukum Internasional dan Non-Diskriminasi
Era Pencerahan John Locke Hak Alamiah (Natural Rights) Garansi Hak Individu yang Melekat dan Tidak Dapat Dicabut
Hukum Konstitusi Modern Deklarasi HAM Internasional HAM Universal Batasan Utama Kekuasaan Negara, Legitimasi Hukum Positif

Pilar Tata Kelola: Dari Politeia Yunani menuju Konstitusionalisme Modern

Warisan terbesar peradaban Yunani Kuno bukanlah kodifikasi hukum yang sistematis (seperti Roma), melainkan penciptaan ilmu filsafat politik, yang menjadi dasar teoritis untuk tata kelola pemerintahan yang ideal dan sistematisasi kekuasaan dalam Konstitusi modern.

Pelajaran dari Eksperimen Pemerintahan Yunani Kuno

Athena pada abad ke-5 SM menjadi pelopor demokrasi, meskipun dengan keterbatasan yang signifikan (perempuan, budak, dan pendatang tidak memiliki hak suara). Institusi demokratis seperti Ecclesia (Majelis Rakyat) yang membahas hukum dan kebijakan, serta Dikasteria (Pengadilan Juri) yang terdiri dari warga negara yang dipilih secara acak, memperkenalkan konsep partisipasi aktif warga negara dan sistem juri.

Namun, kritik filosofis terhadap demokrasi Athena, yang rentan terhadap tirani mayoritas (diwujudkan melalui praktik ostracism) dan populisme, adalah warisan intelektual yang lebih penting. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles mengubah praktik politik menjadi ilmu komparatif.

Plato, dalam Republik, mengkritik demokrasi karena dianggap rentan terhadap ketidakstabilan dan mengusulkan negara ideal yang dipimpin oleh filosof-rajawan. Ia mengklasifikasikan pemerintahan dari Monarki (terbaik) hingga Tirani (terburuk). Sementara itu, Aristoteles, dalam karyanya Politik, menganalisis 158 konstitusi polis dan mencari bentuk pemerintahan yang stabil. Ia menyimpulkan bahwa bentuk pemerintahan yang ideal adalah Polity—campuran antara demokrasi dan oligarki yang melibatkan kelas menengah—mendasari konsep Golden Mean (Jalan Tengah).

Pemikiran kritis dan komparatif ini, terutama analisis Aristoteles tentang bentuk pemerintahan yang “Baik” vs. “Buruk” (Monarki/Aristokrasi/Polity vs. Tirani/Oligarki/Demokrasi ekstrem), memberikan dasar teoretis yang tak ternilai bagi teori pemisahan kekuasaan dan sistem checks and balances modern.

Konstitusionalisme: Prinsip Pembatasan Kekuasaan yang Diwariskan

Pencarian Yunani Kuno untuk bentuk pemerintahan yang ideal dan stabil secara hukum diwujudkan dalam Konstitusionalisme modern. Konstitusionalisme didefinisikan sebagai seperangkat aktivitas yang diorganisasi dan dioperasikan atas nama rakyat, tetapi tunduk pada serangkaian pembatasan (series of restrains) yang bertujuan untuk memastikan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk tata kelola tidak disalahgunakan oleh mereka yang dipanggil untuk memerintah.

Konstitusi modern secara hukum formal merealisasikan pencarian Politeia Yunani Kuno dengan menetapkan batasan kekuasaan yang jelas, memisahkan fungsi-fungsi pemerintahan, dan menjamin proses hukum yang terstruktur. Konstitusi adalah perjanjian yang membatasi kedaulatan, suatu konsep yang secara filosofis berakar pada kekhawatiran Plato dan Aristoteles tentang risiko kekuasaan yang tidak terkendali.

Namun, konstitusionalisme tidak hanya berbicara mengenai pembuatan hukum, melainkan juga pelaksanaan hukum. Kualitas sebuah sistem konstitusionalisme sangat bergantung pada bagaimana aparat penegak hukum—polisi, jaksa, dan hakim—serta advokat melaksanakan hukum. Kegagalan dalam pelaksanaan ini berarti konstitusi hanya menjadi “hukum di atas kertas,” mengabaikan warisan penting dari stabilitas hukum yang ditetapkan sejak era kodifikasi kuno.

Kodifikasi Nasional sebagai Prasyarat Stabilitas Hukum

Stabilitas konstitusional memerlukan kesatuan hukum di seluruh wilayah yurisdiksi. Warisan struktural yang berasal dari Roma, yaitu kodifikasi dan unifikasi, menjadi prasyarat untuk Konstitusionalisme yang efektif.

Sejarah hukum menunjukkan bahwa ketika hukum adat berkuasa dan berbeda-beda di setiap wilayah (misalnya, di Indonesia yang terdiri dari 19 kelompok hukum adat, atau sistem hukum terfragmentasi di Wild West Amerika), tidak ada kesatuan hukum. Kurangnya kesatuan hukum ini menghambat kepentingan stabilitas. Oleh karena itu, modifikasi atau kodifikasi hukum harus diadakan untuk menciptakan supremasi hukum yang konsisten di seluruh entitas nasional.

Konstitusionalisme modern adalah sintesis luar biasa dari warisan kuno: ia mengadopsi prinsip filsafat politik Yunani (pembatasan kekuasaan dan ideal Polity)  dan menuangkannya ke dalam struktur hukum yang sistematis, tertulis, dan dikodifikasi yang diwarisi dari Roma. Kodifikasi hukum nasional menjamin kesatuan dan kepastian hukum yang diperlukan untuk pelaksanaan prinsip-prinsip konstitusional secara efektif. Kegagalan salah satu warisan ini—misalnya, hukum yang tidak sistematis atau filosofi yang korup—dapat meruntuhkan sistem Konstitusi.

Epilog dan Rekomendasi: Menjaga Keseimbangan Warisan dan Keadilan Substantif

Warisan tradisi kuno yang membentuk sistem hukum modern bersifat abadi dan multifaset. Kontinuitas utama terletak pada fondasi struktural dan filosofis: kebutuhan akan kodifikasi untuk kepastian hukum (Hukum Hammurabi dan Corpus Juris Civilis ), metodologi sistematika hukum (Romawi), dan prinsip universalisme etis yang menuntut kesetaraan manusia (Ius Naturale Stoisisme). Fondasi ini memberikan kerangka kerja bagi Konstitusi untuk menjalankan fungsinya membatasi kekuasaan dan menjamin hak.

Namun, diskontinuitas fundamental juga harus diakui dan diapresiasi. Perkembangan yurisprudensial yang mencapai puncaknya dalam Konstitusi modern ditandai oleh penolakan radikal terhadap keadilan berbasis status dan praktik prosedural yang melanggar martabat manusia, seperti trial by ordeal. Penolakan ini merupakan kemenangan hak individu universal dan penanda pematangan moral peradaban.

Hukum modern berdiri di atas fondasi yang diwarisi, namun dibentuk melalui filter moral kritis yang berasal dari Filsafat Hukum Alam dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.

Laporan ini menggarisbawahi perlunya para praktisi hukum modern untuk secara konstan menyeimbangkan dua warisan yang terkadang tegang: kepastian hukum struktural (warisan kodifikasi kuno) dengan tuntutan keadilan substantif (Proporsionalitas dan HAM).

  1. Pengendalian Kekuasaan Melalui Proporsionalitas:Prinsip proporsionalitas harus terus digunakan sebagai alat konstitusional yang kompleks untuk mengontrol kekuasaan negara, memastikan bahwa sanksi pidana tidak hanya bersifat retributif tetapi juga mempertimbangkan rehabilitasi dan keadilan restoratif, melanjutkan evolusi yurisprudensial dari pembalasan kaku.
  2. Integrasi Nilai Hukum Alam:Untuk mengatasi tantangan struktural dan budaya dalam pelaksanaan hukum, disarankan agar hukum positif diselaraskan dengan nilai-nilai Hukum Alam, terutama dalam konteks perlindungan martabat manusia. Ini dapat dilakukan melalui penguatan regulasi berbasis keadilan substantif, pengakuan terhadap hukum adat, dan penerapan asas keadilan restoratif. Namun, integrasi hukum adat harus selalu diuji dan dipastikan bahwa ia sesuai dengan nilai-nilai universal (Pancasila, UUD 1945, dan HAM).
  3. Memperkuat Konstitusionalisme Pelaksanaan:Konstitusionalisme harus dipahami secara komprehensif, tidak hanya pada tahap legislasi, tetapi terutama pada tahap pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum, sebagaimana ditekankan oleh Daniel S. Lev. Kegagalan implementasi adalah ancaman terbesar terhadap warisan kuno mengenai stabilitas hukum dan batasan kekuasaan.

Untuk memahami secara holistik dinamika hukum dan dampaknya dalam masyarakat, diperlukan refleksi dan perdebatan berkelanjutan mengenai konsep keadilan. Penelitian lebih lanjut yang mengintegrasikan berbagai perspektif, termasuk sosiologis dan ekonomis, sangat dianjurkan.

Penelitian interdisipliner harus fokus pada bagaimana warisan kuno, yang menekankan pencegahan yang kuat menindas yang lemah , dapat diterjemahkan menjadi mekanisme hukum yang efektif dalam konteks modern, seperti perlindungan konsumen, keadilan lingkungan , dan mengatasi ketidaksetaraan struktural yang baru. Dengan demikian, sistem hukum kontemporer dapat memastikan bahwa ia tidak hanya mewarisi struktur peradaban kuno, tetapi juga mewarisi tujuan etis fundamentalnya.