Loading Now

Misteri Upacara Inisiasi—Dari Eleusinia hingga Ritual Peralihan Afrika Kuno

Konteks Studi: Ritual Peralihan sebagai Teknologi Sosial-Spiritual

Ritual peralihan (rites of passage) mewakili mekanisme sosiologis dan psikologis yang fundamental, yang diterapkan oleh peradaban manusia untuk mengelola dan melegitimasi perubahan identitas yang tak terhindarkan—baik yang bersifat biologis, sosial, maupun spiritual. Transisi kehidupan utama (seperti kelahiran, kedewasaan, perkawinan, dan kematian) seringkali menciptakan kekacauan atau ambiguitas identitas dalam masyarakat. Ritual berfungsi sebagai “teknologi sosial” yang terstruktur untuk mengatasi kekacauan ini, memindahkan individu dari satu status yang jelas ke status lain. Laporan ini berfokus pada analisis komparatif dan struktural, melampaui deskripsi semata, untuk memahami bagaimana ritual-ritual kuno, dari inisiasi spiritual rahasia seperti Eleusinia hingga ritus sosial-pedagogis di Afrika, mencapai tujuan regenerasi sosial dan transformasional.

Analisis ini menunjukkan bahwa ritual peralihan bukan sekadar cerminan pasif dari perubahan yang terjadi, melainkan agen kausal yang secara aktif menciptakan dan menegaskan status baru bagi subjek ritual. Dengan secara simbolis mementaskan “kematian” identitas lama dan “kelahiran kembali” individu ke dalam status yang dilegitimasi, ritual ini memastikan kontinuitas budaya dan meregenerasi tatanan sosial dari waktu ke waktu. Lebih lanjut, struktur ritual yang terdefinisi memberikan wadah yang aman dan terstruktur bagi individu untuk memproses emosi kompleks dan ketidakpastian yang melekat dalam transisi hidup, menawarkan dukungan kolektif, makna, dan reintegrasi yang diperlukan.

Kerangka Tiga Fase Van Gennep: Pemisahan, Ambang (Liminalitas), dan Penggabungan

Landasan teoretis untuk kajian ritual peralihan diletakkan oleh Arnold Van Gennep (1960), yang menetapkan bahwa transisi kehidupan universal diatur melalui pola tiga bagian yang diprediksi [2]. Kerangka struktural ini, yang dikenal sebagai model tripartit, terdiri dari fase pemisahan (separation), transisi atau ambang batas (margin atau limen), dan penggabungan (aggregation atau incorporation.

  1. Fase Pemisahan (Préliminaire): Fase ini mencakup perilaku simbolis yang secara disengaja melepaskan individu atau kelompok dari posisi sosial lama mereka, kondisi budaya sebelumnya, atau identitas masa lal. Pemisahan sering kali melibatkan isolasi fisik, simbolisme yang mengacu pada kotoran atau kenajisan, atau bahkan kematian simbolis dari status sebelumnya.
  2. Fase Ambang (Liminalité): Ini adalah periode kritis “di antara” (in-between), di mana subjek ritual (the passenger) telah meninggalkan identitas lama tetapi belum memperoleh status baru. Karakteristik subjek dalam fase liminalitas ini bersifat ambigu, bergerak melalui suatu ranah budaya yang nyaris tidak memiliki atribut dari keadaan masa lalu atau keadaan yang akan datang.
  3. Fase Penggabungan (Postliminaire): Individu muncul kembali ke dalam masyarakat, menyelesaikan transisi dengan identitas sosial baru yang diakui dan dilegitimasi secara budaya. Fase ini menandai pengembalian ke struktur sosial yang stabil dan mapan, namun pada tingkat status yang lebih tinggi atau berbeda.

Inti dari teori Van Gennep terletak pada dinamika antara yang sakral dan yang profane.. Ritual berfungsi sebagai jembatan yang terstruktur antara kedua ranah tersebut, memastikan bahwa perubahan status sosial tidak terjadi secara acak atau tanpa makna.

Liminalitas Victor Turner: Konsep Anti-Struktur dan Communitas

Antropolog Victor Turner memperluas dan memperdalam pemahaman tentang fase liminalitas yang diidentifikasi oleh Van Gennep. Turner menekankan bahwa fase ambang batas adalah yang paling penting dan transformatif. Ia mendefinisikan liminalitas sebagai ruang di mana ambiguitas menjadi norma.

Dalam fase liminal ini, struktur sosial normal (hirarki, status, peran) dihentikan atau dibalik, menciptakan apa yang disebut Turner sebagai anti-struktur. Kekosongan struktural ini memungkinkan munculnya communitas, sebuah bentuk ikatan sosial yang egaliter, langsung, dan non-struktural di antara para subjek ritual. Communitas adalah lingkungan yang krusial untuk transfer pengetahuan rahasia, penanaman nilai-nilai luhur, dan pembelajaran mendalam tentang tatanan moral masyarakat.

Turner juga memberikan perhatian besar pada aspek fisik ritual, menunjukkan bahwa ritual beroperasi melalui manipulasi simbol dan embodiment (penubuhan), sering kali merujuk pada kepercayaan agama atau kekuatan supranatural, seperti yang terlihat dalam analisisnya terhadap ritual Ndembu. Dengan berfokus pada fase limen, studi ritual tidak hanya mengkaji struktur sosial, tetapi juga bagaimana individu memproses pengalaman temporal dan sosial yang bertransformasi.

Misteri Inisiasi Spiritual: Kasus Eleusinia (Yunani Kuno)

Mitologi dan Fundasi Kosmologis

Misteri Eleusinia adalah salah satu ritus keagamaan rahasia yang paling sakral dan terkenal di Yunani Kuno. Berpusat di Eleusis, misteri ini didedikasikan untuk pemujaan Demeter, dewi pertanian dan kesuburan, dan putrinya Persephone, ratu dunia bawa. Sifat ritual ini secara primer adalah spiritual dan eskatologis, dengan tujuan mengubah pandangan batin individu terhadap kematian dan nasib di alam baka, menjanjikan kehidupan spiritual yang diberkati.

Landasan Eleusinia adalah mitos inti penculikan Persephone oleh Hades, dewa dunia bawah. Kesedihan Demeter yang menghentikan pertumbuhan tanaman menyebabkan kelaparan global. Kompromi dicapai: Persephone akan menghabiskan sebagian tahun di dunia bawah (musim gugur dan musim dingin) dan sebagian dengan ibunya (musim semi dan musim panas). Siklus ini secara langsung melambangkan tema kehidupan, kematian, kelahiran kembali, dan regenerasi musiman. Oleh karena itu, ritual tersebut mengaitkan transisi hidup individu dengan siklus kosmik yang lebih besar.

Struktur dan Fungsi Kerahasiaan

Eleusinia dibagi menjadi dua komponen utama yang berfungsi sebagai langkah berurutan dalam proses peralihan:

  1. Misteri-Misteri Kecil (The Lesser Mysteries): Diadakan pada musim semi di Agrae, dekat Athena. Ritual ini berfungsi sebagai upacara inisiasi dan pemurnian awal bagi para peserta, mempersiapkan mereka secara ritual dan spiritual untuk menerima kebenaran yang lebih mendalam. Fase ini dapat dianggap sebagai fase Pemisahan dan pemurnian awal.
  2. Misteri-Misteri Besar (The Greater Mysteries): Diadakan pada musim gugur di Eleusis, berlangsung selama sembilan hari. Ini adalah fase liminal utama, di mana yang diinisiasi (mystai) mengalami upacara rahasia yang hanya mereka yang diizinkan untuk melihatny.

Kerahasiaan yang ketat adalah inti dari Misteri Eleusinia. Kerahasiaan ini adalah esensi dari pemisahan ritual. Kerahasiaan berfungsi untuk membatasi communitas yang intens hanya pada mereka yang terinisiasi, menekankan eksklusivitas pengetahuan spiritual yang ditransfer. Tidak seperti ritual kedewasaan yang seringkali berfungsi untuk mendefinisikan peran publik, Eleusinia mengubah pandangan individu mengenai alam baka, sebuah “penggabungan” transenden yang mengurangi ketakutan akan kematian.

Dengan demikian, Eleusinia menjadi contoh bagaimana sebuah ritual peralihan dapat beroperasi dengan fokus utama pada transformasi individu dan spiritualitas eskatologis, menyediakan makna pribadi yang mendalam dan janji kebahagiaan setelah kematian, yang merupakan bentuk agregasi yang melampaui tatanan sosial duniawi.

Liminalitas dan Pembentukan Identitas: Ritual Kedewasaan Afrika

Simbolisme Kematian dan Kelahiran Kembali dalam Inisiasi Pria

Di banyak budaya Afrika, ritual kedewasaan (inisiasi) berfungsi sebagai institusi pedagogis yang vital. Ritual-ritual ini bertujuan mentransformasi anak-anak menjadi anggota masyarakat yang utuh dan bertanggung jawab, internalisasi nilai-nilai luhur, dan pembentukan identitas sosial yang kokoh . Proses ini secara universal memanfaatkan arsitektur tripartit Van Gennep untuk secara efektif “membunuh” identitas masa kanak-kanak.

Studi Kasus: Ulwaluko (Suku Xhosa, Afrika Selatan)

Ritual Ulwaluko Suku Xhosa di Afrika Selatan merupakan contoh klasik dari ritual kedewasaan yang memiliki struktur yang jelas dan konsekuensi sosial yang radikal.

  1. Fase Pemisahan: Ritual dimulai dengan persiapan pra-inisiasi diikuti oleh operasi sirkumsisi. Meskipun subjek ritual memiliki hak untuk menolak sirkumsisi berdasarkan usia dan kematangan, tindakan fisik ini secara simbolis dan literal menandai permulaan pemisahan dari masa kanak-kanak.
  2. Fase Liminal (Seclusion): Setelah sirkumsisi, inisiasi memasuki periode isolasi atau pengasingan yang ketat, seringkali di pondok terpencil (Bhoma), di bawah pengawasan ikhankatha (asisten tradisional). Periode ini adalah fase anti-struktur, di mana inisiasi diajarkan dan ditanamkan nilai-nilai yang krusial untuk kehidupan dewasa, seperti kesabaran, keberanian, kedisiplinan, dan tanggung jawab.
  3. Fase Agregasi Radikal: Penutupan periode pengasingan ditandai dengan serangkaian tindakan simbolis yang kuat. Para pemuda didorong untuk berlari ke sungai untuk membersihkan diri. Tindakan puncak adalah pembakaran pondok (Bhoma) dan semua harta benda inisiasi, termasuk pakaian lama mereka.

Pembakaran pondok dan barang-barang lama adalah manifestasi fisik dan dramatis dari kematian identitas lama. Tindakan ini memastikan bahwa penggabungan bukanlah pengakuan pasif, tetapi sebuah “kelahiran kembali” total, di mana semua ikatan material dan simbolis dengan masa kanak-kanak dihapus secara definitif. Individu muncul dengan penampilan luar yang baru dan menerima selimut baru. Mereka sekarang dipanggil ikrwala (manusia baru). Proses ini secara efektif meregenerasi tatanan sosial dengan memasukkan anggota baru yang telah diuji, didisiplinkan, dan siap mengambil peran dewasa.

Studi Kasus: Ritual Peralihan Maasai dan Ndembu

Suku Maasai di Tanzania juga memiliki ritual yang intensif untuk peralihan ke status prajurit, yang melibatkan perayaan, tarian, dan periode pengasingan di tempat suci yang disebut Orpul. Peralihan ini sering dikukuhkan melalui upacara kolektif yang terjadwal seperti Eunoto, yang diadakan setiap sepuluh tahun sekali. Struktur pengakuan sosial yang terorganisir menunjukkan bahwa peralihan status kolektif ini adalah peristiwa yang sangat terstruktur dalam kerangka sosial-politik.

Karya Victor Turner mengenai Ndembu di Zambia mendasari banyak pemahaman modern tentang liminalita. Turner menggunakan ritual inisiasi dan ritual penderitaan Ndembu untuk menganalisis bagaimana simbol-simbol ritual memungkinkan para akademisi “mendeteksi dan melacak pergerakan proses dan hubungan sosial. Ini menggarisbawahi bahwa ritual tidak hanya menstabilkan, tetapi juga memberikan lensa untuk memahami dinamika konflik dan kohesi dalam masyarakat.

Tabel 1 menyajikan perbandingan fokus inisiasi spiritual dan sosial:

Table 1: Perbandingan Inisiasi: Fokus Spiritual vs. Sosial

Kriteria Perbandingan Misteri Eleusinia (Yunani) Ritual Kedewasaan Afrika (Xhosa) Cakak Pepadun (Lampung, ID)
Fokus Utama Transformasi Spiritual Pribadi (Eskatologis) Transformasi Status Sosial/Kelompok Pembentukan Karakter dan Identitas Sosial
Fase Liminal Pengalaman Rahasia (The Mystai) Periode Seclusion dan Ujian Fisik Isolasi dan Internalisasi Nilai Luhur
Simbol Kematian/Reinkarnasi Siklus Demeter & Persephone Pembakaran Pondok/Pakaian Lama (Fokus pada pembentukan karakter/tanggung jawab)
Agregasi/Penggabungan Janji Kebahagiaan di Alam Baka Pengakuan Resmi sebagai Ikrwala (Manusia Baru) Pengakuan Status Adat dan Tanggung Jawab

Sakramen dan Kontrak: Peralihan Status Pernikahan

Pernikahan sebagai Fungsi Sosial dan Agama

Pernikahan dalam konteks kuno dan tradisional berfungsi sebagai ritual peralihan yang esensial, melampaui penyatuan dua individu menjadi penyatuan dua keluarga besar. Ia menjamin kesinambungan garis keturunan, stabilitas ekonomi, dan kepatuhan terhadap kewajiban agama.

Perkawinan Sakramental (Hindu)

Dalam tradisi Hindu, pernikahan adalah samskara (sakramental) yang dianggap wajib. Filosofi dasarnya menyatakan bahwa seorang pria atau wanita tidak lengkap tanpa pasangannya; wanita dianggap setengah dari suaminya, dan sebaliknya. Oleh karena itu, menikah adalah tindakan agama yang penting, sebuah kewajiban bagi mereka yang tidak memilih kehidupan asketis.

Bentuk pernikahan Prajapatya menunjukkan sifat sakramental ini secara eksplisit: ayah pengantin wanita menawarkan putrinya kepada pengantin pria setelah memuja, dengan pembacaan yang menyatakan bahwa mereka dapat bertindak religius bersama. Ritual-tindakan ini dirancang untuk manfaat spiritual ayah pengantin wanita, menegaskan bahwa pernikahan adalah sebuah limen yang membawa konsekuensi spiritual langsung.

Confarreatio (Romawi Kuno): Pertautan Agama dan Hukum

Confarreatio adalah ritual pernikahan Romawi Kuno yang sangat khidmat dan keagamaan, diyakini berasal dari kaum Patrician dan diwajibkan bagi tiga imam besar (Flamines), termasuk Flamen Dialis.

Fase Liminal: Upacara ini dirayakan di hadapan Pontifex Maximus dan sepuluh saksi, yang terdiri dari pengorbanan kepada Jupiter, di mana kue tepung (pani farreus) dipersembahkan, disertai dengan pengucapan kata-kata suci oleh pasangan.

Agregasi (Transfer Manus): Poin kritis dari ritual ini adalah konsekuensi hukumnya. Confarreatio secara langsung memberlakukan transfer kekuasaan (manus) atas wanita dari otoritas paterfamilias asalnya kepada suami. Wanita itu secara hukum dianggap sebagai putri suaminya (filiae loco) dan saudara agnatik dari anak-anak suaminy.

Analisis Confarreatio menunjukkan hubungan sebab-akibat yang ketat: kesakralan ritual—yang dilegitimasi oleh kehadiran imam tertinggi dan persembahan kepada dewa Jupiter—secara langsung melegitimasi dan memberlakukan perubahan status hukum yang drastis. Ini membuktikan bahwa ritual adalah alat utama untuk memvalidasi reorganisasi struktur sosial dan hukum yang mendasar dalam masyarakat Romawi.

 Kontrak Sosial dan Syarat Budaya

Dalam peradaban lain, pernikahan menunjukkan perpaduan antara spiritualitas, kontrak, dan tuntutan budaya:

  • Mesir Kuno: Meskipun pria menghormati wanita, pernikahan lebih bersifat kontrak sosial yang memungkinkan poligami dan perceraian. Namun, dalam beberapa tradisi Mesir, sirkumsisi perempuan berfungsi sebagai syarat menuju pernikahan, diyakini sebagai warisan budaya kuno dan modal untuk melangkah ke jenjang pernikahan .
  • Jawa: Upacara pernikahan Jawa, khususnya Tahap Panggih, sangat menekankan filosofi Jawa mengenai keseimbangan (selaras), keselarasan, dan keharmonisan sebagai inti kehidupan rumah tangga.

Perjalanan Abadi: Ritual Kematian sebagai Ritus Peralihan Terakhir

Ritual kematian mewakili ritus peralihan yang paling final, memindahkan subjek dari struktur sosial duniawi ke status leluhur atau keberadaan spiritual di alam baka.

Mesir Kuno: Kematian sebagai Awal Perjalanan (Coming Forth by Day)

Kepercayaan Mesir Kuno tentang alam baka menuntut proses transformasi fisik dan spiritual yang ketat. Ritual ini dipandang sebagai jaminan untuk meraih kenikmatan ilahi setelah kematian.

  1. Fase Pemisahan (Mumifikasi): Proses pengawetan tubuh berlangsung selama 70 hari, dijalankan sesuai dengan Ritus Anubis, dewa serigala. Imam penguburan (stm priests) mengenakan topeng Anubis, secara simbolis menjadi dewa tersebut selama ritual.
  2. Liminalitas Fisik (Natron): Durasi 70 hari ini adalah periode liminalitas fisik yang dihabiskan untuk pengeringan menggunakan natron. Natron, garam yang sangat mengeringkan, digunakan untuk menghilangkan semua kelembaban dari mayat. Periode 70 hari ini adalah waktu yang diperlukan untuk mengubah yang profan (mayat yang membusuk) menjadi yang sakral (mumi abadi).
  3. Signifikansi Organ: Hati adalah satu-satunya organ vital yang sengaja ditinggalkan di dalam tubuh, karena dipercaya sebagai pusat keberadaan dan kecerdasan, organ yang krusial untuk Penghakiman Osiris di alam baka. Sebaliknya, otak, yang tidak memiliki nilai spiritual yang jelas, dikeluarkan melalui lubang hidung.
  4. Agregasi Spiritual: Kitab Orang Mati (Book of Coming Forth by Day) adalah koleksi mantra dan formula yang disalin pada papirus dan dikubur bersama almarhum. Kitab ini berfungsi sebagai panduan, membantu yang meninggal melewati serangkaian ujian, rintangan, dan penilaian di dunia roh, memastikan bahwa jiwa berhasil mencapai agregasi sebagai roh yang dimuliakan (Akh).

Durasi 70 hari merupakan periode liminalitas yang memaksa transformasi fisik mayat, sejajar dengan transformasi spiritual jiwa, sehingga memungkinkan agregasi yang sukses di alam baka.

Mesoamerika: Odisei ke Mictlán (Aztec)

Suku Aztec memandang transisi ke alam baka sebagai perjalanan yang aktif dan melelahkan ke Mictlán, tanah orang mati. Perjalanan ini diperkirakan memakan waktu empat tahun.

Liminalitas Temporal: Selama odisei empat tahun ini, arwah yang meninggal harus melewati sembilan tingkat rintangan yang mengerikan yang diperintahkan oleh Mictecacíhuatl dan Mictlantecuhtli, dewa alam baka. Rintangan ini mencakup penyeberangan sungai luas, gunung yang bertabrakan, dan jalur obsidian.

Dukungan Communitas: Yang hidup memiliki peran penting dalam memastikan keberhasilan transisi. Kerabat yang masih hidup wajib menemani yang meninggal melalui ritual dan persembahan untuk membantu mereka menyeberang dan mencapai peristirahatan abadi. Pandangan bahwa alam baka adalah transaksi aktif yang membutuhkan dukungan duniawi secara implisit menegaskan peran leluhur dalam kehidupan kolektif.

Simbolisme Maya: Kematian yang Dimuliakan dan Komoditas Spiritual

Suku Maya menghormati kematian dan percaya bahwa jenis kematian tertentu memberikan agregasi istimewa. Individu yang meninggal dalam bunuh diri, pengorbanan, komplikasi melahirkan, atau pertempuran, dipercaya langsung diangkut ke surga. Hierarki kematian ini menunjukkan bahwa status yang diperoleh melalui tindakan hidup dapat membatalkan kesulitan fase liminalitas universal.

Untuk perjalanan ke Xibalba, dunia bawah Maya, jenazah dikuburkan dengan persembahan yang berfungsi sebagai bekal dan mata uang. Jagung, simbol kelahiran kembali yang penting dalam budaya Maya, ditempatkan di mulut jenazah sebagai makanan untuk perjalanan. Selain itu, batu giok atau manik-manik batu ditempatkan di mulut untuk berfungsi sebagai “mata uang” spiritual.

Tabel 2: Ritus Kematian Komparatif: Perjalanan ke Alam Baka

Kriteria Mesir Kuno Aztec (Mictlán) Maya (Xibalba)
Fase Pemisahan Mumifikasi 70 Hari (Ritus Anubis) Kematian dan Persiapan Perjalanan 4 Tahun Kematian (Kadang Instan menuju Surga)
Liminalitas 70 Hari Transformasi Fisik + Perjalanan Duat (Dipandu Teks) 4 Tahun Perjalanan Penuh Rintangan (9 Tingkat) Perjalanan ke Xibalba (Membutuhkan Komoditas)
Benda Ritual Krusial Hati (Pusat Keberadaan), Book of the Dead Persembahan Berkelanjutan dari Keluarga Jagung (Makanan/Reinkarnasi) dan Giok (Mata Uang)
Agregasi Menjadi roh Akh (Dimuliakan) Mencapai Peristirahatan Abadi di Mictlán Pemujaan Leluhur, Reinkarnasi [

Sintesis Komparatif dan Implikasi Teoretis

Kontinuitas dan Variasi dalam Struktur Universal

Analisis komparatif yang disajikan secara tegas mengkonfirmasi universalitas model tripartit Van Gennep dalam mengelola transisi hidup. Meskipun konten ritual sangat bervariasi—dari fokus mistisisme pribadi Eleusinia  hingga transfer otoritas hukum (manus) Romawi —semua praktik secara inheren mengikuti pola Pemisahan, Liminalitas, dan Penggabungan.

Perbedaan yang muncul adalah pada fungsi utama liminalitas. Eleusinia memanfaatkan liminalitas sebagai periode rahasia untuk pengetahuan eskatologis, sementara inisiasi Xhosa menggunakannya sebagai periode isolasi pedagogis untuk internalisasi nilai-nilai sosial. Dalam kasus Mesir Kuno, liminalitas 70 hari adalah suatu periode yang diperlukan untuk memaksa transformasi fisik mayat menjadi mumi, prasyarat untuk agregasi spiritual di alam baka.

Dialektika Sakral, Profan, dan Legitimasi Sosial

Inti dari efektivitas ritual peralihan terletak pada kemampuan mereka untuk menjembatani ranah yang sakral dan profan. Dalam perkawinan, tindakan suci (seperti samskara Hindu atau persembahan kepada Jupiter dalam Confarreatio Romawi) memberikan validitas spiritual dan hukum pada status sosial yang baru, mengubah seorang wanita yang sebelumnya berada di bawah otoritas ayah menjadi di bawah otoritas suami.

Kekuatan sosial ritual ini terletak pada kemampuannya untuk secara dramatis menyimbolkan kematian dan kelahiran kembali individu. Tindakan simbolis yang radikal, seperti pembakaran pondok Bhoma dan harta benda inisiasi Xhosa, berfungsi untuk memastikan bahwa regenerasi adalah total, secara berkelanjutan menegaskan kembali dan meregenerasi tatanan sosial, dan memastikan kepatuhan terhadap nilai-nilai budaya. Tanpa penghapusan simbolis status lama, keabsahan status baru akan berkurang.

Pengelolaan Krisis Status dan Kohesi Sosial

Perbandingan ritual mengungkapkan dikotomi yang mendasar dalam fokus:

  1. Fokus Individual-Spiritual: Terlihat jelas pada Misteri Eleusinia, yang tujuan utamanya adalah keselamatan jiwa dan janji alam baka yang terberkati.
  2. Fokus Kolektif-Sosial: Dominan dalam ritual kedewasaan Afrika (Xhosa, Maasai), yang secara eksplisit bertujuan untuk membentuk identitas sosial yang utuh, mentransfer tanggung jawab, dan memastikan kohesi komunitas melalui penanaman nilai luhur.

Ritual peralihan pada dasarnya adalah strategi masyarakat untuk mengubah krisis biologis (pubertas, kematian) atau transisi sosial (pernikahan) menjadi peristiwa yang terstruktur, bermakna, dan didukung komunitas. Dengan menyediakan struktur ini, ritual mengurangi ketidakpastian psikologis yang menyertai perubahan status, memberikan rasa dukungan, dan secara signifikan memperkuat kohesi dan kesinambungan sosial. Kemampuan ini untuk memproses emosi kompleks dan menghasilkan reintegrasi yang terlembaga menjadikan studi ritual peralihan tetap relevan, bahkan dalam menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi.