Analisis Etiologis Sunat (Khitan): Jejak Historis, Transformasi Teologis, dan Kontroversi Kontemporer
Pengantar Terminologi dan Definisi Sirkumsisi (Khitan/Sunat)
Sirkumsisi, yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai sunat atau khitan, merupakan salah satu praktik bedah elektif tertua dalam sejarah peradaban manusia. Secara harfiah, khitan berarti memotong atau menghilangkan sebagian kulit yang menutupi kepala kemaluan (kulup). Secara terminologi medis, sirkumsisi adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Dalam beberapa prosedur, frenulum dari penis juga dapat dipotong secara bersamaan, yang disebut sebagai frenektomi.
Dari perspektif Antropologi Budaya, sunat bukan sekadar prosedur fisik, melainkan diposisikan sebagai Ritus Peralihan (Rites of Passage). Ini adalah tindakan fisik yang secara publik menandai transisi penting dalam kehidupan individu. Sunat berfungsi sebagai penanda perubahan status sosial, mengukuhkan peralihan seseorang dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan atau menjadi anggota komunitas yang penuh dan diakui secara sosial. Kebudayaan, sebagai hasil karya yang diwariskan secara turun-temurun, menjadikan sunat sebagai salah satu tradisi yang bertahan lama dalam struktur masyarakat.
Bukti Arkeologis Tertua: Mesir Kuno sebagai Pusat Asal
Analisis historis menunjukkan bahwa Mesir Kuno adalah salah satu pusat asal mula praktik sunat, memberikan bukti sejarah tertua yang terkait dengan praktik ini. Praktik tersebut diyakini telah menyebar dari Afrika Timur Laut. Para antropolog mencatat bahwa bangsa-bangsa di Selatan Mesir memiliki kaitan erat secara genetik dengan bangsa Sumeria dan Semit, yang sering melakukan kontak rutin, termasuk perdagangan, dengan orang Mesir.
Di dalam tatanan Mesir Kuno, praktik sunat memiliki fungsi yang kompleks dan bertingkat. Ia seringkali terkait dengan inisiasi. Sunat dilakukan bagi pria yang akan diinisiasi menjadi seorang dewasa dan, secara spesifik, tergolong sebagai kaum bangsawan. Ini berfungsi sebagai penanda eksklusivitas, membatasi kelas elit khusus dalam masyarakat.
Konteks medis kuno mengenai prosedur bedah ini dapat dilihat melalui Papirus Ebers, kompilasi teks medis Mesir yang berasal sekitar tahun 1550 SM. Papirus ini diakui sebagai salah satu karya medis tertua yang masih ada, mencantumkan hampir 900 resep dan teks pendidikan yang berkonsentrasi pada kedokteran umum dan internal, termasuk pengobatan untuk sekitar 80 kondisi medis. Meskipun Papirus Ebers menekankan adanya pengetahuan medis yang canggih di Mesir Kuno, fungsi utama sirkumsisi pada masa itu seringkali lebih bersifat ritualistik daripada preventif murni.
Asal usul sunat di Mesir Kuno menunjukkan sebuah dualitas makna yang sangat penting dalam sejarahnya. Selain menjadi penanda status tinggi dan inisiasi bangsawan, sunat juga digunakan sebagai bentuk hukuman pada masa perang. Doyle mencatat bahwa prajurit yang ditangkap sering dimutilasi sebelum dijadikan budak. Dengan demikian, praktik pemotongan kulup dapat berfungsi sebagai demonstrasi kekuatan dan kontrol atas tubuh yang ditaklukkan. Makna ritual ini tidak inheren hanya pada tindakan bedah itu sendiri, melainkan pada konteks sosial dan identitas individu yang disunat. Sunat Mesir Kuno menunjukkan bahwa praktik tersebut adalah sebuah alat sosial yang kuat, berfungsi sebagai simbol inisiasi yang dihormati bagi yang mulia, dan sebagai penanda penaklukan yang memalukan bagi tawanan atau budak. Dualitas ini menjadi latar belakang historis yang krusial sebelum praktik tersebut direinterpretasi secara monoteistik.
Transformasi Teologis: Sunat dalam Monoteisme Abrahamik
Praktik sirkumsisi yang berakar di Mesir Kuno mengalami transformasi radikal ketika diadopsi dan dilembagakan dalam tradisi agama Abrahamik, mengubahnya dari penanda status sosial menjadi tanda perjanjian spiritual yang mendalam.
Yudaisme: Sunat sebagai Perjanjian Kekal (Berit)
Dalam Yudaisme, sunat memegang peran sentral sebagai bukti perjanjian Allah kepada Abraham. Konsep ini direpresentasikan oleh kata Ibrani berit, yang berarti perjanjian, dan muncul sekitar 400 kali dalam Perjanjian Lama. Berbeda secara signifikan dengan praktik Mesir Kuno yang membatasi sunat hanya untuk kelas bangsawan atau elit, bangsa Israel menjadikan praktik ini sebagai tanda perjanjian universal yang harus dilakukan oleh setiap keturunan Abraham, mengikat mereka secara eksklusif kepada Allah.
Redefinisi teologis ini secara fundamental membedakan Yudaisme. Sunat tidak lagi semata-mata menandai kedewasaan atau status sosial, tetapi menegaskan identitas spiritual dan keanggotaan dalam umat pilihan, menjadikannya ritual identitas yang memisahkan mereka dari bangsa-bangsa lain.
Islam: Khitan sebagai Fitrah dan Pilar Ketaatan
Dalam Islam, khitan dipertahankan dan diangkat statusnya sebagai salah satu dari lima hal yang merupakan fitrah atau kodrat manusia yang sempurna. Selain khitan, fitrah mencakup memotong bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memotong kumis. Khitan di sini bukan hanya sekadar menjalankan sunnah Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga mengandung nilai kebersihan, kesucian, dan ketaatan kepada Allah SWT.
Keputusan Islam untuk mengintegrasikan kebersihan fisik ke dalam kerangka spiritual yang disebut fitrah memberikan justifikasi ritual yang sangat kuat dan berkelanjutan. Jika khitan adalah bagian intrinsik dari kodrat yang diberikan Tuhan, maka melakukannya adalah penyempurnaan diri, baik secara lahir maupun batin. Selain aspek spiritual, khitan juga membawa manfaat nyata dari sisi kesehatan dan kebersihan. Misalnya, sunat dapat mencegah masalah kesehatan seperti fimosis (kulup yang terlalu ketat), paraphimosis, dan balanitis (peradangan pada kepala penis).
Di luar manfaat individu, khitan memiliki fungsi komunal yang kuat. Pelaksanaan khitan seringkali menjadi acara sosial di mana keluarga dan tetangga saling membantu, menumbuhkan nilai solidaritas dan kebersamaan. Ini memperkuat identitas keislaman sejak dini dan membangun harmoni sosial di tengah masyarakat muslim.
Kekristenan Awal: Dari Tanda Fisik ke Realitas Rohani
Kekristenan memiliki pandangan yang paling berbeda mengenai sirkumsisi fisik. Secara historis, Yesus Kristus sendiri menjalani sunat, menandakan kepatuhan-Nya kepada hukum Yahudi. Namun, ketika Injil mulai menyebar ke kalangan non-Yahudi (Gentiles), muncul konflik teologis mendasar: apakah orang non-Yahudi harus disunat untuk menjadi Kristen?
Perdebatan ini mencapai puncaknya dalam Sidang Yerusalem (disebutkan dalam Kisah Para Rasul 15) yang terjadi sekitar tahun 50 M. Beberapa orang Yahudi Kristen awal berargumen bahwa non-Yahudi harus disunat “oleh Musa”. Sidang ini membahas tiga masalah krusial, salah satunya adalah apakah orang non-Yahudi perlu disunat untuk menerima Injil. Keputusan para rasul dan penatua-penatua di Yerusalem sangat tegas: orang non-Yahudi tidak perlu disunat untuk menjadi Kristen. Menuntut sunat jasmani dianggap sebagai upaya “mencobai Allah” atau memaksakan “suatu kuk” yang berat (Hukum Taurat) kepada orang percaya yang baru.
Rasul Paulus memainkan peran sentral dalam mengembangkan teologi ini, dengan menekankan bahwa sunat yang sejati adalah masalah hati, yang dilakukan oleh Roh Allah. Paulus secara radikal menolak ritual fisik sebagai prasyarat keselamatan, memperingatkan jemaat Galatia bahwa jika mereka menyunatkan diri mereka, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagi mereka. Penolakan ini adalah langkah strategis universalisme. Sunat fisik bertindak sebagai penghalang yang signifikan bagi konversi non-Yahudi secara massal. Dengan menggantikan ritual fisik yang menyakitkan dan membatasi dengan transformasi rohani, Kekristenan membuka jalannya untuk penyebaran global, melampaui batas-batas etnis dan hukum Yahudi yang ketat.
Difusi Global dan Analisis Etnografi
Sunat sebagai Ritus Peralihan di Berbagai Budaya
Praktik sirkumsisi menunjukkan pola difusi budaya yang luas, ditemukan di berbagai kebudayaan yang terpisah secara geografis dan tidak terkait secara teologis. Doyle mencatat bahwa sunat telah dipraktikkan di Mesir, kepulauan Laut Selatan, Aborigin Australia, serta suku Inca, Aztec, dan Maya.
Dalam banyak masyarakat adat, terutama di Afrika, sunat berfungsi vital sebagai penanda status sosial dan inisiasi kedewasaan. Ritual ini secara resmi mengatur transisi biologis dari masa kanak-kanak ke peran sosial penuh, termasuk hak dan kewajiban reproduksi, serta partisipasi penuh dalam politik suku.
Sebuah fenomena yang menarik adalah adanya konvergensi evolusi budaya, di mana kebutuhan sosial yang serupa melahirkan praktik yang mirip. Misalnya, terdapat kemiripan antara tradisi sunat di Fiji dengan ritual Wor K’bor Suku Biak di Papua, meskipun jarak geografisnya berjauhan. Fenomena ini memperkuat pandangan antropologis bahwa sunat adalah respons terhadap kebutuhan universal untuk menginstitusionalisasikan dan mengamankan tahapan perkembangan individu dalam struktur sosial.
Pewarisan Budaya di Nusantara
Di Indonesia, praktik sunat seringkali dilembagakan melalui tradisi adat yang didukung oleh ajaran agama. Tradisi sunat diwariskan secara turun-temurun, berfungsi ganda sebagai ketaatan religius dan pemenuhan tuntutan adat.
Tradisi ini menunjukkan resiliensi yang tinggi dalam menghadapi perubahan sosial dan modernisasi. Di banyak komunitas, seperti di Belar Hamlet atau di masyarakat Madura, keberlanjutan tradisi ini didorong oleh nilai sosial dan sistem religi. Dukun bayi, misalnya, masih dipercaya sebagai aktor yang membantu masyarakat untuk menghindari gunjingan, malapetaka, atau akibat buruk lainnya yang mungkin timbul apabila tradisi turun-temurun tersebut tidak dilakukan. Keberlangsungan sunat sebagai tradisi menunjukkan bahwa kekuatan nilai sosial dan sistem religi dapat menjadi motivator perilaku yang lebih kuat daripada sekadar rasionalitas individu atau argumen kesehatan, setidaknya hingga abad ke-20.
Khitan di Nusantara juga memiliki aspek kesenian dan komunal yang kaya. Di masyarakat Singkil, misalnya, acara Sunat Rasul dihiasi dengan rangkaian kesenian daerah yang disebut Dengang-Dendang, yang melibatkan Tari Adok dan Tari Sikambang. Aspek komunal, di mana dukungan moral dan kebersamaan ditunjukkan oleh keluarga dan tetangga, memperkuat rasa bangga dan identitas sebagai bagian dari umat Islam.
Tabel berikut meringkas kronologi dan fungsi primordial sirkumsisi di berbagai peradaban utama:
Tabel Kronologi dan Fungsi Primordial Sirkumsisi
| Periode/Lokasi | Perkiraan Waktu | Fungsi Utama yang Diduga | Sumber Bukti Kunci |
| Mesir Kuno | Pra-1550 SM | Inisiasi Kedewasaan, Penanda Kelas Bangsawan, Hukuman Militer | Artefak Arkeologi, Papirus Ebers |
| Yudaisme Klasik | Setelah 2000 SM | Perjanjian (Kovenan/Berit) Ilahi, Identitas Eksklusif | Perjanjian Lama |
| Islam Awal | Abad ke-7 M | Fitrah (Kodrat Manusia), Kebersihan, Ketaatan | Hadis (Sunnah), Syariat |
| Kekristenan Awal | Abad ke-1 M | Ditolak sebagai Syarat (Fokus: Sunat Hati) | Kisah Para Rasul 15, Surat Paulus |
| Masyarakat Adat (Global) | Bervariasi | Ritus Peralihan, Tanda Status Kesukuan | Etnografi, Studi Antropologi |
Pergeseran Paradigma: Justifikasi Medis Modern
Sejarah sunat memasuki fase baru ketika praktik tersebut mulai divalidasi dan dipromosikan oleh ilmu kedokteran sekuler, meskipun prosesnya diwarnai oleh motivasi moral yang keliru pada awalnya.
Abad ke-19: Medikalisasi Berdasarkan Moralitas
Pada abad ke-19, di Dunia Barat, sunat mulai diadopsi dan dipromosikan dengan alasan medis yang tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat. Paradigma medis saat itu seringkali mencampurkan kesehatan fisik dengan kontrol moral dan sosial. Misalnya, salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa sunat dapat menghentikan kebiasaan masturbasi, yang dianggap sebagai perilaku yang merusak. Hal ini menunjukkan bagaimana intervensi bedah disalahgunakan untuk tujuan kontrol sosial, mencerminkan adanya stigmatisasi terhadap perilaku seksual tertentu dalam masyarakat.
Abad ke-21: Justifikasi Kesehatan Publik Berbasis Bukti
Abad ke-21 membawa pergeseran fundamental dalam justifikasi sunat laki-laki, beralih dari alasan moralistik menjadi dukungan berbasis data ilmiah yang ketat.
Pada tahun 2007, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Sekretariat UNAIDS mengeluarkan rekomendasi global yang signifikan. Setelah hasil uji coba terkontrol secara acak di tiga lokasi di Afrika (Kisumu, Kenya; Distrik Rakai, Uganda; dan Orange Farm, Afrika Selatan), para ahli internasional menyimpulkan bahwa sunat laki-laki sebaiknya dianjurkan sebagai bagian dari upaya pencegahan infeksi HIV.
Bukti menunjukkan bahwa sunat laki-laki mampu mengurangi risiko infeksi HIV melalui hubungan heteroseksual pada laki-laki sebesar 60 persen. Penemuan ini mendukung temuan penelitian yang mengaitkan prevalensi HIV yang lebih rendah dengan tingkat sunat laki-laki yang lebih tinggi di beberapa negara di Afrika Sub-Sahara. Diperkirakan bahwa strategi ini dapat mencegah 5,7 juta kasus infeksi HIV baru dan 3 juta kematian dalam waktu 20 tahun di Afrika Sub-Sahara.
Selain pencegahan HIV, sunat laki-laki juga divalidasi memiliki manfaat medis lainnya, termasuk:
- Mencegah risiko infeksi menular seksual lainnya.
- Mencegah risiko infeksi saluran kemih (ISK).
- Mencegah masalah spesifik seperti fimosis, paraphimosis, dan balanitis.
- Secara jangka panjang, sunat dapat mencegah kanker penis dan kanker serviks pada pasangan wanita.
Namun, WHO dan UNAIDS menekankan bahwa sunat bukanlah perlindungan menyeluruh terhadap HIV. Laki-laki dan perempuan harus tetap menggunakan berbagai bentuk perlindungan lainnya, seperti kondom, menunda debut seksual, dan mengurangi jumlah pasangan seksual.
Penemuan medis modern ini menciptakan rekonsiliasi sekuler-religius yang menarik. Praktik yang dimulai ribuan tahun lalu berdasarkan alasan keagamaan (perjanjian Abraham, fitrah Islam) dan tuntutan sosial kini mendapatkan validasi rasional yang kuat dari ilmu kedokteran. Dukungan berbasis data ini menjamin relevansi sunat dalam konteks kesehatan publik global kontemporer.
Kontroversi Etika: Diskursus Sunat Perempuan (FGM/FGC)
Meskipun sirkumsisi laki-laki telah menemukan dasar ilmiah modern yang kuat, praktik terkait pada perempuan, yang disebut Sunat Perempuan (Female Genital Mutilation atau FGM), secara universal dikecam oleh komunitas kesehatan dan hak asasi manusia global.
Definisi dan Status Hukum FGM
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), FGM adalah prosedur yang dilakukan dengan sengaja melukai organ genital perempuan untuk alasan non-medis. FGM dikategorikan sebagai mutilasi karena secara medis tidak memiliki manfaat terbukti pada perempuan atau bayi perempuan.
PBB mengklaim FGM sebagai tindakan pelanggaran hak asasi perempuan dan anak perempuan. Untuk meningkatkan kesadaran, PBB menetapkan setiap tanggal 6 Februari sebagai Hari Internasional untuk Tidak Bertoleransi Terhadap Sunat Perempuan (International Day of Zero Tolerance to Female Genital Mutilation). Di banyak negara Barat, termasuk Amerika, Eropa, Kanada, dan Australia, tindakan FGM dikategorikan sebagai kriminal.
Secara geografis, FGM banyak terjadi di negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Di Asia Tenggara, Malaysia dan Indonesia adalah dua negara dengan praktik FGM terbanyak. Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan prevalensi sunat perempuan di Indonesia sebesar 51,2 persen pada anak usia 0-11 tahun.
Dampak dan Faktor Pendorong FGM
Dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh FGM sangat merugikan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak jangka pendek dapat berupa pendarahan, masalah buang air kecil, dan berisiko menyebabkan kematian bila prosedur dilakukan dengan alat yang tidak steril. Dalam jangka panjang, FGM dapat mengakibatkan rasa nyeri yang luar biasa saat melakukan hubungan seksual, infertilitas, disfungsi haid, dan disfungsi seksual. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) secara tegas mengimbau para orang tua untuk selalu berkonsultasi dengan dokter anak, mengimplikasikan penolakan terhadap praktik yang tidak terbukti bermanfaat ini.
Faktor pendorong utama FGM bersifat sosio-kultural dan sistemik. Praktik ini dipengaruhi oleh kepercayaan tertentu, norma perilaku, tradisi, ritual, hirarki sosial, dan interpretasi agama (dalam beberapa kasus, Islam). Comfort Momoh menjelaskan bahwa mayoritas praktik FGM dilakukan dalam sistem patriarki di mana perempuan tidak memiliki otonomi atas dirinya, kekuasaan, status, atau pendidikan. Penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang rendah dan status sosio-ekonomi tertentu berkorelasi positif dengan praktik FGM.
Perbedaan etika antara sirkumsisi laki-laki dan FGM terletak pada aspek manfaat medis dan prinsip otonomi tubuh. Sirkumsisi laki-laki, meskipun berakar pada tradisi, kini terbukti memiliki manfaat kesehatan publik yang signifikan (pencegahan HIV dan penyakit lain). Sebaliknya, FGM, dilakukan untuk alasan non-medis dan menyebabkan bahaya fisik dan psikologis yang jelas, tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu, praktik FGM secara universal dikategorikan sebagai bentuk mutilasi yang melanggar integritas fisik dan hak asasi manusia.
Tabel di bawah ini merangkum kontras tajam antara sirkumsisi laki-laki dan FGM:
Tabel Kontras Sirkumsisi Laki-laki vs. Sirkumsisi Perempuan (FGM/FGC)
| Aspek Pembanding | Sirkumsisi Laki-laki | Sirkumsisi Perempuan (FGM/FGC) |
| Definisi Prosedur | Memotong/menghilangkan kulup penis | Melukai organ genital perempuan untuk alasan non-medis |
| Manfaat Medis Terbukti | Ya (Pencegahan HIV, Kanker, Fimosis) | Tidak Ada, Merusak Secara Medis |
| Pendorong Utama | Agama, Kebersihan, Medis, Budaya | Tradisi, Patriarki, Norma Sosial, Kepercayaan |
| Status Etika Global | Diterima luas, didukung WHO untuk pencegahan HIV | Diklaim Pelanggaran HAM, Dilarang di banyak negara |
Kesimpulan
Asal usul bersunat adalah narasi diakronis yang mencakup evolusi dari ritual kuno yang terkait dengan status dan kekuasaan hingga menjadi praktik yang diperjuangkan oleh keyakinan spiritual dan didukung oleh sains.
- Status dan Kekuatan:Sirkumsisi berawal dari ritual kuno di Mesir Kuno, berfungsi sebagai penanda status sosial yang eksklusif (bangsawan) atau sebagai penanda penaklukan (budak).
- Identitas Teologis:Praktik ini kemudian diinternalisasi oleh Yudaisme sebagai penanda identitas perjanjian berit yang sakral dan eksklusif.
- Kesucian dan Universalitas:Islam memosisikan khitan sebagai bagian dari fitrah (kodrat manusia), menggabungkan tuntutan kebersihan dan ketaatan spiritual, menjadikannya sunnah yang wajib atau sangat dianjurkan.
- Transformasi Rohani:Kekristenan secara radikal mendisosiasi dirinya dari ritual fisik tersebut, menggantinya dengan konsep sunat hati, sebuah langkah yang memungkinkan penyebaran universal Injil tanpa hambatan ritualistik.
Relevansi sunat laki-laki di era kontemporer didorong oleh dua pilar yang tampaknya berbeda namun saling menguatkan: ketaatan agama/budaya (terutama Islam) dan pengesahan berbasis data dari kesehatan masyarakat global (WHO dan UNAIDS). Pengesahan ilmiah ini memberikan legitimasi sekuler bagi tradisi kuno, memperkuat keberlanjutannya secara global.
Namun, sejarah sirkumsisi juga mengungkapkan kontradiksi etika terbesar dalam konteks gender. Sementara sirkumsisi laki-laki telah melewati filter moral dan ilmiah abad ke-21, ritual yang melibatkan perempuan (FGM) secara tegas diidentifikasi sebagai mutilasi. Perbedaan ini ditarik dari bukti kerugian medis yang ditimbulkan oleh FGM—prosedur yang tidak memiliki manfaat kesehatan dan melanggar integritas fisik—yang menempatkannya di luar batas-batas etika budaya yang dapat diterima.
Secara keseluruhan, sunat adalah fenomena sosio-budaya dan historis yang unik, menunjukkan bagaimana sebuah tindakan bedah sederhana dapat memegang peran sentral dalam mendefinisikan identitas spiritual, status sosial, dan kini, kesehatan publik global, selama lebih dari tiga milenium.