Loading Now

Dari Komunitas Kecil ke Mainstream: Peran TikTok dalam Globalisasi Alternative Fashion

Sebelum kemunculan TikTok, subkultur alternative fashion—seperti Goth, Emo, dan Punk—berevolusi secara organik dalam komunitas kecil, seringkali sebagai bentuk perlawanan yang disengaja terhadap arus mode mainstream. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, platform video pendek ini telah bertindak sebagai mesin globalisasi yang super cepat, mengambil estetika niche tersebut dan menyajikannya di hadapan miliaran pengguna global. Proses ini—yang didorong oleh algoritma unik dan budaya challenge yang adiktif—tidak hanya menyebarkan gaya, tetapi juga secara fundamental mengubah kecepatan siklus mode dan memunculkan isu otentisitas dan komodifikasi.

Mekanisme Viral: Algoritma dan Suara yang Mendefinisikan Subkultur

Transformasi dari niche ke mainstream di TikTok adalah hasil langsung dari struktur platform itu sendiri.

Kekuatan Algoritma “Filter Bubble”

Tidak seperti platform media sosial yang mengandalkan jaringan pertemanan, mesin rekomendasi TikTok (For You Page/FYP) bertujuan untuk memprediksi minat pengguna dengan cepat. Algoritma ini mempertimbangkan interaksi pengguna (suka, komentar, berbagi), informasi video (tagar, suara), serta durasi tontonan.

Algoritma TikTok terbukti sangat agresif dalam menyalurkan pengguna ke dalam minat spesifik, yang sering kali menciptakan “filter bubble” atau “echo chamber”. Jika seorang pengguna menunjukkan minat pada #altfashion—yang mengumpulkan lebih dari 1,8 miliar tampilan pada tahun 2023 —TikTok akan segera membanjiri FYP mereka dengan konten yang serupa, memperkenalkan estetika seperti Dark Academia, Cottagecore, atau E-Girl dalam waktu singkat.

Peran Sentral Trending Sounds dan Challenges

Viralitas mode di TikTok sangat bergantung pada trending sounds atau musik. Musik dan suara berfungsi sebagai “bahan bakar utama” untuk penemuan dan viralitas. Ketika sebuah sound menjadi viral, konten yang menggunakannya—termasuk challenge fashion—mendapatkan dorongan visibilitas yang masif.

Fenomena ini memungkinkan terciptanya tren yang sangat spesifik, seperti:

  • E-Girl Makeup Challenge: Salah satu subkultur yang secara visual paling mencolok. E-Girl (Electronic Girl), yang merupakan turunan dari e-boys, dicirikan oleh estetika siber yang terinspirasi anime, penggunaan winged eyeliner yang tajam, blush yang fokus pada tulang pipi dan hidung, serta aksen seperti hati atau tanda plus di bawah mata. Tutorial DIY makeup E-Girl menjadi sangat populer, memungkinkan siapa pun untuk mereplikasi estetika ini secara global.
  • Dark Academia Aesthetic: Gaya yang identik dengan suasana akademis, pustaka, dan pakaian bergaya tahun 1930-an hingga 1950-an, seperti blazer tweed, kerah bertepung, dan nuansa cokelat tua. Subkultur ini sering kali dikaitkan dengan sound klasik kontemporer atau piano instrumental yang menciptakan suasana melankolis dan penuh harap.
  • Alt TikTok (General): Gaya Alt TikTok secara umum memadukan pengaruh Goth, Punk, Emo, dan Grunge. Pengguna yang ingin berinteraksi dengan komunitas ini memanfaatkan tagar spesifik untuk menargetkan audiens niche.

Siklus ini menciptakan pola imitasi yang cepat di mana kreator meniru konten yang populer, menggunakan formula visual dan audio yang sama untuk mengejar kesuksesan.

Dampak pada Industri Mode: Dari Subkultur ke Microtrend

Globalisasi estetika alternative fashion oleh TikTok membawa dampak transformasional, tetapi juga destruktif, pada industri mode.

Percepatan Siklus Tren (Microtrends)

TikTok telah memadatkan siklus mode tradisional yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan menjadi hanya beberapa minggu atau bahkan hari, sebuah fenomena yang dikenal sebagai microtrendMicrotrend adalah estetika yang meledak popularitasnya dan menghilang dengan cepat.

Sebagai contoh, tren Y2K (tahun 2000-an), yang mencakup crop tops dan low-rise jeans , dihidupkan kembali dan disebarkan ke audiens global melalui konten haul dan tutorial TikTok.

Komodifikasi dan Bahan Bakar Fast Fashion

Pendorong utama di balik percepatan tren ini adalah industri fast fashion, yang memiliki kemampuan untuk mereplikasi estetika TikTok dengan kecepatan yang tak tertandingi.

  • Kecepatan Replikasi: Perusahaan fast fashion modern, seperti Shein, tidak lagi mengandalkan prediksi musim. Mereka beroperasi berdasarkan data real-time dari perilaku konsumen di aplikasi dan media sosial, memungkinkan mereka untuk memproduksi batch awal (100–200 unit) dan menguji pasar secara instan. Seluruh siklus dari desain-ke-rak dapat dipadatkan menjadi 7 hingga 14 hari, atau bahkan 3–7 hari. Kecepatan ini jauh melampaui pesaing seperti Zara (3–4 minggu) atau ritel tradisional (6–9 bulan).
  • Budaya Konsumtif: Komodifikasi yang masif ini mendorong budaya konsumtif yang berlebihan (overconsumption), didorong oleh konten haul di TikTok. Peningkatan konsumsi ini sangat membebani lingkungan, di mana produksi fast fashion sering menghasilkan limbah beracun yang mencemari air dan ekosistem.

Isu Otentisitas dan Komersialisasi Simbol Subkultur

Dampak terbesar TikTok adalah hilangnya otentisitas dari subkultur yang awalnya bertujuan untuk menentang mode mainstream.

  1. Komodifikasi Identitas: Simbol-simbol subkultur—seperti rantai dan platform Goth, atau estetika yang gelap dari Dark Academia—diambil dan diubah menjadi caption dan hashtag untuk mendapatkan likes dan meningkatkan penjualan. Tanda tangan visual subkultur kini hanya menjadi “cheat code” untuk popularitas instan, mengaburkan makna identitas komunitas yang mendalam.
  2. Appropriasi Kultural: Tren fashion yang cepat di TikTok juga memicu isu appropriasi kultural. Sebagai contoh, gaya athleisure dan kaus olahraga yang baru-baru ini dipopulerkan sebagai Blokecore di TikTok, sebenarnya berasal dari komunitas Black dan Latine yang telah menggunakan gaya tersebut selama beberapa dekade untuk mewakili lingkungan mereka (“Block-core”). Ketika gaya ini diadopsi oleh pengguna mayoritas, otentisitasnya dicuri dan dijual kembali dalam kemasan baru.

Kesimpulan: Jembatan yang Menghubungkan dan Mengancam

TikTok berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan komunitas kecil alternative fashion dengan audiens global, memberikan keberanian kepada banyak orang untuk mengekspresikan diri mereka. Namun, efisiensi algoritma dan siklus tren yang dipercepat oleh fast fashion telah mengubah nilai inti subkultur menjadi komoditas visual yang cepat muncul dan cepat hilang (microtrends).

Kreator dan konsumen kini menghadapi dilema: merangkul viralitas dan reach global yang ditawarkan TikTok, sambil berjuang mempertahankan kedalaman, otentisitas, dan kesadaran etis terhadap asal-usul subkultur tersebut.