Loading Now

Perlombaan AI Global 2024–2025: Analisis Strategis Kepemimpinan, Etika Regulasi, dan Transformasi Pasar Tenaga Kerja

AI sebagai Pilar Kekuatan Geopolitik dan Ekonomi

Perlombaan Kecerdasan Buatan (AI) telah melampaui persaingan teknologi sederhana; AI kini berfungsi sebagai pilar fundamental yang menentukan keseimbangan strategis (strategic balance) pada abad ke-21. Perlombaan ini mencakup dimensi ekonomi, teknologi, dan militer secara terintegrasi. Komitmen finansial yang diperlukan untuk bersaing dalam skala ini bersifat masif. Analisis menunjukkan bahwa belanja global untuk infrastruktur AI pada tahun 2024 diproyeksikan mencapai antara $80 hingga $87 miliar.

Peningkatan daya saing global ini didorong oleh adopsi AI yang meluas ke seluruh rantai nilai. Adopsi AI tidak lagi terbatas pada perusahaan teknologi raksasa, melainkan juga meningkatkan efisiensi di kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sebagai contoh, bisnis kecil memanfaatkan Kecerdasan Buatan Generatif (GenAI) untuk menyusun konten pemasaran, menulis email promosi, atau mendapatkan saran dalam korespondensi bisnis. Integrasi yang cepat ini menunjukkan bahwa AI adalah kekuatan ekonomi transformatif yang harus dipertimbangkan dalam setiap strategi nasional.

Metrik Kunci Kepemimpinan: Investasi, Riset, Infrastruktur, dan Adopsi Industri

Kepemimpinan global dalam AI bersifat terfragmentasi, dengan Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan Uni Eropa (UE) masing-masing memimpin dalam metrik yang berbeda.

Dominasi Pasar dan Inovasi Fondasi (AS)

Amerika Serikat mempertahankan keunggulan dalam nilai pasar dan inovasi fondasional. AS menguasai sekitar 40% dari pasar AI global , dengan perusahaan-perusahaan seperti NVIDIA dan Tesla menjadi pilar utama inovasi. Secara kualitatif, mayoritas inovasi model AI yang paling berpengaruh secara global berasal dari AS. Analisis menunjukkan bahwa 61% dari model pembelajaran mesin yang diklasifikasikan sebagai “terkenal” di seluruh dunia berasal dari AS. Sementara itu, Uni Eropa menyumbang 21% dan Tiongkok 15%. Ini mencerminkan kepemimpinan AS dalam pengembangan teknologi foundational models yang mendasari GenAI.

Dominasi Riset dan Inovasi Terapan (Tiongkok)

Tiongkok menunjukkan kepemimpinan kuantitatif absolut yang berfokus pada volume riset dan komersialisasi. Jumlah peneliti AI Tiongkok meningkat pesat, melonjak dari kurang dari 10.000 pada tahun 2015 menjadi lebih dari 52.000 pada tahun 2024. Dalam hal output riset, Chinese Academy of Sciences (CAS) memuncaki institusi global dengan 585 makalah berimpact tinggi.

Yang paling signifikan, Tiongkok mendominasi pendaftaran hak kekayaan intelektual (IP) terkait AI, menyumbang lebih dari 70% pengajuan paten AI global. Pengajuan paten yang berafiliasi dengan perusahaan di Tiongkok bahkan mengungguli AS hingga sepuluh kali lipat dalam beberapa indikator. Volume paten yang ekstrem ini mencerminkan kemampuan unggul Tiongkok untuk mentransfer riset dasar menjadi inovasi yang dapat dikomersialkan dan diterapkan di industri.

Kesenjangan Investasi dan Adopsi (UE)

Uni Eropa menghadapi tantangan signifikan terkait investasi dan kesiapan adopsi GenAI. Pada tahun 2024, UE hanya menginvestasikan 6% dari pendanaan startup AI global , menunjukkan defisit modal yang parah dibandingkan dengan AS dan Tiongkok. Kesiapan adopsi di industri juga rendah; hanya 12% perusahaan di UE yang dianggap “benar-benar siap” untuk GenAI, dan 47% masih dalam tahap melihat potensi. Angka ini kontras dengan AS, di mana 60% startup telah memiliki kapabilitas GenAI, meskipun 33% masih bereksperimen.

Analisis Kesenjangan Strategis: Dilema Kecepatan vs. Skalabilitas

Meskipun Amerika Serikat menguasai 40% nilai pasar AI global saat ini, kecepatan eksekusi Tiongkok, yang tercermin dalam lebih dari 70% paten, menimbulkan tantangan jangka panjang yang serius. Dominasi volume paten Tiongkok menunjukkan laju industrialisasi AI terapan yang tidak tertandingi. CEO NVIDIA Jensen Huang bahkan memprediksi bahwa Tiongkok akan mengalahkan AS dalam persaingan AI, mencatat bahwa Negeri Tirai Bambu bergerak lebih cepat.

Jika laju industrialisasi Tiongkok ini terus berlanjut, Tiongkok berpotensi mengikis pangsa pasar AS di masa depan, terutama di sektor Applied AI. Konsekuensinya, fokus AS pada Kecerdasan Buatan Umum (AGI) tidak hanya didorong oleh ambisi ilmiah, tetapi juga sebagai strategi pertahanan untuk menjaga jarak kepemimpinan teknologi yang fundamental (technological gap) dari Tiongkok. Inovasi fondasional AGI diharapkan dapat memberikan keunggulan teknologi taktis yang dapat menetralkan keunggulan volume paten Tiongkok di masa kini.

Strategi AI Nasional: Analisis Komparatif Mendalam (AS, Tiongkok, UE)

Strategi AI yang dikejar oleh tiga kekuatan geopolitik utama ini mencerminkan prioritas domestik, model ekonomi, dan posisi mereka dalam tatanan internasional.

Amerika Serikat: Keunggulan Inovasi dan Kebijakan Pertahanan Hegemoni

Inti strategi Washington adalah berinvestasi puluhan miliar dolar dan banyak sumber daya untuk mendapatkan keunggulan dalam dominasi AI. Strategi ini secara khusus berfokus pada pencapaian Kecerdasan Buatan Umum (AGI). AGI didefinisikan sebagai perangkat lunak teoretis yang memiliki kecerdasan mirip manusia dan kemampuan untuk belajar sendiri serta melakukan tugas-tugas yang belum pernah dilatih sebelumnya.

Fokus pada AGI ini adalah langkah proaktif untuk mempertahankan posisi hegemonik AS di tengah tatanan global dan menjaga keseimbangan kekuatan, terutama karena AS merasa terancam oleh pesatnya kemajuan Tiongkok. Dengan memimpin dalam AGI, AS bertujuan menjaga jarak kepemimpinan teknologi yang signifikan dari Tiongkok, sehingga mencegah percepatan teknologi Tiongkok.

Kerangka kebijakan utama AS dirumuskan melalui Executive Order (EO) on Safe, Secure, and Trustworthy Artificial Intelligence pada Oktober 2023. EO ini sangat komprehensif, mengarahkan lebih dari 50 entitas federal untuk melakukan lebih dari 100 tindakan spesifik. Prioritas utamanya meliputi Keamanan dan Keselamatan (termasuk biosecurity dan cybersecurity), memajukan Inovasi dan Kompetisi (mengatasi masalah IP), serta Dukungan Pekerja dengan meriset mitigasi terhadap potensi gangguan pasar tenaga kerja.

Salah satu prioritas krusial dalam EO adalah Akuisisi Talenta. AS secara eksplisit mengamanatkan tinjauan dan inisiasi perubahan kebijakan imigrasi untuk menarik talenta AI. Ini termasuk penyederhanaan proses visa dan peninjauan jalur penduduk permanen untuk para ahli AI. AS mengakui bahwa modal manusia adalah kunci untuk mempertahankan keunggulan inovasi.

Tiongkok: Military-Civil Fusion (MCF) dan Kecepatan Penerapan Industri

Tiongkok menargetkan untuk menjadi pemimpin AI dunia pada tahun 2030, didukung oleh investasi negara yang signifikan, mencapai $15 miliar pada tahun 2023. Strategi utama Tiongkok di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping adalah Military-Civil Fusion (MCF). MCF berfokus pada pengintegrasian teknologi AI secara simultan dalam aspek militer dan sipil sebagai upaya untuk mencapai keunggulan strategis global.

Kecepatan penerapan AI Tiongkok didukung oleh model state capitalism yang memungkinkan industrialisasi pesat tanpa friksi regulasi yang menghambat di tahap awal. Implementasi MCF terlihat dalam penggunaan teknologi seperti pengenalan wajah untuk kontrol populasi dan pengembangan persenjataan otonom (seperti drone dan kapal selam tak berawak) yang memperkuat Revolusi Militer Generasi Baru. Tiongkok juga secara aktif memperluas pengaruh teknologinya secara global melalui program Belt and Road Initiative (BRI).

Strategi Tiongkok, terutama integrasi militer-sipil, dipandang oleh AS sebagai ancaman serius, memicu kekhawatiran keamanan siber dan potensi spionase. Respons AS terhadap MCF adalah kebijakan proteksionis, seperti pembatasan impor teknologi dan pelarangan penggunaan teknologi Tiongkok di jaringan 5G. AS juga merespons dengan membangun aliansi strategis untuk menahan laju ekspansi Tiongkok.

Meskipun Tiongkok unggul dalam kecepatan penerapan (Applied AI), kecepatan ini dikontrol oleh sistem nilai sentral. Kerangka regulasi GenAI Tiongkok, Interim GAI Measures, menunjukkan bahwa kecepatan ini disalurkan melalui sistem kontrol ideologis yang ketat, yang mewajibkan konten AI sejalan dengan “Core Socialist Values” dan moralitas sosial. Regulasi AI Tiongkok berfungsi sebagai alat keamanan negara dan kontrol ideologis, mengatur output berdasarkan nilai-nilai politik.

Uni Eropa: Jalan Regulasi dan Tantangan Ketergantungan Infrastruktur

Uni Eropa (UE) mengambil pendekatan yang sangat berbeda, memposisikan dirinya sebagai pemimpin global dalam tata kelola AI. Strategi UE berupaya menciptakan ekosistem inovasi AI Eropa yang koheren , namun tantangan utamanya adalah mengatasi ketergantungan teknologi.

UE masih sangat bergantung pada AS atau Asia untuk perangkat lunak penting, perangkat keras, dan bahan baku. Selain itu, UE menghadapi defisit investasi yang parah, hanya menyumbang 6% dari pendanaan startup AI global pada tahun 2024. Kondisi ini melemahkan ambisi UE untuk mencapai kedaulatan teknologi, meskipun mereka unggul dalam pengembangan talenta pendidikan (universitas-universitas di UE menawarkan 35% dari seluruh program Master terkait AI global).

Pendekatan UE dikritik secara internal oleh para pemimpin industri. CEO SAP, Christian Klein, memperingatkan bahwa UE berisiko tertinggal di belakang AS dan Tiongkok. Ia berpendapat bahwa penerapan guardrails yang terlalu ketat pada tahap awal siklus pengembangan teknologi menghambat kemajuan UE. Klein menyarankan agar UE fokus pada kekuatan industri vertikal, di mana mereka memiliki keahlian dan data (seperti otomotif dan manufaktur), alih-alih mencoba meniru AS atau Tiongkok dalam membangun infrastruktur umum.

Dilema Kekuatan Lunak Regulasi: Uni Eropa memilih untuk berinvestasi pada soft power regulasi, yang berhasil meningkatkan tingkat kepercayaan publik terhadap kemampuan organisasi untuk mengatur AI secara efektif. Namun, jika UE tidak dapat mengatasi kesenjangan investasi dan inovasi yang parah (yang ditunjukkan oleh kontribusi pendanaan 6% ), soft power ini berisiko menjadi kurang relevan. Teknologi AI fundamental yang beredar di pasar UE kemungkinan besar akan didominasi oleh AS atau Tiongkok, yang sekadar dipaksa mematuhi regulasi UE yang ketat.

Regulasi dan Etika: Tiga Model Tata Kelola AI

Perbedaan filosofi dalam tata kelola AI oleh AS, Tiongkok, dan UE menghasilkan tiga model regulasi yang kontras: berbasis risiko (UE), berbasis nilai sosialis dan keamanan (Tiongkok), dan berbasis hak sipil (AS).

EU AI Act: Klasifikasi Risiko dan Dampak Global

Uni Eropa telah mengesahkan EU AI Act pada tahun 2024, menjadikannya hukum AI komprehensif pertama di dunia. Hukum ini menggunakan pendekatan berbasis risiko, membagi sistem AI ke dalam empat kategori berbeda :

  1. Risiko Tidak Dapat Diterima (Unacceptable Risk): Sistem AI yang dilarang karena ancaman yang jelas terhadap hak-hak dasar.
  2. Risiko Tinggi (High Risk): Sistem yang memengaruhi kesehatan, keselamatan, atau hak-hak dasar (misalnya, sistem perekrutan, penegakan hukum, infrastruktur penting), yang tunduk pada regulasi dan persyaratan kepatuhan ketat.
  3. Risiko Terbatas (Limited Risk): Kewajiban transparansi ringan (misalnya, chatbot layanan pelanggan).
  4. Risiko Minimal atau Tidak Ada (Minimal or No Risk).

Secara khusus, penyedia Kecerdasan Buatan Tujuan Umum (GPAI) memiliki kewajiban transparansi. Mereka harus menyusun dokumentasi teknis yang menjelaskan desain, pengujian, dan tujuan model, serta membuat laporan transparansi untuk otoritas pengawas. Pendekatan berbasis risiko yang komprehensif ini bertujuan untuk memastikan AI yang digunakan di Eropa aman dan etis. Hal ini juga meningkatkan kepercayaan publik; median 54% warga negara UE yang disurvei memercayai organisasi mereka untuk mengatur AI secara efektif.

Tata Kelola AI Tiongkok: Sentralitas Keamanan dan Nilai Sosial

Tata kelola AI Tiongkok, diatur terutama melalui Interim GAI Measures, berpusat pada keamanan nasional dan kontrol ideologis, menggunakan algoritma sebagai titik masuk utama untuk pengawasan.

Kontrol Ideologis dan Keamanan Negara

Regulasi GenAI Tiongkok menuntut hasil yang sejalan dengan “moralitas dan etika sosial” dan harus menjunjung tinggi “Core Socialist Values”. Penggunaan layanan GenAI dilarang jika menghasilkan konten yang menghasut subversi kedaulatan nasional, membahayakan kepentingan keamanan nasional, atau mempromosikan ekstremisme, kekerasan, dan diskriminasi etnis. Penyedia layanan juga bertanggung jawab sebagai produsen konten informasi daring, wajib melabeli konten yang dihasilkan dan segera mengatasi “konten ilegal” dengan menghapusnya dan melaporkan kepada pihak berwenang.

Algoritma sebagai Titik Kontrol

Pendekatan Tiongkok secara unik berfokus pada algoritma sebagai unit fundamental untuk transparansi dan pengungkapan. Penyedia layanan GenAI dengan “kapasitas mobilisasi sosial” atau “properti opini publik” harus menjalani asesmen keamanan dan mematuhi persyaratan pendaftaran algoritma (algorithm registry). Kerangka ini memungkinkan pemerintah untuk memahami, dan berpotensi mengintervensi, algoritma individu yang digunakan perusahaan, memastikan bahwa teknologi selaras dengan tujuan negara.

Model tata kelola Tiongkok, yang menggunakan regulasi sebagai alat keamanan negara dan kontrol ideologis (mengatur output berdasarkan nilai-nilai politik), sangat kontras dengan fokus AS dan UE pada perlindungan hak individu dan mitigasi bias. Model ini memungkinkan kecepatan penerapan, tetapi secara fundamental membatasi kebebasan berekspresi dan keragaman informasi.

Kerangka Etika AS: Fokus pada Hak Sipil, Bias, dan Transparansi

Amerika Serikat mengambil pendekatan yang lebih bertahap, mengandalkan Perintah Eksekutif, kerangka kerja sukarela, dan penegakan otoritas yang sudah ada, alih-alih regulasi keras yang komprehensif seperti UE.

Perlindungan Hak Sipil dan Mitigasi Bias

Salah satu fokus utama Executive Order AS adalah memastikan bahwa AI tidak melanggengkan bias. EO secara eksplisit mencantumkan pertimbangan ekuitas dan hak-hak sipil, terutama mengenai penggunaan AI dalam sistem peradilan pidana dan administrasi program manfaat federal, yang berpotensi memicu diskriminasi.

Privasi dan Transparansi Data

AS menekankan evaluasi dan mitigasi risiko privasi, yang diperburuk oleh AI, terkait dengan pengumpulan, penggunaan, dan penyimpanan data pengguna. EO menginstruksikan lembaga untuk menegakkan otoritas yang ada, yang tidak spesifik teknologi, untuk meminimalkan kerugian bagi konsumen, sambil mengidentifikasi otoritas baru yang mungkin diperlukan.

Kecerdasan Buatan Generatif (GenAI): Dampak Transformasional

Kecerdasan Buatan Generatif (GenAI) berfungsi sebagai katalis utama perlombaan AI, dengan cepat mengubah cara kerja di berbagai sektor.

Dari Adopsi ke Agen AI (AI Agents): Tren 2025

Analisis industri menunjukkan bahwa jika tahun 2024 adalah tahun adopsi GenAI, maka tahun 2025 akan menjadi tahun transformasi AI, ditandai dengan integrasi yang lebih dalam di berbagai industri. Batas baru penerapan AI adalah kebangkitan Agen AI (AI Agents). Agen AI adalah sistem otonom yang mampu menjalankan tugas-tugas perusahaan secara independen tanpa arahan manusia, mengubah alur kerja secara mendasar.

Aplikasi GenAI meluas dari pembuatan konten dasar ke use case yang lebih kompleks dan sensitif. Ini mencakup desain produk, simulasi pelatihan, dan analisis risiko mendalam di sektor keuangan dan kesehatan.

Bukti Dampak Ekonomi dan Produktivitas: Studi Kasus Lintas Sektor

GenAI menawarkan peningkatan produktivitas yang substansial, baik di tingkat makroekonomi maupun mikro. Goldman Sachs memproyeksikan bahwa GenAI dapat mendorong peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) global sebesar 7% (hampir $7 triliun) dan meningkatkan pertumbuhan produktivitas sebesar 1,5 poin persentase dalam sepuluh tahun.

Di tingkat mikro, efisiensi GenAI telah terbukti dalam studi kasus lintas industri:

  • Layanan Pelanggan: Penelitian Stanford dan MIT menunjukkan bahwa alat AI membantu agen customer service menjadi 14% lebih produktif.
  • Kesehatan: Teknologi AI meningkatkan akurasi diagnosis hingga 35% dan mengurangi waktu pemrosesan data hingga 40%.
  • Keuangan: GenAI dapat meningkatkan efisiensi dan manajemen risiko, membantu memverifikasi transaksi dan mendeteksi anomali yang luput dari perhatian manusia, sehingga mengurangi risiko kesalahan dalam laporan keuangan.

Implikasi pada Pekerjaan Kognitif: Data yang muncul menunjukkan bahwa GenAI tidak hanya mengotomatisasi pekerjaan rutin tingkat rendah. Teknologi ini akan mengubah aktivitas kerja yang berkontribusi pada pengambilan keputusan dan pekerjaan yang menuntut bayaran lebih tinggi. Ini menandakan bahwa dampak GenAI bergeser ke ranah kognitif dan manajerial senior, menuntut augmentasi (peningkatan kemampuan) di peran-peran yang secara tradisional dianggap kebal terhadap otomatisasi.

Tantangan Tata Kelola Data, Keamanan Model, dan Hak Cipta

Meskipun potensi produktivitasnya besar, adopsi GenAI skala korporasi menghadapi tantangan tata kelola yang signifikan. Tantangan utama bagi perusahaan meliputi tata kelola data yang aman, menjaga keamanan model AI, dan memastikan integrasi yang mulus dengan sistem teknologi informasi yang sudah berjalan.

Selain itu, etika dan hak cipta menjadi pertimbangan mendasar, terutama dengan meningkatnya penggunaan AI Agen. Isu mengenai keandalan konten yang dihasilkan AI dan potensi untuk meniru atau menggantikan hubungan emosional manusia—seperti kasus etika yang membuat IBM menolak proyek alat pengingat obat dengan hologram anak/cucu untuk lansia—menekankan perlunya pengawasan manusia (human oversight).

Masa Depan Pekerjaan: Otomasi, Augmentasi, dan Kebutuhan Reskilling

Dampak GenAI pada pasar tenaga kerja global ditandai oleh otomatisasi tugas, peningkatan produktivitas, dan penciptaan peran baru yang berfokus pada keterampilan unik manusia.

Analisis Otomasi Tugas: Perspektif McKinsey dan OECD

GenAI tidak diprediksi akan menggantikan seluruh pekerjaan secara langsung, melainkan mengotomatisasi tugas yang membentuk pekerjaan tersebut. McKinsey Global Institute memproyeksikan bahwa GenAI dapat mengotomatisasi hampir 10% dari tugas-tugas di ekonomi AS. Otomatisasi ini difokuskan pada tugas-tugas yang berulang, berbasis data, dan terstandarisasi, membebaskan pekerja untuk mengalokasikan waktu ke aktivitas bernilai tinggi.

Kekebalan Kecerdasan Emosional (EQ)

Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan emosional, intuisi, dan interaksi manusia yang mendalam menunjukkan kekebalan yang tinggi terhadap otomatisasi. Pekerjaan yang dianggap sulit digantikan AI meliputi peran yang membutuhkan empati dan kepercayaan manusia, seperti peran keperawatan, terapi, dan pekerjaan sosial. Selain itu, mengajar filsafat, pendidikan anak usia dini, hingga memimpin organisasi besar tetap membutuhkan kecerdasan emosional dan intuisi manusia. Laporan OECD 2024 mendukung pandangan ini, mencatat bahwa hanya 10% dari tugas mengajar yang diprediksi dapat diotomatisasi hingga tahun 2040.

Penciptaan Peran Pekerjaan Baru: AI Enablers dan AI Overseers

Di samping otomasi, AI secara simultan menciptakan peran pekerjaan baru. Peran-peran ini termasuk Data Engineer, AI Product Analyst , dan peran yang terkait dengan AI Generatif, Asisten AI, dan AI Agen. Pekerjaan baru ini dapat dikategorikan sebagai AI Enablers (mereka yang membangun dan mengembangkan model) dan AI Overseers (mereka yang mengelola dan memastikan etika sistem otonom).

Keterampilan Tahan AI (The Human Moat)

Masa depan pekerjaan akan didominasi oleh manusia yang mampu memanfaatkan AI, bukan mereka yang menolak AI. Keterampilan yang paling dibutuhkan dan tahan terhadap otomatisasi—yang membentuk semacam “parit manusia”—adalah:

  • Kreativitas Tingkat Tinggi: Mencakup storytelling dan seni yang melibatkan emosi manusia.
  • Pemikiran Kritis dan Adaptasi: Keterampilan yang sangat dihargai dalam tempat kerja yang didorong oleh AI.
  • Inovasi Kompleks: Seperti penelitian dan pengembangan (R&D) serta keamanan siber.
  • Literasi Digital: Termasuk AI prompt engineering dan pemahaman big data.

Rekomendasi Kebijakan untuk Dukungan Pekerja (Worker Support)

Kesiapan tenaga kerja adalah tantangan mendefinisikan bagi daya saing jangka panjang. Meskipun sektor-sektor dengan paparan tinggi terhadap AI (seperti TIK) melaporkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan penciptaan lapangan kerja, ketidaksesuaian keterampilan yang meluas diprediksi akan terjadi.

Di Uni Eropa, hingga 6,5% angkatan kerja mungkin perlu beralih ke pekerjaan baru jika adopsi AI dipercepat. Hal ini menuntut program pelatihan ulang (reskilling) yang masif. Sektor seperti energi, yang menghadapi penuaan tenaga kerja, atau manufaktur, yang membutuhkan data industri lokal, menghadapi tantangan khusus dalam menjembatani kesenjangan keterampilan. Upskilling untuk profil kerja hibrid (AI-industri) sangat penting untuk menghindari defisit keterampilan yang meluas.

Amerika Serikat, melalui Perintah Eksekutif, secara eksplisit mengamanatkan penelitian tentang potensi gangguan pasar tenaga kerja dan pengembangan mitigasi yang dapat diterapkan oleh agen-agen federal. Ini mencerminkan pengakuan bahwa dukungan pekerja dan pelatihan ulang adalah prioritas keamanan ekonomi, bukan hanya masalah sosial.

Kesimpulan

Perlombaan AI global tidak memiliki satu pemimpin tunggal, melainkan merupakan kontes yang terfragmentasi antara tiga kekuatan utama, masing-masing dengan keunggulan yang berbeda:

  1. Amerika Serikat: Memimpin dalam Keunggulan Fondasional (AGI) dan dominasi nilai pasar saat ini, didukung oleh ekosistem inovasi yang unggul secara kualitatif.
  2. Tiongkok: Memimpin dalam Kecepatan Industrialisasi (Applied AI/Paten) dan volume riset, didukung oleh strategi Military-Civil Fusion dan kontrol negara yang ketat.
  3. Uni Eropa: Berupaya memimpin melalui Legitimasi Regulasi (Kepercayaan) dan tata kelola berbasis risiko, tetapi terhambat oleh kesenjangan investasi dan ketergantungan infrastruktur.

Terdapat ketegangan fundamental antara kebutuhan akan kecepatan inovasi (yang dikejar AS dan Tiongkok) dan kebutuhan akan tata kelola etis (yang diprioritaskan UE).

Dalam jangka menengah, keberlanjutan strategi Uni Eropa untuk menjadi kekuatan regulasi menghadapi risiko yang signifikan. Jika guardrails yang ditetapkan oleh UE terlalu ketat dan terlalu cepat diterapkan, seperti yang dikhawatirkan oleh CEO SAP , ini dapat menghambat startup lokal untuk menskalakan model AI mereka. Konsekuensinya, perusahaan-perusahaan UE pada akhirnya akan dipaksa mengadopsi teknologi dasar dari AS atau Tiongkok—yang telah mencapai skala global—sambil mematuhi persyaratan kepatuhan UE. Ini akan mengarah pada kedaulatan regulasi tanpa kedaulatan teknologi yang sesungguhnya.

Di sisi lain, jika fokus AS pada AGI berhasil, keunggulan teknologi taktis jangka panjang akan dipertahankan. Kemampuan AGI untuk melakukan tugas-tugas tak terlatih akan memberikan lompatan kuantum yang dapat menetralkan keunggulan volume paten Tiongkok saat ini dalam AI Terapan.

Berdasarkan analisis dinamika kompetisi dan transformasi GenAI, langkah-langkah strategis berikut direkomendasikan bagi pembuat kebijakan dan eksekutif:

  1. Prioritaskan Investasi pada Keterampilan Manusia (Human Moat): Investasi harus dialihkan dari meniru teknologi asing ke pengembangan aset yang tahan AI. Keterampilan yang paling penting untuk dipertahankan dan ditingkatkan adalah kreativitas, pemikiran kritis, dan kecerdasan emosional. Pelatihan ulang (reskilling) angkatan kerja untuk profil kerja hibrid (AI-industri) harus menjadi prioritas kebijakan utama untuk mencegah ketidaksesuaian keterampilan yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi.
  2. Fokus pada Pengawasan Manusia (Human Oversight): Seiring GenAI berevolusi menjadi Agen AI yang semakin otonom, penekanan kuat pada human oversight dan etika sangat penting. Di sektor berisiko tinggi (keuangan, kesehatan), manusia harus menjadi penentu akhir dalam pengambilan keputusan, menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti otoritas.
  3. Adopsi AI Vertikal untuk Negara yang Tertinggal: Bagi blok ekonomi atau negara yang tertinggal dalam perlombaan infrastruktur AI, strategi yang efektif adalah menghindari persaingan langsung dengan investasi umum AS/Tiongkok. Sebaliknya, harus ada fokus pada penggunaan AI vertikal di sektor-sektor di mana negara tersebut memiliki keahlian historis dan data yang kaya (misalnya, manufaktur canggih, energi terbarukan). Pendekatan ini memanfaatkan keunggulan kompetitif yang ada dan mendorong inovasi yang relevan secara lokal.