Analisis Psikoneurobiologis Dorongan Manusia untuk Mencari Sensasi Ekstrem dalam Pariwisata Rekreasional
Definisi dan Lingkup Pariwisata Ekstrem (Extreme Tourism)
Pariwisata ekstrem, sering disebut sebagai pariwisata bahaya (danger tourism) atau pariwisata guncangan (shock tourism), merupakan ceruk yang berkembang pesat dalam industri perjalanan. Sektor ini didefinisikan secara operasional sebagai perjalanan yang melibatkan risiko tinggi dan aktivitas yang menantang batas psikologis dan fisik pelakunya, seringkali berlokasi di lingkungan yang berbahaya, terpencil, atau menghadapi kondisi cuaca ekstrem. Daya tarik utamanya terletak pada ‘serbuan adrenalin’ (adrenaline rush) yang ditimbulkan oleh elemen risiko itu sendiri.
Aktivitas yang termasuk dalam lingkup pariwisata ekstrem sangat beragam, mulai dari olahraga petualangan seperti Base Jumping—yang dianggap sebagai salah satu olahraga paling berbahaya dengan tingkat fatalitas tinggi—hingga kunjungan ke lokasi yang memiliki konotasi risiko historis atau geografis yang signifikan, seperti tur Chernobyl, berenang di Devil’s Pool di Victoria Falls, atau mendaki Gunung Everest. Pengejaran tantangan yang intens, baik melalui Base Jumping yang melibatkan lompatan dari objek tetap (Buildings, Antennas, Spans, Earth) atau pendakian tebing, memaksa peserta keluar dari zona nyaman mereka dan menghadapi bahaya aktual.
Kerangka Teoritis Utama: Sensation Seeking (SS) Marvin Zuckerman
Untuk memahami mengapa individu secara proaktif mencari bahaya, kerangka teori Sensation Seeking (SS) yang dikembangkan oleh Marvin Zuckerman pada tahun 1960-an menjadi landasan utama. SS didefinisikan sebagai sifat kepribadian yang melibatkan pengejaran aktif terhadap pengalaman yang menstimulasi, kompleks, intens, dan baru, bahkan jika pengejaran ini memerlukan pengambilan risiko fisik, sosial, hukum, atau finansial.
SS diukur menggunakan Skala Pencarian Sensasi (Sensation Seeking Scale) dan terdiri dari empat dimensi kunci yang menjelaskan variasi perilaku:
- Thrill and Adventure Seeking (TAS):Kecenderungan untuk terlibat dalam kegiatan fisik berisiko yang cepat dan ekstrem, seperti olahraga ekstrem atau pendakian.
- Experience Seeking (ES):Pengejaran pengalaman baru melalui pikiran atau indra, seringkali melalui perjalanan non-konvensional, musik, atau lingkungan artistik yang unik.
- Disinhibition (D):Keinginan untuk mencari pelepasan sosial yang tidak terhambat dan seringkali impulsif.
- Boredom Susceptibility (BS):Intoleransi terhadap situasi yang berulang, monoton, atau kurang stimulus.
Penelitian menunjukkan bahwa SS merupakan sifat yang sangat dipengaruhi oleh faktor biologis. Zuckerman mengindikasikan adanya faktor genetik yang menyumbang sekitar 60% terhadap kecenderungan individu untuk mencari sensasi dalam hidupnya, didasarkan pada susunan genetik dan kondisi biologis. Sementara itu, faktor sosial, seperti pembelajaran sosial (observasi dan imitasi), menyumbang sekitar 40%. Selain itu, terdapat perbedaan demografi yang konsisten di berbagai studi internasional (AS, Australia, Kanada, Spanyol); pria cenderung memiliki skor yang jauh lebih tinggi daripada wanita dalam SS total, TAS, dan kerentanan terhadap kebosanan (BS).
Teori Arousal Optimal (Optimal Arousal Theory – OAT)
Teori Optimal Arousal (OAT) memberikan kerangka motivasi yang menjelaskan kebutuhan mendesak para pencari sensasi. Teori ini berhipotesis bahwa setiap manusia memiliki Level Gairah Optimal (OLA) di mana mereka beroperasi secara paling efisien dan optimal. Individu secara homeostatis berupaya mempertahankan level gairah ini.
Individu yang memiliki tingkat SS tinggi secara bawaan memiliki OLA yang lebih tinggi atau lebih cepat mengalami kebosanan. Konsekuensinya, mereka harus mencari stimulus eksternal yang lebih kompleks, baru, dan intens—seperti pariwisata ekstrem—untuk mencapai atau mempertahankan homeostasis kortikal yang ideal. Sebaliknya, individu dengan tingkat gairah istirahat (resting arousal) yang kronis tinggi cenderung menghindari perilaku pencarian sensasi, memilih kegiatan yang memiliki nilai stimulus rendah, dan lebih menyukai pastimes yang soliter untuk menghindari melebihi OLA mereka.
Meskipun gairah yang terlalu tinggi seringkali diasosiasikan dengan stres dan dapat mengganggu kinerja tugas yang sulit, OAT menjelaskan bahwa bagi SS tinggi, stimulasi terkontrol oleh kegiatan ekstrem dapat secara paradoks meningkatkan fokus dan memfasilitasi proses pengambilan keputusan hingga batas tertentu, sebagaimana dijelaskan oleh Hukum Yerkes-Dodson. Latihan dan pelatihan berulang memungkinkan individu untuk mengimbangi dampak peningkatan gairah pada kemampuan membuat keputusan, suatu hal yang menjadi pembeda penting antara profesional dan wisatawan rekreasional (dibahas dalam Bab IV).
Neurobiologi Sensasi dan Imbalan: Mekanisme Kimiawi di Balik Bahaya
Daya tarik terhadap bahaya ekstrem tidak hanya didorong oleh kebutuhan psikologis, tetapi juga oleh mekanisme neurokimiawi yang memberikan imbalan kuat, menjadikan perilaku berisiko sangat mudah diperkuat dan diulang.
Aksis HPA dan Respons “Fight-or-Flight”
Ketika dihadapkan pada situasi yang berbahaya atau mengancam—seperti yang dialami dalam olahraga ekstrem—tubuh memicu respons stres fisiologis mayor, yang dikenal sebagai respons “fight-or-flight”. Respons ini dimediasi oleh aktivasi Aksis Hypothalamic–Pituitary–Adrenal (HPA). Hipotalamus melepaskan faktor pelepas kortikotropin (CRF), yang kemudian memicu kelenjar pituitari anterior untuk mensekresikan hormon adrenokortikotropik (ACTH). Produk akhir dari aktivasi HPA adalah pelepasan glukokortikoid (termasuk kortisol) dari kelenjar adrenal.
Secara bersamaan, pelepasan Adrenalin (Epinefrin) dan Norepinefrin meningkatkan detak jantung, energi, dan kewaspadaan, mempersiapkan tubuh untuk menghadapi ancaman. Inilah dasar biologis dari “adrenaline rush” yang secara sadar dicari oleh wisatawan ekstrem.
Fenomena Dopamin: Imbalan dalam Risiko
Dopamin (DA) adalah neurotransmitter krusial yang dikenal sebagai “happy hormone” karena perannya sentral dalam mengatur sistem imbalan, motivasi, dan penguatan perilaku. Dopamin mengkodekan pesan antarsel saraf dan memastikan bahwa aktivitas yang menyenangkan atau bermanfaat cenderung diulang.
Analisis neurokimiawi menunjukkan profil yang khas pada individu dengan SS tinggi. Selama pengalaman baru atau berisiko, otak mereka melepaskan Dopamin dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pencari sensasi rendah. Namun, fenomena yang paling menarik adalah bahwa pada saat yang sama, mereka melepaskan Norepinefrin (hormon stres dan kewaspadaan) dalam jumlah yang justru lebih sedikit.
Kombinasi unik dari Dopamin tinggi dan Norepinefrin rendah ini menghasilkan keadaan subjektif yang disebut sebagai High Thrill, Minimal Stress. Ini menjelaskan mengapa situasi yang bagi orang lain terasa menakutkan dan penuh kecemasan, justru dirasakan oleh SS tinggi sebagai pengalaman yang sangat bermanfaat dan mengasyikkan, tanpa memicu respons stres berlebihan yang menghambat kenikmatan.
Jika Dopamin berfungsi sebagai penguat perilaku dan terlibat dalam perilaku mencari sensasi, dan mengingat bahwa sistem Dopamin juga terkait dengan siklus relapse dan perilaku mencari obat (drug-seeking behavior) dalam studi neurologis , maka pencarian sensasi ekstrem dapat menciptakan mekanisme neurokognitif yang serupa dengan perilaku adiktif. Aktivitas ekstrem menciptakan reinforcement loop di mana pelepasan DA yang tinggi mengunci memori positif tentang penguasaan bahaya. Konsekuensinya, individu SS tinggi mungkin mengembangkan toleransi, yang menuntut mereka untuk mencari dosis novelty dan risiko yang semakin besar demi mencapai tingkat Dopamin yang sama, atau untuk kembali ke kondisi OLA mereka yang tinggi. Mereka secara efektif telah mengembangkan mekanisme neurokognitif untuk meredam sinyal stres (NE) sambil memaksimalkan sinyal imbalan (DA) di lingkungan berisiko.
Tabel 1: Neurotransmiter dan Respons Stres pada Pencari Sensasi
| Neurotransmiter/Sistem | Fungsi Utama | Respons pada Individu Sensation Seeking Tinggi (SS Tinggi) | Dampak Perilaku |
| Dopamin (DA) | Imbalan, Motivasi, Kesenangan | Peningkatan pelepasan selama pengalaman baru (novelty) | Mendorong pengulangan perilaku ekstrem; penguatan jalur imbalan; kebutuhan akan stimulasi yang semakin intens. |
| Norepinefrin (Adrenalin) | Respons Stres Akut, Peningkatan Gairah | Pelepasan yang lebih rendah atau teredam selama aktivitas berisiko | Pengalaman dirasakan sebagai thrill tinggi dengan subjective stress yang minimal. |
| Aksis HPA (Kortisol) | Mediasi respons “Fight-or-Flight” | SS tinggi menafsirkan ancaman sebagai tantangan, memfasilitasi fokus di bawah tekanan | Adaptasi dan pembentukan kepercayaan diri melalui penguasaan ancaman. |
Endorfin dan Penguatan Afek
Selain Dopamin dan Adrenalin, Endorfin berperan sebagai pereda nyeri alami dan peningkat suasana hati, yang dilepaskan secara signifikan saat individu berolahraga atau melakukan aktivitas yang intens. Dalam konteks kegiatan ekstrem yang menantang batas fisik, Endorfin membantu meredam rasa sakit minor, mengatasi kelelahan, dan secara keseluruhan memastikan bahwa pengalaman tersebut dikodekan dalam memori sebagai sesuatu yang positif dan layak diulang. Pelepasan Endorfin ini berkontribusi pada rasa bahagia dan kepuasan yang didapatkan setelah berhasil menyelesaikan aktivitas berisiko.
Motivasi Intrinsik: Kepuasan Pencapaian dan Penguasaan Diri (Mastery)
Di luar dorongan neurokimia, pencarian bahaya ekstrem dipelihara oleh motif psikologis yang berpusat pada pengembangan pribadi, validasi kompetensi, dan penguasaan diri.
Konstruksi Ulang Kognitif: Dari Ancaman menjadi Pengembangan Diri
Satu perbedaan kognitif mendasar pada individu yang terlibat dalam pariwisata ekstrem adalah cara mereka menafsirkan stres dan bahaya. Individu dengan SS tinggi cenderung secara kognitif membangun ulang stresor atau bahaya yang akan datang sebagai tantangan yang harus diatasi, dan bukan sebagai ancaman yang menghambat atau menghancurkan. Perspektif ini sangat penting, karena memungkinkan mereka untuk memanfaatkan peningkatan gairah (arousal) yang ditimbulkan oleh risiko demi mencapai kinerja dan fokus yang optimal, daripada terjerumus ke dalam kecemasan dan kepanikan.
Motivasi yang kuat merupakan prasyarat untuk mencapai prestasi maksimal, serupa dengan yang terlihat pada atlet olahraga. Dalam konteks kegiatan ekstrem, kepuasan pencapaian ini dihubungkan dengan perkembangan pribadi.
Peningkatan Self-Efficacy dan Mastery
Aktivitas ekstrem berfungsi sebagai laboratorium untuk validasi kompetensi diri (self-efficacy). Menempatkan diri dalam situasi yang tidak familiar atau berbahaya—seperti menguasai navigasi medan yang sulit (misalnya, base jumping atau scuba diving)—memaksa individu untuk memberikan perhatian penuh pada tugas dan menanamkan kepercayaan yang mendalam pada naluri, kemampuan, dan tubuh mereka. Proses ini, di mana seseorang berhasil melewati hambatan yang dianggap mustahil, memberikan kepuasan mendalam yang mendukung perkembangan pribadi.
Keberhasilan dalam menghadapi ancaman yang dikontrol membuktikan kepada individu bahwa mereka memiliki kemampuan yang diperlukan untuk mengatasi rintangan di masa depan. Penguasaan ancaman (mastery) ini adalah mekanisme psikologis yang kuat yang mengikat peserta pada perilaku berisiko tinggi secara berkelanjutan.
Dominasi Novelty dan Pengalaman atas Risiko
Meskipun aktivitas ekstrem secara inheren melibatkan risiko fisik, psikologis, dan bahkan finansial, analisis menunjukkan bahwa risiko yang dipersepsikan (subjective risk) tidak selalu menjadi faktor penentu utama niat untuk mengulang kegiatan tersebut. Studi yang melibatkan wahana ekstrem menunjukkan bahwa meskipun responden memiliki pemahaman yang baik tentang risiko, korelasi antara persepsi risiko dengan minat menggunakan kembali wahana ekstrem sangat lemah.
Hal ini menunjukkan bahwa risiko berfungsi sebagai kondisi yang diperlukan untuk memicu respons neurokimia yang diinginkan (DA/Mastery), tetapi risiko itu sendiri bukanlah tujuan akhir. Tujuan yang lebih dominan adalah keadaan aliran (flow) yang intens dan validasi diri yang hanya dapat dicapai ketika taruhannya tinggi (risiko hadir).
Faktor pendorong utama bagi penikmat wisata petualangan adalah pencarian pengalaman yang benar-benar baru (novelty). Mayoritas wisatawan petualangan dimotivasi oleh faktor-faktor seperti fun, tantangan, thrill, petualangan, keinginan untuk melakukan sesuatu yang berbeda, dan aktivitas fisik. Keinginan untuk mencari novelty sering kali lebih kuat daripada risiko yang dipersepsikan, menyebabkan para pencari sensasi beralih ke lokasi atau aktivitas yang berbeda daripada mengulang risiko yang sama di tempat yang sudah dikuasai.
Tipologi Pengambilan Risiko: Profesional vs. Wisatawan Ekstrem
Seringkali terjadi “keruntuhan konseptual” antara risiko yang diambil oleh atlet profesional dan risiko yang diambil oleh wisatawan rekreasional, meskipun keduanya mencari adrenaline rush. Penting untuk membedakan dua tipologi ini, terutama dalam konteks psikologi keputusan.
Kriteria Diferensiasi: Profesionalisme dan Keterlibatan
Pariwisata ekstrem dan olahraga ekstrem berbeda terutama dalam tingkat profesionalisme, keterlibatan, dan spesialisasi. Olahraga ekstrem profesional melibatkan latihan yang cermat dan strategi untuk memitigasi bahaya demi mencapai performa terbaik.
Sebaliknya, industri pariwisata petualangan komersial secara spesifik menargetkan pasar yang sebagian besar terdiri dari pemula yang tidak memiliki pengalaman atau keterampilan yang relevan, seringkali dipromosikan sebagai aktivitas yang “tidak memerlukan keterampilan” (no skills required). Motivasi wisatawan ini murni rekreasional, berfokus pada sensasi dan pengalaman, sementara profesional berfokus pada penguasaan teknis dan pencapaian karir.
Model Psikologi Keputusan Risiko
Perbedaan mendasar antara kedua kelompok ini terletak pada mode pengambilan keputusan kognitif yang mereka gunakan saat menilai risiko.
Risiko Terhitung (Calculated Risk): Model Profesional
Pengambil risiko profesional, seperti ilmuwan, atlet, atau pengusaha yang berinovasi, menggunakan mode keputusan yang didominasi oleh pemikiran analitis dan berbasis pengalaman (recognition). Bagi mereka, risiko merupakan variabel yang dapat dikelola, dikuantifikasi, dan diminimalkan melalui pelatihan, simulasi, dan perencanaan yang cermat.
Konsep risiko terhitung (calculated risk) adalah aspek penting dari kinerja ilmiah dan kreatif, di mana individu bersedia menanggung ketidakpastian demi hasil yang potensial tinggi. Mereka mengandalkan analisis probabilitas dan data objektif.
Risiko Rekreasional (Recreational Risk): Model Wisatawan
Wisatawan ekstrem, dalam domain rekreasional, cenderung mengambil keputusan risiko menggunakan mode kognitif yang berbeda, didominasi oleh faktor afektif dan gambaran mental (mental imagery). Mode ini bersifat lebih experiential dan kurang abstrak dibandingkan dengan pengambilan risiko finansial yang didominasi oleh analisis.
Penelitian menunjukkan bahwa peserta wisata ekstrem menghasilkan gambaran mental yang lebih hidup tentang aktivitas tersebut. Valensi (nilai positif atau negatif) dari gambaran mental ini merupakan prediktor yang lebih kuat terhadap kesediaan mengambil risiko rekreasional, dibandingkan dengan analisis rasional risiko objektif. Dengan kata lain, janji akan thrill dan visualisasi kesuksesan mendominasi proses evaluasi risiko pada wisatawan.
Tabel 2: Perbandingan Tipologi Pengambil Risiko: Profesional vs. Wisatawan Ekstrem
| Dimensi Perbandingan | Pengambil Risiko Profesional (Olahraga Ekstrem) | Wisatawan Ekstrem (Rekreasional) |
| Tujuan Utama | Performa Maksimal, Penguasaan Keterampilan, Inovasi | Pengalaman Baru (Novelty), Sensasi, Thrill, Validasi Sosial |
| Mode Pengambilan Keputusan | Analitis dan Perhitungan (Calculated Risk); Berbasis Keterampilan/Pengalaman | Afektif (Intuisi); Berbasis Gambaran Mental (Mental Imagery/Experiential) |
| Fokus Utama Risiko | Manajemen risiko yang objektif dan mitigasi bahaya teknis. | Pengalaman risiko yang subjektif (perceived risk) untuk memicu gairah. |
| Tingkat Keterampilan | Sangat tinggi, fokus pada spesialisasi dan perencanaan. | Pemula hingga Menengah, mengandalkan jasa komersial. |
Implikasi Komersialisasi dan Pengalihan Kontrol
Fakta bahwa industri pariwisata petualangan komersial menargetkan pasar yang “tidak memerlukan keterampilan” (no skills required) memiliki implikasi signifikan terhadap manajemen risiko. Dalam model ini, tanggung jawab manajemen dan mitigasi risiko secara substansial dialihkan dari peserta (wisatawan) kepada penyedia tur dan pemandu.
Pengalihan kontrol ini menciptakan kondisi psikologis yang kondusif bagi munculnya Ilusi Kontrol pada wisatawan. Mereka merasa aman karena mengandalkan instruksi keselamatan dan peralatan khusus yang dijelaskan oleh pemandu , yang memberikan keyakinan palsu bahwa bahaya fisik sepenuhnya berada di bawah kendali. Normalisasi risiko yang dimediasi secara komersial ini menjadi problematis karena melibatkan partisipasi dalam aktivitas yang sangat berisiko tanpa transfer keahlian yang sesungguhnya.
Bias Kognitif, Kontrol, dan Validasi Sosial dalam Penilaian Risiko
Pengambilan keputusan dalam pariwisata ekstrem diperparah oleh bias kognitif dan insentif eksternal yang kuat, terutama yang berasal dari lingkungan digital.
Ilusi Kontrol dan Penilaian Subjektif
Wisatawan seringkali melebih-lebihkan tingkat kontrol pribadi mereka atas hasil dari aktivitas berisiko. Meskipun aktivitas tersebut secara objektif berbahaya, sesi pengarahan, panduan keselamatan, dan peralatan scuba atau base jumping yang canggih memberikan rasa kepastian dan kemampuan untuk mengelola variabel kritis. Ilusi kontrol ini memungkinkan mereka untuk mendevaluasi ancaman objektif.
Konsep filosofis, seperti ajaran Stoik bahwa “ketakutan adalah ilusi yang muncul dari pikiran, bukan kenyataan” , seringkali digunakan oleh para petualang ekstrem untuk melakukan devaluasi kognitif terhadap risiko yang dirasakan. Interpretasi ini memungkinkan mereka untuk fokus pada penguasaan emosi dan keberanian, daripada penilaian bahaya yang objektif.
Peran Media Sosial dalam Eskalasi dan Normalisasi Risiko
Media sosial telah merevolusi cara promosi pariwisata, dari brosur konvensional menjadi konten digital yang masif, seperti foto dan video di Instagram, TikTok, atau YouTube. Platform ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi dan pembentukan citra destinasi , tetapi juga sebagai kekuatan pendorong dalam eskalasi risiko.
Menurut Teori Ekologi Media Neil Postman, media membawa bias tertentu; platform visual seperti Instagram mengutamakan estetika di atas akurasi informasi. Hal ini melahirkan praktik manipulatif, di mana visual destinasi ekstrem direkayasa atau difilter secara ekstrem, menciptakan ‘keindahan semu’ yang menyesatkan. Perbedaan antara misinformasi, disinformasi, dan malinformasi menjadi kabur, dengan editing visual ekstrem dan penciptaan testimoni yang berlebihan membentuk ekosistem informasi yang mempengaruhi persepsi publik terhadap risiko.
Validasi Sosial dan False Confidence
Insentif terkuat yang ditambahkan oleh media sosial adalah dorongan untuk validasi sosial. Banyak orang mempercayai rekomendasi dan pengalaman yang diunggah oleh sesama pengguna. Pengejaran konten viral yang memicu buzz dan like menjadi insentif eksternal yang kuat, mengalihkan fokus dari motivasi intrinsik (mastery) menjadi motivasi ekstrinsik (validasi sosial).
Para peneliti khawatir bahwa postingan olahraga petualangan di media sosial dapat menumbuhkan kepercayaan diri palsu (false confidence) pada atlet muda atau wisatawan yang kurang memiliki pemahaman dan keterampilan yang diperlukan untuk melakukan aktivitas tersebut dengan aman. Kecenderungan alami untuk mencari novelty dan kegembiraan, ketika dikombinasikan dengan paparan peran model di media sosial, secara signifikan dapat meningkatkan perilaku pengambilan risiko yang tidak terhitung di kalangan remaja dan wisatawan.
Peningkatan penggunaan media sosial, normalisasi risiko melalui kemasan komersial , dan penanaman false confidence secara kausal mendorong eskalasi tingkat risiko yang diambil demi menghasilkan konten yang lebih ekstrem. Konflik ini bahkan dapat menyebabkan disonansi kognitif dan tekanan psikologis pada pekerja pariwisata, yang terjebak di antara tuntutan pelanggan untuk pengalaman ekstrem (didukung oleh media sosial) dan nilai etika mereka sendiri mengenai keselamatan.
Kesimpulan
Ketertarikan manusia terhadap bahaya ekstrem dalam konteks pariwisata merupakan hasil dari konvergensi sempurna antara predisposisi genetik, respons neurokimia yang memperkuat, dan kebutuhan psikologis untuk penguasaan diri dan pengalaman baru.
- Predisposisi Genetik:Individu dengan sifat Sensation Seeking (SS) yang tinggi secara genetik ditakdirkan untuk mencari stimulus intens untuk memenuhi Level Gairah Optimal (OLA) mereka.
- Imbalan Neurokimiawi:Pengalaman ekstrem menghasilkan rasio Dopamin yang tinggi dan Norepinefrin yang rendah, menciptakan sensasi thrill yang mengasyikkan tanpa disertai stres yang melumpuhkan, memastikan perilaku tersebut diperkuat dan diulang.
- Motivasi Penguasaan:Risiko berfungsi sebagai variabel moderator yang diperlukan untuk mencapai mastery dan self-efficacy. Keinginan untuk mengatasi tantangan baru (novelty) seringkali lebih kuat daripada penghindaran risiko itu sendiri.
- Diferensiasi Keputusan:Wisatawan ekstrem, berbeda dari profesional, cenderung memproses risiko melalui gambaran mental afektif (mental imagery) daripada perhitungan analitis, membuat mereka rentan terhadap ilusi kontrol dan pengaruh validasi sosial.
Singkatnya, pariwisata ekstrem adalah cara yang terstruktur dan komersial bagi individu SS tinggi untuk mencapai OLA yang menuntut.
Berdasarkan analisis mekanisme psikoneurobiologis dan bias kognitif yang memengaruhi wisatawan ekstrem, beberapa implikasi manajerial dan etika patut dipertimbangkan:
- Fokus pada Self-Efficacy Nyata:Program edukasi dan keselamatan harus bergeser dari sekadar memberikan daftar bahaya (yang cenderung diabaikan karena bias kognitif dan ilusi kontrol) menjadi pelatihan keterampilan yang nyata. Meningkatkan kompetensi teknis akan memberikan self-efficacy yang otentik, memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih baik di bawah tekanan (sesuai Hukum Yerkes-Dodson), dan membantu mengatasi kecenderungan menafsirkan ancaman sebagai tantangan yang mudah diatasi.
- Standar Etika Konten Digital:Operator tur dan badan pengelola pariwisata harus menerapkan standar etika yang ketat untuk memastikan bahwa promosi di media sosial tidak menciptakan gambaran realitas yang menyesatkan atau menanamkan false confidence pada calon wisatawan. Perlu ada upaya untuk mengimbangi prioritas estetika dengan akurasi informasi mengenai persyaratan keterampilan dan bahaya objektif.
- Pengakuan Konflik Moral Pekerja:Industri harus menyadari bahwa pengejaran validasi sosial oleh wisatawan dapat menimbulkan ketegangan moral dan disonansi kognitif bagi pemandu dan pekerja pariwisata yang etika keselamatannya bertentangan dengan tuntutan pelanggan untuk “konten viral”. Mekanisme dukungan psikologis dan standar operasi yang jelas diperlukan untuk melindungi kesehatan mental karyawan.
Untuk lebih memperdalam pemahaman mengenai psikologi risiko rekreasional, penelitian di masa depan dapat difokuskan pada:
- Neuro-imaging Pengambilan Keputusan:Melakukan studi neuro-imaging untuk membandingkan aktivasi kortikal secara langsung ketika individu mengambil keputusan risiko rekreasional (berbasis gambaran mental) versus risiko finansial/analitis (berbasis kalkulasi) untuk memvalidasi model psikologi keputusan risiko.
- Korelasi SS dan Risiko Sosial:Investigasi lebih lanjut tentang hubungan antara Sensation Seeking dan domain pengambilan risiko sosial dalam konteks ekstrim, terutama seberapa besar dorongan untuk validasi sosial memediasi intensitas risiko yang diambil.
- Model Toleransi Neurokimiawi:Penelitian longitudinal untuk memetakan bagaimana profil pelepasan Dopamin dan Norepinefrin pada SS tinggi berubah seiring dengan pengulangan aktivitas ekstrem, untuk mengkuantifikasi apakah adaptasi neurokimiawi (toleransi) memang memerlukan stimulasi yang semakin besar.


